Belenggu Positivisme dalam Penegakan Hukum

oleh

Refleksi Hari Bhakti Adhyaksa (Kejaksaan) Ke-53

Oleh: Syandi R Sabekti,SH*

kejaksaanHARI Bhakti Adhyaksa yang di selenggarakan setiap tanggal 22 Juli menjadi hari kebangkitan Korps Kejaksaan, sudah 53 tahun sejak berdirinya Kejaksaan hingga kini. Dan tidak sedikit pula sorotan terhadap kinerjanya sebagai sebuah lembaga extra-ordinari yang mengemban tugas cukup berat dalam penegakan hukum di Indonesia yang tengah carut-marut.

Sebagai seorang jaksa tentu tidak mudah mengambil sebuah langkah kebijakan yang berhati nurani, seperti mana yang disampaikan oleh Jaksa Agung Basrief Arief 2 tahun silam. Dimana beliau mengatakan bahwa jaksa harus mengedepankan hati nurani dalam menjalankan tugas. Dilema yang harus dihadapi oleh para jaksa adalah ketidakmampuan mereka dalam menuntaskan perkara dengan mengambil sebuah kebijakan yang berani menentang hukum positif yang berlaku.

Sebuah paradigma positivisme yang membelenggu kehidupan jaksa menjadikan jalan yang mereka jalani penuh dengan segala sesuatu yang nyata dan kasat mata, sedangkan urusan hati nurani menjadi urusan no.2, segala bentuk kaedah-kaedah dan nilai-nilai dalam masyarakat pun terpaksa di acuhkan akibat dari gelapnya paradigma positivisme yang menjadi tonggak kehidupan para jaksa.

Bengawan Hukum Prof.Satjipto Rahardjo pernah mengungkapkan tentang membangun hukum yang berhati nurani merupakan batu loncatan yang sangat terjal, tidak hanya membutuhkan intelektualitas semata, tapi keberanian yang cukup besar dalam menjalankan hukum yang berhati nurani. Karena menggugat positivisme hukum berarti harus siap dengan konsekuensi yang ada, tapi inilah faktanya, karena pemikiran-pemikiran positivisme tidak dapat lagi membantu masyarakat untuk keluar dari belenggu rasa ketidak-adilan akibat dari mandeknya hukum itu sendiri, malah positivisme dianggap menjadi biang dari semua permasalahan di segala bidang khususnya hukum.

Begitu banyak kinerja para jaksa yang menjadi sorotan cukup dalam, dan menjadi potret buram kisah hukum negeri kita. Contohnya jaksa Tri Urip Gunawan, Antasari Azhar dan Cirus Sinaga, ketiga kasus ini menjadi tamparan keras terhadap kejaksaan, disaat lembaga yang selama ini tak pernah gunjang ganjing kini mulai diperdebatkan kinerjanya. Moral-moral aparatur penegak hukum saat ini selalu dipertanyakan, kinerjanya selalu tidak pernah menemui hasil yang maksimal di mata masyarakat, karena masyarakat sendiri sudah tidak lagi percaya terhadap sistem hukumnya dalam memberantas tindak pidana yang terjadi ditengah-tengah masyarakat, apalagi memberikan yang namanya keadilan.

Namun, perlu kita ketahui, ini semua tidak hanya karena masalah moral semata karena sistem hukum kita juga tidaklah semuda dulu, butuh pembaharuan dalam sistem hukum kita, butuh penyegaran dalam sistem peradilan pidana, butuh aturan yang menjunjung tinggi nilai-nilai, kaedah-kaedah yang berlaku dalam masyarakat, kita membutuhkan hukum yang fleksibel, tidak kaku dan monoton dalam penerapannya. Karena hukum kita saat ini adalah hukum dengan pemahaman positivisme yang jauh berbeda dengan pengamalan Pancasila sebagai dasar negara. Paradigma atau konsep berpikir positivisme saat ini masih bersifat top-down, dualistik, sentralistik dan formal legalistik.

Dengan memadukan pembenahan moral dan pembaharuan sistem pidana kita melalui pendidikan hukum yang mapan dan terlepas dari belenggu Positivisme menjadi suatu keharusan saat ini, melihat dari kenyataan yang diterima oleh masyarakat (terutama masyarakat kalangan menengah kebawah) saat ini dalam memperoleh keadilan menjadi hal yang sangat mustahil, kita tentu menyadari bahwa kita membutuhkan perubahan, mungkin tidak hanya sebuah perubahan melainkan revolusi dari sistem hukum kita agar tidak terjadi ketimpangan sosial yang mengakibatkan sulitnya mencapai sebuah kata “adil” dalam ketidak-adilan, dan tidak ada lagi penjajahan yang dilakukan akibat dari arogansi penguasa.

Melalui Hari Bhakti Adhyaksa (HBA) ini diharapkan Kejaksaan mampu meningkatkan kualitas intelektualitas yang mengedepankan hati nurani, karena bagaimanapun Rakyat kita membutuhkan tempat mencari keadilan, selama ini tempat mencari keadilan telah berubah menjadi tempat mencari menang dan kalah yang merupakan imbas dari hukum modern yang tidak lagi mementingkan nilai-nilai dan kaedah yang ada di dalam masyarakat. Indonesia membutuhkan jaksa seperti Baharuddin Lopa, Hakim seperti Bisma Siregar, mereka adalah para penegak hukum yang selalu mendahulukan hati nurani, mereka mampu untuk mengakomodasikan pluralisme hukum dengan tidak mengesampingkan kearifan lokal sebagai ciri khas hukum Indonesia dan mereka mampu mengemban nilai-nilai Keadilan dalam setiap tugasnya.

Sudah saatnya para jaksa kita keluar dari belenggu positivisme untuk menjadi jaksa yang lebih Progresif, agar kedepan rakyat Indonesia mampu memberikan tumpuan dan harapan kepada para jaksa untuk memberikan rasa keadilan yang seadil-adilnya. Meski ini merupakan tantangan berat, namun apabila para jaksa sebagai aparatur penegak hukum tetap konsisten dengan mulai mengedepankan hati nurani dalam melaksanakan tugasnya, kelak para jaksa sendiri akan menjadi aparatur penegak hukum yang mampu menjadi panutan bagi aparatur penegak hukum lain. Mari kita tunggu jaksa-jaksa “Lopa” yang akan datang yang mampu keluar dari belenggu positivisme hukum.

Selamat Hari Bhakti Adhyaksa ke-53.(syandi.rs.sh@gmail.com)

*Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.