Mewujudkan Islam Rahmatan Lil Alamin

oleh

Oleh: Johansyah*

JohansyahOK“IF you want to learn about Islam, go study Islam, don’t study the Muslims! Islam Is perfect, muslim are not, don’t get confused!” (jika kalian ingin belajar tentang Islam, maka pelajarilah agama Islam, bukan belajar tentang penganut Islam. Islam adalah agama sempurna, muslim tidak selalu sempurna, jangan bingung).

Kalimat di atas adalah pernyataan Samir Nasri, yang penulis petik dari Republika Online. Pernyataan salah satu punggawa The Citizen yang beragama Islam ini merupakan upayanya untuk meluruskan kekeliruan pemahaman non-muslim yang sering menilai Islam sebagai agama kekerasan, intoleran, dan lain-lain. Narsi hanya ingin menegaskan ketika kalangan non-muslim ingin melihat kesempurnaan Islam, maka lihatlah ajarannya yang tertuang dalam alqur’an dan hadits, bukan melihat perilaku pemeluknya, karena perilaku seorang muslim tidak akan pernah sesempurna ajarannya.

Suka atau tidak suka, harus diakui bahwa penilaian miring oleh kalangan non-muslim terhadap Islam selalu merujuk kepada realitas keseharian masyarakat muslim selaku pengamal ajaran Islam. Berbagai perilaku buruk yang diekspresikan masyarakat muslim, seperti bom bunuh diri dengan dalih jihad, tidak menghargai agama lain, tidak toleran, tidak bersih, dan perilaku buruk lainnya, sering kali dijadikan rujukan untuk menilai bahwa Islam itu agama kekerasan, intoleran, dan beragam penilaian miring lainnya.

Lalu mengapa sebenarnya kalangan non-muslim tidak mau menelaah langsung ajaran Islam dari alqur’an dan hadits untuk menilai secara objektif bagaimana sesungguhnya Islam itu? Jawabannya, jika mereka merujuk kepada teori dan konsep ajaran Islam secara langsung, maka tidak ada celah dan ruang untuk menelanjangi kemualiaan Islam dan mengklaimnya sebagai agama buruk karena semuanya akan terbantahkan dengan ayat atau hadits.

Misalnya peristiwa bom bunuh diri di Poso, Sulawasi Tengah beberapa waktu lalu, atau aksi sekelompok muslim yang membunuh salah satu tentara Inggris beberapa bulan lalu, serta kejadian yang lain. Aksi-aksi ini semua tentu tidak satupun mendapat  legalitas dari alqur’an maupun hadits.

Untuk itu, ketika kalangan non-muslim menjadikan  beberapa aksi ini sebagai rujukan untuk menilai bahwa Islam itu adalah agama permusuhan, tentu keliru. Kecuali mereka cerdas dalam membedakan mana Islam dan mana muslim. Ajaran Islam adalah sempurna, namun tidak semua pemeluknya mampu menjalankannya dengan sempurna.

Hemat penulis, aksi-aksi menyimpang sebagaimana dicontohkan di atas merupakan celah yang dimanfaatkan oleh kalangan non-muslim untuk menilai bahwa Islam adalah ajaran yang penuh keburukan. Untuk itu, maka langkah yang harus dilakukan oleh masyarakat muslim adalah menutup celah tersebut dengan tidak membuat aksi-aksi teror berkedok jihad, atau tidak toleran terhadap ajaran agama lain.

Perjuangan, mempertahankan diri, atau tindakan apapun namanya atas dasar agama hendaknya jangan lagi diekspresikan melalui kekerasan, penyerangan yang membabi buta, main hakim sendiri, atau teror karena itu semua akan merusak citra Islam sebagai ajaran yang sempurna dan mulia.

Masyarakat muslim juga harus menyadari betul bahwa kelompok non-muslim tidak pernah puas dengan Islam sebelum para pemelukknya mengikuti  agama mereka (baca QS. al-Baqarah: 120). Agama boleh Islam, namun perilaku pemeluknya harus menyimpang dari ajaran Islam sebenarnya. Nah, sebenarnya Islam eksklusif, puritan, sikap intoleran, aksi bom bunuh diri, dan lain-lainnya, semua itu adalah lahan subur yang dimanfaatkan kalangan yang tidak menyukai Islam untuk membangun image bahwa Islam itu hina di mata dunia.

Lahan-lahan subur yang dimanfaatkan untuk memberi label Islam hina inilah yang harus kita tutup untuk membangun image positif terhadap Islam di mata internasional. Untuk itu, langkah urgen yang harus dilakukan adalah mengubah cara pandang kelompok muslim yang keliru dalam memahami, menafsirkan, dan mengamalkan ajaran alqur’an dan hadits. Hal ini tentu membutuhkan proses.

Membangun Pemahaman

Setiap perilaku seseorang merupakan wujud dari pengetahuan dan pemahaman yang dimilikinya. Untuk itu, dalam upaya melahirkan perilaku sosok muslim yang inkulusif, toleran, demokratis, santun, serta menjadi rahmatan lil alamin, tentu harus dimulai dari upaya membangun pemahaman mereka ke arah tersebut.

Maka misi utama kita untuk melahirkan pribadi muslim ideal sesuai harapan alqur’an adalah mencari cara penafsiran yang dapat mengarahkan mereka ke sana. Artinya harus ada strategi, pendekatan, dan metode tafsir yang mampu mengantarkan umat kepada pemahaman yang inklusif, santun, dan tidak menebar permusuhan, sehingga mampu melahirkan pemahaman yang lebih dekat dengan maksud alqur’an, universal, dan dapat diterima semua kalangan.

Untuk tujuan tersebut di atas, setidaknya ada tiga hal yang selalu menjadi pertimbangan bagi kita dalam upaya menafsirkan ayat alqur’an selain beberapa syarat yang sudah ditetapkan para ahli tafsir. Pertama adalah pengayaan makna ayat. Penafsiran dengan metode  dan pendekatan apapun sejatinya harus didasari atas pengayaan makna. Seorang penafsir harus serius dalam mengeksplor multi makna yang ditampilkan alqur’an. Misalnya dalam memaknai kata Islam, jihad, takwa, iman, dan kosa kata lainnya.

Aspek kedua yang perlu diperhatikan adalah konteks atau bi’ah. Hal ini disebabkan karena objek analisis dalam tafsir adalah realita kekinian yang sedang berlangsung. Tanpa pertimbangan konteks, maka boleh jadi penafsiran seseorang adalah upaya penafsiran ulangan dengan hanya mengungkap pendapat ahli tafsir klasik yang tentunya tidak besentuhan dengan kenyataan zaman yang sedang berlangsung.

Aspek ketiga dalam menafsirkan ayat yang perlu diperhatikan adalah pertimbangan manfaat mudharat. Ketika penafsir membangun sebuah pemahaman terhadap suatu ayat, lalu menjadikannya sebagai landasan untuk melakukan aksi tertentu, perlu dipertimbangankan manfaat dan mudaratnya. Contohkan saja pada aksi bom bunuh diri, tentu mudharatnya lebih banyak dari manfaat, atau bahkan mungkin tidak ada manfaatnya. Berarti ada yang keliru dengan penafsiran kita terhadap konsep jihad.

Keinginan untuk mengobrak-abrik kemuliaan Islam tidak akan pernah berakhir dari mereka yang tidak senang terhadap Islam. Namun demikian justru umat inilah yang menjadi penentu apakah Islam itu mulia di mata mereka. Umat ini harus mampu memunculkan Islam sebagai agama yang menebar perdamaian, bukan permusuhan. Islam sebagai agama santun dan toleran, bukan agama kekerasan. Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, bukan laknatan lil alamin. Wallahu A’lam! (johansyahmude@yahoo.co.id)

*Kandidat Doktor Pendidikan Islam pada PPs UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.