Perempuan Gayo Pembaca Puisi Itu telah Lahir

oleh
Zuliana Ibrahim Baca Puisi diiringi Gegedem dan Soling Gayo (Foto Aman Renggali)
Zuliana Ibrahim Membacakan Puisinya ditengah ribuan penonton pada tgl 8 September 2013. (Foto. Aman Renggali)
Zuliana Ibrahim Membacakan Puisinya ditengah ribuan penonton pada tgl 8 September 2013. (Foto. Aman Renggali)

SEINGAT saya baru kali ini ada perempuan Gayo yang menjadi penyair modren sekaligus pembaca puisi yang baik. Namanya Zuliana Ibrahim, lahir di Takengon pada 13 Juli 1990. Penampilannya dengan style pembacaan puisi pertama kali saya nikmati saat dilangsungkannya peluncuran buku Antologi Puisi Pasa terbitan The Gayo Institute (TGI) pada tahun 2011 silam di Warung Apresiasi (Wapres) Takengon. Kebahagiaan tersendiri bagi pelaku dan penggiat sastra di tanah Reje Linge ini, karena dari sekian dasa warsa baru kali ini muncul seorang perempuan Gayo yang berani memilih dan konsisten dalam pembacaan puisi.

Karena setelah itu saya juga kembali menyaksikan gadis hitam manis ini menbacakan karyanya di Gedung Olah Seni Takengon. Meski dengan narasi features dalam even yang digagas dinas Kebudayaan dan Parawisata Aceh Tengah itu ia tampil dengan percaya diri.

Tidak cukup memang memastikan bahwa pembaca puisi dari perempuan Gayo itu telah lahir hanya dengan dua pementasan Zuliana.

Dalam kesempatan lainnya, saya kembali menyaksikan “keberanian” alumnus Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara ini di lapangan terbuka. Tepatnya di hamparan persawahan Toweren dalam serangkaian pesta munoling. Dengan sorotan beberapa kamera digital serta lensa handicam, ia tampil diantara benyang berbentuk segi tiga dengan teknik dan ekpresi pembacaan puisi yang ekpresif.

Namanya barangkali masih tergolong baru dalam kancah dunia sastra Gayo dan Aceh, tetapi rekam jejaknya di kota Medan dalam kekaryaan dan kreativitas patut diacungi jempol. Ia menjadi mahasiswa yang patuh terhadap Satuan Kuliah Semester (SKS), dan tentu mengemban amanah orang tuanya dengan penuh tanggungjawab. Buktinya ia dapat meraih gelar kependidikan dengan tepat waktu. Tidak cukup sampai disitu, saat kuliah ia juga aktif disejumlah organisasi interen kampus juga di luar kampus.

Zuliana Ibrahim Baca Puisi diiringi Gegedem dan Soling Gayo (Foto Aman Renggali)
Zuliana Ibrahim Baca Puisi diiringi Gegedem dan Soling Gayo (Foto Aman Renggali)

Minat dan kreativitasnya telah ia pahat sejak disini, di dunia kampus yang memberi ruang serta pilihan yang beragam. Tetapi Zuliana mempunyai kecenderungan terhadap sastra. Deretan karya bahkan sejumlah buku sempat mengabadikan karyanya. Beberapa karyanya berupa puisi dan cerpen terbit di harian Medan Bisnis, Analisa, Mimbar Umum, Serambi Indonesia, Sinar Harapan, Majalah teropong UMSU dan Majalah LPM Dinamika IAIN. Selain itu, juga terangkum dalam beberapa antologi seperti buku kumpulan cerpen CERMIN, antologi cerpen 29 penyair Medan MA HYANG, 53 penyair Medan CAHAYA, KANVAS SASTRA, FF 300 kata KAMPOENG HORAS oleh leutika reading society chapter Medan. Antologi cerpen Di Sebuah Surau, Ada Mahar Untukmu penerbit Tinta Media, kumpulan krispi Ini Bukan Kisah Cinderella oleh Win’s Sharing Club Medan. Antologi cerpen dan puisi Goresan Pena Anak Medan, Rinai-Rinai Imaji FKIP UMSU.

Dalam seminar bertema “Dengan Puisi Gayo Bangkit” yang diadakan oleh Lembaga Bahasa Banda Aceh di Takengon pada tanggal 20 Agustus yang lalu, saya memenuhi permintaan Zuliana Ibrahim untuk diikutkan sebagai salah seorang peserta. Kebetulan makalah yang saya persentasikan adalah menyangkut teknik menulis, mengapresiasi dan membaca puisi. Dihadapan puluhan murid SMA dan sejumlah guru sastra se Kabupaten Aceh Tengah, Zuliana kupersilahkan membacakan karya-karyanya tentang gempa Gayo. Sekali lagi aku mempunyai refrensi untuk mengeksplor tentang ciri dan teknik pembacaan puisi yang baik, dan pembacaan puisi Zuliana adalah sebuah contoh yang patut ditiru.

Belum lama ini Zuliana Ibrahim juga tampil memukau dalam acara silaturrahmi sebuah komunitas di pinggiran Danau Lut Tawar. Ekspresi dan kedewasaannya dalam membacakan puisi sudah memasuki teknik peran aktris poommer. Ini cukup menjadi pertanda bagi saya untuk mengatakan bahwa “Pembaca Puisi Peremuan Gayo itu telah lahir”. Tentu tidak perlu prosesi turunmani dengan membelah kelapa untuk menyambutnya, karena yang terpenting adalah bagaimana ruang dan kehadirannya diharapkan akan memberi warna dalam dunia sastra di Gayo dan Aceh umumnya. Salman Yoga S.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.