ALA-ABAS: Osop-osop Telas

oleh

Yusra Habib Abdul Gani*

WACANA pembentukan  Provinsi ALA (Aceh wilayah Tengah-Tenggara) & ABAS  (Aceh wilayah Barat-Selatan) minta “pisah meja makan” sudah lama mencuat, namun gemanya baru membahana tahun 1999. Sebenarnya, pemekaran wilayah tingkat Provinsi/Kabupaten merupakan hal normal dalam suatu negara, apalagi Indonesia yang wilayahnya begitu luas dan bertambahnya jumlah penduduk. Namun demikian, pemekaran provinsi di Indonesia selamanya berhubung kait dengan policy pemerintah pusat, karena ianyamerombak struktur politik, alokasi dana pembangunan dan sistem pertahanan-keamanan.

 Kasus pemekaran ALA/ABAS misalnya;Megawati(politisi PDI-P) pernah menyatakan dukungan bagi pemekaran wilayah Aceh menjadi tiga propinsi. “Kami dari dulu mendukung terwujudnya Propinsi ALA dan ABAS; UU memungkinkan untuk dibentuknya Propinsi ALA dan ABAS. Hanya usul pembentukan propinsi yang mencuat dari masyarakat sejak 1999 itu belum bisa terwujud karena dipolitisasi.” (Megawati Dukung Pembentukan Propinsi AlA, Abas Segera. ANTARA News, 24 Juli 2008.) Perbedaan pandangan yang mengakibatkan terjadi tarik-menarik kepentingan di Komisi II DPR saat hendak merekomendasi usulan pembentukan Propinsi ALA-ABAS.

Landasan Yuridis

Landasan yuridis formal bagi pembentukan suatu unit pemerintahan baru adalah UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah joncto UUPA joncto PP No.78/2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan daerah, yang mengatur syarat-syarat suatu wilayah pemekarandenganmengacu pada pasal 5 UU No.32/2004, joncto pasal 4 & 5 PP No.78/2007 bahwa: Pertama, syarat administratif untuk provinsi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Wali kota yang menjadi cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan Gubernur, serta rekomendasi Mendagri; Kedua, syarat teknis meliputi faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain terselenggaranya otonomi daerah; Ketiga, syarat fisik meliputi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi.Ini berarti semua unit pemerintahan (Kabupaten) harus menyiapkan kelengkapan data administrasi yang diperlukan. Selain itu, mesti melengkapi syarat formal lain bahwa secara psykhis: semangat, kemauan keras, tekad dan komitmen dalam bentuk aspirasi massal yang tumbuh dan berkembang sentiment kolektif masyarakat bersangkutan mesti ditunjukkan secara kolektif yang diperlihatkan melalui pelbagai aksi damai yang terarah. Ini penting, sebab syarat psykhio-social yang disinggung dalam pasal 15 PP No.78/2007, tahapannya sbb: Pertama, aspirasi sebagian besar masyarakat setempat; Kedua, Keputusan DPRD kabupaten/kota; Ketiga, bupati/walikota dapat memutuskan untuk menyetujui atau menolak aspirasi dalam bentuk keputusan; Ke-empat, keputusan bupati/wali kota disampaikan kepada gubernur dengan melampirkan: 1) dokumen aspirasi masyarakat; dan 2) keputusan DPRD kabupaten/kota dan bupati/wali kota; Kelima, jika gubernur menyetujui, usulan pembentukan provinsi tersebut disampaikan kepada DPRD provinsi yang bersangkutan. Keenam, setelah adanya persetujuan dari DPRD provinsi, Gubernur menyampaikan kepada Presiden melalui Mendagri.Mekanismenya diatur dalam UUPA, pasal 8 ayat (3) bahwa “Kebijakan administrative yang berkaitan lansung dengan Pemerintah Aceh yang akan dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur.” Yang secara rinci dijelaskan: “Kebijakan administratif yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah yang berkaitan lansung dengan Pemerintah Aceh, misalnya, hal-hal yang ditentukan dalam undang undang ini seperti pemekaran wilayah, pembentukan kawasan khusus, perencanaan pembuatan dan perubahan peraturan perundang undangan yang berkaitan langsung dengan daerah Aceh”. Jadi, konsultasi dan pertimbangan gubernur dipandang perlu.

Sehubungan dengan pengajuan pembentukan provinsi baru ini sebenarnya “daftar legislasi pengusulan RUU pemekaran Provinsi oleh DPR RI yang diajukan dimajukan kepada Presiden, sebenarnya sudah bisa mewujudkan provinsi ALA-ABAS. Meski salah satu syarat yang tidak terpenuhi, yakni rekomendasi DPR Aceh dan Gubernur Aceh.”  (Dr Rahmat Salam. Ketua DPR RI Terima Surat Presiden Pemekaran Provinsi ALA Terbuka Lebar, 1 Juni 2012)

Sementara itu, dalam MoU Helsinki butir poin 1.1.2 huruf b,c, dan tertulis secara jelas bahwa untuk berbagai keputusan yang diambil pemerintah pusat terkait dengan Aceh, harus ada konsultasi dan ‘persetujuan’ dari DPRA terlebih dahulu. Namun dalam UUPA seperti yang tertuang dalam Pasal 8 ayat 1,2 dan 3 kata ‘persetujuan’ diganti dengan ‘pertimbangan’. Artinya, meskipun DPRA keberatan, pusat tetap memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan mengenai Aceh, termasuk kebijakan administratif.

Pembentukan Provinsi ALA dapat dilanjutkan oleh pemerintah pusat tanpa melalui persetujuan Gubernur dan DPRA, mengingat adanya Perpres No.75/2008 yang hanya memberikan jangka waktu 30 hari dan masa perpanjangan paling lama 15 hari, dan diperjelas dalam pasal 8 ayat 4: “Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Gubernur tidak memberikan pertimbangan, Pimpinan Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen pemrakarsa dapat melanjutkan proses pembuatan kebijakan administrati.”

Mengamati denyut jantung yang menyuarakan tuntutan pembentukan Prov. ALA/ABAS,ternyata mengalami pasang surut.Setelah “tidur panjang” selama tahun 2003-04, muncul semula pada 4 Desember 2005, dimana para tokoh dari kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, Gayo Lues, dan Bener Meriah berhimpun di Jakarta dan mendeklarasikan pembentukan ALA/ABAS, yang mencakup kabupaten Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Aceh Jaya, Semeulue, dan Nagan Raya. Tuntutan utamanya karena “merasa pendapatan daerah yang dihasilkan tidak sebanding dengan kesejahteraan warganya. Kurangnya perhatian Pemerintah Aceh” (liputan6.com, 2005).

Selain itu, “wilayah ALA/ABAS punya SDA seperti: emas di Aceh Tengah, minyak dan gas di sebelah timur Simeulue, batubara dan uranium di Nagan Raya dan lain-lain. Ini merupakan “natural guarantee” bagi kemakmuran rakyat di wilayah ALA/ ABAS di masa depan.” Inilah diantara point-point yang memicu semangat tokoh-tokoh tersebut terus menggebu dan mengkristal seperti sikap yang diperlihatkan oleh rakyat di Kabupaten Aceh Barat, Aceh Barat Daya dan Aceh Selatan yang memasang spanduk berbunyi: “Selamat Datang di Provinsi Aceh Barat Selatan (ABAS)”(7 Februari 2008) dan “Kepedulian pemerintah pusat untuk melahirkan Provinsi Abas dan Provinsi ALA merupakan kepedulian pusat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat“. Di Aceh Tengah, bahkan sudah disediakan Kantor Gubernur sementara Provinsi ALA (Aceh Leuser Antara).

Refleksi dari tekad masyarakat untuk turut mendukungpembentukan Prov. ALA/ABAS, nampak dari  430 kepala desa dari Aceh menggelar demonstrasi di depan Gedung DPR, Senayan Jakarta, menuntut pembentukan provinsi ALA/ABAS. Dalam demonstrasi itu, para kepala desa ini berniat mengembalikan stempel desa mereka ke DPRdan saat kepala-kepala desa/kampung mengancam akan menyerahkan stempel kepada Irwandi (Gubernur priode: 2007-2012). Sehubungan dengannya; Irwandi merespons sbb: “Silahkan gantung stempel atau mundur. Kami akan cari pengganti atau langsung digantikan sekretaris desa. Tidak ada alasan jika aspirasi pemekaran provinsi di Aceh muncul dengan komplain ketidak adilan. Kalau dikaji dengan pikiran positif, seluruh anggaran untuk kebutuhan belanja daerah dikirim langsung kepada masing-masing kabupaten atau kota.”(Serambi, 24/1/2008). Dari fakta ini,maka bagi masyarakat di wilayah ini harus cerdas membaca tanda-tanda zaman –setidak-tidaknya– jangan tertipu dengan propaganda Parnas/Parlok yang menjual isupemekaran Provinsi ALA/ABAS padamusim pemilu 2014 nanti?

Loby-loby pemekaran Prov. ALA-ABAS

Pada Juni 2009, DPR-RI dengan nomor surat I.G.0.1.01/3345/DPR RI/VI/2009, telah mengirim berkas Usulan Rancangan Undang Undang  Tentang pembentukan 20 Kabupaten/Kota/Provinsi. Surat tersebut merupakan jawaban dari DPR RI atas surat Presiden pada medio Agustus 2008,  tentang 17 RUU Pemekaran Kabupaten/Kota/Provinsi. Ketika DPR-RI membalas surat Presiden; DPR menyertakan tiga lagi RUU pemekaran otonom baru. “Dari 19 calon daerah otonom baru itu, termasuk Provinsi Aceh Louser Antara.” (Testimony Azhari Lubis Humas, Komite Persiapan Pembentukan Provinsi Aceh Louser Antara (KP3 ALA) Kabupaten Gayo Lues.) Jadi, agenda,  perangkat yuridisya sudah jelas dan siap.

Gayo Syndrome’.

Gayo Syndrome berarti: “suatu kecenderungan massa (kolektif)secara spontanitas menyandarkan harapan kepada ketokohan seorang yang dipercayai mampu mengusung cita-cita bersama, ternyata musnah karena tiba-tiba tercècèr/kehilangan budi di tengah jalan.” Peristiwa ini muncul akibat daripada fatwatentang KP3-ALA (Komite Percepatan Pemekaran Provinsi ALA), yang menggiurkan dan menjebloskan tokoh penyelamat rakyat kedalam “Meuligoe” di Banda Aceh, hingga harapan rakyat terbengkalai. Ini terjadi ketika Iwan Gayo didampingi Iklil Ilmy dipercayakan oleh Irwandi menjadi pengurus KKP2DT (Ketua Komite Khusus Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal), April 2008. Pengangkatan ini bertujuan untuk mengalihkan perhatian dari isu pemekaran ke isu pembangunan fisik dan non fisik di wilayah Aceh yang terpencil. Ketika itu, Irwandi Yusuf berkata: “Tidak ada alasan jika aspirasi pemekaran provinsi di Aceh muncul dengan komplain ketidak adilan. Kalau dikaji dengan pikiran positif, seluruh anggaran untuk kebutuhan belanja daerah dikirim langsung kepada masing-masing kabupaten atau kota. Seharusnya masyarakat mempertanyakan kepada kepala pemerintahan di daerahnya kemana dana itu digunakan selama ini, apa untuk pembangunan atau dinikmati oleh segelintir orang. Seharusnya mereka mempertanyakan hal itu kepada pejabat di daerahnya, bukan menuntut pemekaran provinsi.” Lebih jelas Irwandi Yusuf berkata: “gagasan pemekaran hanya untuk mengobok-ngobok kembali Aceh. Saya akan lawan sekuat tenaga demi mempertahankan keutuhan dan kedamaian Aceh”.(Serambi, 24/1/2008).

Kini, Aceh di bawah pemerintahan daulah Zaini Abdullah, isu pemekaran kembali mengemuka dengan alasan yang tidak disyaratkan oleh perundang-undangan. Karena itu, penolakan dinyatakan oleh Muzakir Manaf  (wakil Gubernur Aceh priode: 2012-2017) bahwa: “Soal Aceh, harusnya melihat sesuatu secara utuh dan memperhatikan kesatuan Aceh. Jangan memecah belah. Jangan juga bermimpi di siang bolong”. (Lihat: Muzakir Manaf. Soal ALA-ABAS jangan mimpi di siang bolong! Athehpost.com, 22 April 2013). Tokoh yang mengusung pemekaran pemekaran seharusnya punya ilmu penangkal dan mampu berdebat secara terbuka dan demokratis dengan pihak Pemda Aceh tingkat Provinsi, agar alasan-alasan penolakan maupun tuntutan dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah, politis dan yuridis.Siapakah figur itu?

Selama ini tokoh-tokoh pemekaran ALA/ABAS hanya berani bersuara di kandang sendiri atau di luar radius politik lokal, yang mengadakan pertemuan di Medan, Sumatera Utara. Mengapa tidak mendatangi dan mengajak Gubernur Zaini Abdullah Cs dan DPRA untuk berdebat langsung di arena yang sesungguhnya di banda Aceh?” Sikap yang demikian, bukan karateristik orang gayo. Orang gayo “munalo” bukan “menunggu”, sebagaimana diulas dalam “Kode Ethik Pelolo dalam Budaya Gayo” (Yusra Habib Abdul Gani, Lintas gayo, 25 Oktober 2012).

Elakkan prilaku “Asu Kolak Kemiring”

Tuntutan pembentukan Provinsi ALA-ABAS dalam realitasnya masih saja tersandung; selain disebabkan dinamika politik lokal kurang stabil, tetapi juga kualitas dan mentalitas figur penuntut sangat labil. Misalnya, pada 28. Februari, 2008 saat diadakan rapat akbar dan mendeklarasikan pembentukan Provinsi ALAdengan tuntutan:

  1. Untuk meningkatkan kesejahteraan warga terutama warga yang berada di wilayah tengah.” (indosiar.com. 28/02/08)
  2. Karenamerasa pendapatan daerah yang dihasilkan tidak sebanding dengan kesejahteraan warganya. Kurangnya perhatian Pemerintah Aceh” (liputan6.com, 2005).
  3.  “Wilayah ALA/ ABAS punya SDA seperti: emas di Aceh Tengah, minyak dan gas di sebelah timur Simeulue, batubara dan uranium di Nagan Raya dan lain-lain. Ini merupakan “natural guarantee” bagi kemakmuran rakyat di wilayah ALA/ ABAS di masa depan.”
  4. Perkembangan terkini di Aceh yang tidak mengakui adanya kebudayaan (bahasa) lain di luar Aceh, membuktikan bahwa etnis minoritas menjadi warga kelas dua dan itu mengkhianati multi-kulturisme.”(Rapat pengurus Komite Persiapan Pembentukan Propinsi Aceh Leuser Antara (KP3-ALA) Rabu (14/11).
  5. Wilayah kami (6 kabupaten yang meliputi, Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Singkil, Subulussalam dan Kutacane. 6 Kabupaten) sangat kaya dengan sumber daya alam, hasil bumi diwilayah ALA sangat melimpah seperti  batu bara,  emas, timah , uranium dan masih banyak lagi sumber daya alam lainya, jadi jika ALA lahir, masyarakat yang mendiami wilayah tengah ini akan hidup makmur.” (Tagore Abubakar  Dorong RI Segera Sahkan ALA. SuaraLeuserAntara.com, 24 Januari 2013.)

Tuntutan di atas relevan dengan syarat-syarat perundang-undangan, karena itu fokuskan perhatian kepadanya dan kesampingkan perkara-perkara non yuridis  karena dapat menimbulkan perbedaan tafsir. Elakkan prilaku “Asu Kolak Kemiring”. Artinya: dalam perjalanan mengejar “Giyongen” sudah pasti terdengar olehnya “kerkès ni Kilik atau Perok”. Bayangkan jika anjing pemburu itu terpengaruh dan melayani “kerkès-kerkès” tadi, maka mustahil “Giyongen” didapatnya. Itu sebabnya, “Asu Kolak Kemiring” tidak boleh dipakai sama sekali untuk berburu. Dengan kata lain, ketika terdengar “kerkès”, seperti Qanun No.8/2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe yang dinilai diskriminatif dan qanun Nomor 3/2013 tentang Bendera dan Lambang, yang disifatkan oleh perundang-undangan sebagai bendera separatis.

Dua Perkara ini tidak perlu dikait-kaitkan dengan  tuntutan pemebentukan Provinsi ALA/ABA dan tidak perlu terpengaruh sehingga mengelurkan statement: “Ada upaya penguburan Gayo hidup-hidup, padahal masyarakatnya jelas-jelas ada. Qanun Wali Nanggroe sudah melanggar Hak Azazi Manusia.” (Ir. Tagore, Lintas Gayo, 12/01/013). Demikian pula dengan pernyataan: “Situasi dan kondisi Aceh saat ini memungkinkan percepatan pemekaran. Qanun Wali Nanggroe, Qanun Lambang dan Bendera menjadi alasan utama percepatan tersebut,” (Burhan Alpin, SH, Sekjen Komite Panitia Pemekaran Propinsi ALA (KP3-ALA. Tokoh ALA dan Abas Desak Terbitkan Perpu untuk Pemekaran di Aceh Laporan Wartawan Serambi Indonesia.Selasa, 7 Mei 2013) Lebih-lebih lagi memperlihatkan sikap ‘double standard’, yang berhubungan langsung dengan pembentukan Provinsi ALA/ABAS.Ini sudah tentu akan melemahkan tuntutan. Contohnya: di satusisi dikatakan: “Qanun Wali Nanggroe Nomor 8 Tahun 2012 Tanggal 19 November 2012 itu dinilai sebagai bentuk pelanggaran HAM (hak asasi manusia) yang berupaya menghapus suku Gayo, Alas, dan Singkil sebagai penduduk asli bangsa Aceh. Akan tetapipada sisi lain dikatakan: “Pemeritah Aceh akan memiliki tiga provinsi dan memiliki hanya satu Wali Nanggroe yang tetap dalam bingkai keistimewaan Aceh dan NKRI. Diharapkan nantinya posisi Wali Nanggroe sama dengan Yang Dipertuan Agung di Malaysia yang mengurus adat istiadat, syariat Islam, dan keistimewaan Aceh.”(Tokoh 6 Daerah Angkat Isu ALA, 13 Januari 2013).     Upaya-upaya seperti “usul pemekaran yang sejak 2003 dan Pemerintah telah memasukkan dalam perencanaan 2016-2020. Tapi kita sudah tak tahan lagi, pemekaran harus tahun ini. Caranya dengan Perpu,” (Tjut Agam, Kolonel purnawirawan TNI AD). Selain itu “mendesak Pemerintah  menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang atau Perpu pemekaran Aceh. Situasi dan kondisi di Aceh mendesak dilakukannya pemekaran dalam tahun ini juga, yang diutarakan delegasi tokoh ALA dan Abas.”(Pertemuan dengan Yudi Hermanto, Deputi I Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamananpada 7/5/2013). Bahkan “…draf Provinsi ALA sudah di Sekretaris Negara. Kami menyimpulkan, kalau sudah di Sekretaris Negara sama artinya sudah di tangan Presiden. Kami berharap sebelum periode beliau berakhir pada 2014, draf itu sudah ditandatangani,” (Tokoh ALA dan Abas Desak Pemekaran Pakai Perpu. Serambinews.com, 8 Mei 2013)boleh dianggap sebagai langkah-langkah maju.

Akhirnya,“kerkès-kerkès”di atas tidak perlu dipertimbangkan, sebab secara yuridis ianya tidak masuk sebagai alasan dan syarat sah/formal pembentukan provinsiALA/ABAS.

*Director Institute for Ethnics Civilization Research

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.