Dr. Rimbawan: Demokrasi Menciptakan Biaya Tinggi

oleh
Dr. Rimbawan menjelaskan demokrasi cycle dalam diskusi.
Dr. Donny Tjahja Rimbawan.
Dr. Donny Tjahja Rimbawan.

Jakarta – LintasGayo: Dampak dari penerapan Demokrasi liberal di Indonesia ternyata membutuhkan biaya yang sangat tinggi, akhirnya menjadi beban politik yang harus dikembalikan saat seseorang berkuasa.

Demikian penjelasan pengamat politik Universitas Indonesia (UI) Dr. Donny Tjahja Rimbawan dalam diskusi terbatas Institut Transparansi Kebijakan (ITK), dibilangan Cikini Jakarta, Sabtu (22/6/2013) siang.

Dari hitungan Rimbawan dalam pengelolaan partai politik saja selama lima tahun, biaya yang harus di keluarkan oleh Parpol berkisar Rp188,700 miliar untuk keberadaan kantor parpol di Kabupaten/Kota dan Ibu kota Provinsi.

“Biaya lebih besar juga dikeluarkan oleh para Caleg yang akan duduk di DPR RI dan DPRD, setidaknya jika diakumulasi akan mengeluarkan dana berkisar Rp160,120 triliun,” papar Rimbawan.

Dalam pemilihan kepala daerah baik untuk menjadi Bupati, walikota maupun Gubernur biaya yang dikeluarkan para calon juga begitu besar dan tidak sebanding dengan pendapatan yang diterima selama lima tahun berkuasa.

“Untuk pemilihan kepala daerah setidaknya dana yang gelontorkan diseluruh Indonesia mencapai Rp23,180 triliun, dengan perhitungan seorang calon Gubernur mengeluarkan dana rata-rata Rp25 miliar dan seorang calon Bupati/walikota mengeluarkan dana berkisar Rp10 miliar,” terangnya.

Ajang lima tahunan pemilihan Presiden juga tidak hebatnya dana yang dibutuhkan oleh para Capres, Seorang capres setidaknya membutuhkan dana berkisar Rp7 triliun untuk bisa menggaet 70 juta suara rakyat Indonesia.

Sehingga, menurut Rimbawan, total dana yang keluarkan sebagai biaya politik selama lima tahun mencapai Rp190,488 triliun. Dana sebesar ini tidak sebanding dengan nilai demokrasi yang seharusnya mensejahterahkan rakyat Indonesia.

Menurut Rimbawan, jika sistem Demokrasi seperti ini tetap dipertahankan dan diteruskan, maka rakyat Indonesia hanya disibukkan dengan proses politik yang tidak henti-hentinya. Sekarang pemilu sudah ada dari pemilihan kepala desa hingga pemilihan Presiden, energi rakyat terkuras hanya untuk menjalankan proses politik, pembangunan sosial ekonomi dan sektor lainnya akhirnya terlupakan.

Diungkapkannya, proses politik dengan sistem pemilihan langsung yang terjadi saat ini justru telah keluar dari landasan negara kita yakni Pancasila. Dalam sila ke-4 secara jelas menegaskan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

“Ini mengandung pengertian pemilihan pemimpin bukan dipilih secara langsung tapi dipilih melalui perwakilan,” urainya.

Dr. Rimbawan menjelaskan demokrasi cycle dalam diskusi.
Dr. Rimbawan menjelaskan demokrasi cycle dalam diskusi.

Dicontohkannya, pemilihan kepala daerah dan Presiden seharusnya dipilih oleh DPRD untuk kepala daerah dan Presiden dipilih oleh MPR. Sistem yang ada di zaman orde baru sudah tepat, pemilihan hanya ditujukan untuk wakil rakyat yakni DPRD dan DPR RI.

Dengan menyederhanakan sistem pemilihan ini, sudah tentu biaya yang dikeluarkan juga lebih minimal yang akhirnya berdampak pada upaya menekan perilaku koruptif penguasa dan anggota legislatif terpilih.

“Saat ini semua calon terpilih baik untuk legislatif maupun kepala daerah  berupaya untuk mengembalikan biaya politik yang besar, salah satu caranya dengan melakukan korupsi. Karenanya korupsi akan semakin marak dan sulit diberantas,” pungkas Rimbawan.(rilis)

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.