Demokrasi “Buta” Membunuh Hukum; Aceh

oleh

 

Ichsan
Ichsan

Oleh Ichsan

BERAGAM peristiwa menjelang pesta demokrasi negeri ini memberi warna yang sangat komplementer bagi masyarakat Indonesia. Mulai dari tebar pesona para politisi, partai, hingga ribuan “angin surga” para pemberi janji semakin berdengung disetiap penjuru negara kepulauan ini. Melihat demokrasi yang ada di negara ini, seolah-olah kebebasan tanpa batas masih menjadi hak utuh dalam berdemokrasi.  Padahal tidak? Karena ada ruang hukum  yang membatasinya.

Dengan jumlah penduduk yang dikategorikan  non intelektual di Indonesia yang masih berjumlah banyak. Hal ini menjadi penilaian bahwa pengetahuan di negara ini belum menjadi alat ukur ideal dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara yang demokrasi. Angka buta huruf masyarakat Indonesia yang berjumlah 4,03 %  menurut data sekarang atau 10.075.000 orang dari jumlah penduduk Indonesia menjanjikan ketidak-sempurnaan dalam berdemokrasi pada 09 April nanti akan menjadi nyata. Jika ditinjau dari persentase rata-rata masyarakat Indonesia yang berusia dewasa, maka data masyarakat yang buta huruf tentunya meningkat dari jumlah 4,03% dan hal ini tentu mengkhawatirkan.

Jika dibandingkan dengan negara lain. Sebagai negara kepulauan, Indonesia tergolong lamban dalam mengatasi persoalan pendidikan. Berbeda halnya seperti Jepang, dimana Jepang telah menyelesaikan program penghapusan buta huruf sejak tahun 2000 dengan sempurna. Jepang juga salah satu negara yang memprioritaskan pendidikan. Padahal diketahui bersama, bahwa Jepang pernah hancur oleh ”Bom Atom” saat Perang di masa lalu.  Program seperti ini belum sepenuhnya dijadikan contoh oleh Negara Indonesia karena sebagian dari pejabat pemerintah Negara Indonesia terlalu naïf untuk melakukan copy paste atas keberhasilan negara lain dengan alasan menganggap Indonesia lebih baik dan berbeda sehingga tidak dapat disamakan dengan Negara lain dengan beragam alasan yang politis.

Disamping itu pendidikan politik yang juga tergolong sangat minim semakin mendukungnya kekerdilan pengetahuan bangsa dalam bernegara yang demokrasi. Jumlah calon pemilih saat ini yang berkisar 153.357.307 orang dari sekitar 242.325.638 menurut data 2011 menyisakan beragam pertanyaan, yakni sejauh mana kapasitas intelektual dalam berdemokrasi. Para Calegpun menjadi tanda tanya besar dalam  uji kompetensinya dan kapasitasnya mempersiapkan diri menjadi wakil rakyat yang mampu menjalankan aspirasi rakyat. Ketika perihal ini dipertanyakan kepada calon legislatif, secara sederhana terjawab bahwa hak dan kebebasan  berpolitik setiap warga Negara atas demokrasi menjadi alasan.  Sekali lagi Demokrasi menjadi kambing hitam!

Pendidikan politik yang minim, tentu akan menggambarkan pesta demokrasi negara Indonesia menjelang pemilu yang tinggal menunggu hari menjadi tidak sempurna pada kapasitas ideal. Menjadi PR bagi kita bersama! Hanya beberapa partai di Indonesia yang memberi pengetahuan politik dan partai kepada kadernya meski belum  maksimal. Selebihnya tidak! Lantas bagaimana dengan para pemilih yang sama sekali tidak mengerti partai apalagi politik, hal ini tentu akan menambah beban Negara dalam meningkatkan demokrasi yang tidak ideal. Saat ini Media yang  masih menjadi alat penghubung pemberi pemahaman partai dan politik, terlepas baik atau buruk, serta benar atau salah atas apa yang disampaikan oleh setiap media. Tentu media juga menadapat PR, bahwa media haruslah sempurna menjadi sarana informasi.

Menjelang 09 April 2014, Pemilu Legislatif digelar, beragam peristiwa yang masih mengkambing hitamkan demokrasi pun terus terjadi dan tidak terelakkan. Mulai dari deskriminasi SARA, Intimidasi langsung dan tidak langsung, fitnah dan lainnya masih menjadi warna menjelang pesta demokrasi dilaksanakan. Padahal jelas perihal tersebut merusak wajah Demokrasi.

Ketidak-mampuan sebagian masyarakat Indonesia dalam memahami konsep demokrasi ditambah dengan pengetahuan politik yang minim serta mentalitas yang kurang baik  tentu sangat menjanjikan proses menuju pesta demokrasi 09 april cendrung kini  terkesan primitiv bahkan otoriter dibeberapa daerah.

Sebagian pejabat Negara Indonesia menafikan pandangan ini dan  menganggap kesuksesan besar dari demokrasi adalah ketika pemilu selesai dijalankan maka demokrasi Indonesia sempurna. Padahal tidak? dua kategori yang mampu menjelaskan mengapa Pemilu tahun lalu selesai dan sukses.

Pertama ketidakmampuan semua masyarakat dalam berpolitik sehingga masyarakat hanya menjalankan saja tanpa mau tahu dampak meski telah disampaikan oleh media . Kedua  masyarakat Indonesia benar-benar cerdas. Potensi yang kedua menjadi mustahil untuk saat ini apalagi didukung oleh data jumlah buta huruf yang masih tidak sedikit. Tentu berpahit-pahit, bahwa alasan pertama menjadi pilihan, yakni karena masyarakat Indonesia belum sepenuhnya mengerti tentang demokrasi dan politik, dan kembali Pemerintah dipertanyakan keberadaannya?

Terkadang, keadaan seperti ini terkesan sengaja dipelihara dan terus dijadikan pembiaran demi kepuasan segelintir pihak untuk mendapatkan kekuasaan dengan cara membiarkan sebagian tetap tidak cerdas dan dapat dibodoh-bodohi. Program peningkatkan pengetahuan politik masih belum sempurna dilakukan oleh partai-partai kepada kadernya ataupun oleh Pemerintah. Entah menjadi tugas siapa dalam perkara ini? Dengan demikian tentu ketidaksempurnaan dalam demokrasi 09 April, yang didukung dengan pendidikan yang belum juga  menjadi prioritas utama menyisakan tugas baru pasca pemilu.

Demokrasi yang tidak ideal tentu akan menyisakan problem bahkan konflik berkepanjangan dalam berdemokrasi. Oknum penguasapun dibeberapa daerah terkesan fasis , otoriter dan primitive  dalam menjalankan demokrasi. Padahal jelas bahwa fasis, adalah anti-demokrasi. Fitnah, SARA dan intimidasi masih menjadi instrument di beberapa daerah dalam berdemokrasi.

Intimidasi, Kekerasan dalam Demokrasi Aceh

Peristiwa demi peristiwa dibeberapa daerah khususnya Aceh memperlihatkan bahwa hukum sejenak membisu seakan terbunuh dan tertindas  oleh kebutaan memahami demokrasi oleh beberapa pihak. Sementara hukum  hanya mampu melihat retaknya demokrasi dibumi serambi yang sedikit demi sedikit memunculkan konflik baru. Hal ini terlihat dari belum adanya tindakan dari keseluruhan kriminal yang terjadi kecuali beberapa tindakan saja.

Salah satu peristiwa seperti pembakaran atribut dan lainnya  yang terjadi di Takengon beberapa waktu lalu yang mengerahkan massa/kader dalam mempertahankan simbol-simbol masing-masing membuat demokrasi tidak lagi memiliki arti. Sekali lagi! keterbatasan pengetahuan dalam berdemokrasi, membuahkan konflik dan hukum tetap bisu dan tuli. Kebebasan bersikap dan berbuat semena-mena masih dianggap bagian dari demokrasi sehingga terkadang hukum “dikarungi”dalam wadah suara terbanyak.

Padahal Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang  menjaga nilai-nilai, kesadaran akan pluralisme, sikap yang jujur serta pikiran yang sehat dalam kerja sama demi terciptanya masyarakat adil, makmur dan sejahtera. Prinsip demokrasi yang mengatur kebebasaan menyatakan pendapat tanpa ancaman, seharusnya dimengerti dengan baik dan tetap menjadikan hukum sebagai bagian didalamnya. Beragam tindakan kriminal dan sejenisnya tentu harus ditindak secara hukum baik yang mendahului kekerasan atau yang menyudahinya.

Jika, intimidasi dan kekerasan masih menjadi alat dalam berdemokrasi. Indonesia secara internal kenegaraan kedepan tentu akan kembali “bertikai” pikiran untuk mencari solusi baru dalam menata sistem yang baik untuk Indonesia. Padahal Dunia Internasional mengklaim bahwa Indonesia merupakan negara hebat yang mampu menjalan demokrasi dibawah kemajemukan dan perbedaan.

Sebagai salah satu provinsi yang juga majemuk, Aceh hendaknya menjadikan demokrasi dan hukum berjalan seiringan yang dinahkodai oleh kepala daerah setempat. Jika demokrasi dan hukum masih belum sinergi, bukan tidak mungkin Aceh menjadi tidak aman kembali dan tidak akan pernah keluar dari konflik yang baru saja dinikmati. Hasil yang dicapai atas pemilu nanti akan menjadi tidak maksimal dan membuahkan “mosi tidak percaya”dari rakyat kepada wakil rakyat sehingga demokrasi juga tercederai dan stabilitas Negara menjadi goyang atas hukum yang membisu.

Keberadaan beragam etnis di Indonesia merupakan kekayaan yang harus dijaga, begitupun dihargai hak nya dalam berdemokrasi, termasuk di Aceh. Provinsi Aceh yang juga memiliki banyak etnik, seharusnya dipahami oleh para pemimpin daerah bahwa demokrasi memberi hak dan ruang politik kepada semua warga Negara dengan batasan-batasan hukum yang ada.

Mayoritas sebuah etnik hendaknya memberi warna yang ideal tanpa intimidasi kekuasaan apalagi pendeskreditan atas SARA. Kebinekaaan Tunggal IKA, tetaplah harus menjadi warna Indonesia. Perjanjian MoU Helsinki menetapkan Aceh sebagai bagian dari NKRI, tidak terpisahkan dan dengan demikian maka Aceh tetap merujuk pada Demokrasi sebagai sistem Negara Indonesia. Segala bentuk hak dan kewajiban dalam berdemokrasi harus sepenuhnya didukung oleh segenap kepala daerah demi terwujudnya Indonesia aman, adil dan sejahtera dengan berlandaskan pada aturan yang ada di Indonesia.

*Wasekjend Bid. Otonomi Daerah dan Ketahanan Sosial PBHMI 2013-2015

 

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.