Pendidikan Era Global, Konservatif atau Progresif?

oleh

Oleh: Johansyah*

johansyahmudeUPAYA pengembangan pendidikan dalam menghadapi arus globalisasi selalu dihadapkan kepada dilema. Di satu sisi, pendidikan diharapkan mampu mempertahankan nilai-nilai budaya yang sudah mapan dalam suatu masyarakat. Namun di sisi lain, pendidikan diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik untuk mampu menghadapi tantangan globlisasi, bahkan mampu berperan aktif di dalamnya.

Adanya keinginan untuk mempertahankan yang lama, atau lebih memerioritaskan yang baru dalam pendidikan sesuai perkembangann zaman, dapat dilihat dari keberagaman aliran filsafat pendidikan yang muncul dan berkembang. Aliran perennialisme dan essensialisme merupakan mazhab konservatif yang berusaha untuk melestarikan nilai-nilai masa lalu untuk tetap dikembangkan pada saat ini karena dianggap nilai tersebut telah teruji dan mapan. Sementara di sisi lain ada aliran progresifisme dan rekonstruktivisme sebagai mazhab futuralistik yang lebih berorientasi pada masa depan.

Terlepas dari kecenderungan kita kepada salah satu aliran filsafat pendidikan di atas, sebenarnya untuk membangun sebuah sistem pendidikan yang berkualitas, kita tidak dapat menafikan salah satu di antara keduanya, yakni nilai-nilai lama yang telah terbangun harus tetap dipertahankan dan harus berorientasi pada masa depan. Apapun ceritanya, bahwa hari ini adalah rangkaian dari masa lalu dan merupakan episode waktu yang terus berputar. Untuk itu, masa lalu harus dihargai sebagai sebuah produk budaya dengan tetap memiliki visi dan orientasi masa depan.

Sekiranya hal ini dapat dipahami dengan baik, maka sebenarnya tidak ada dilema dan polemik tentang pendidikan, apakah harus mempertahankan produk lama yang telah dianggap telah teruji ataukah pendidikan harus berorientasi kepada masa depan. Tentu saja keduanya tetap harus terakomodasi dalam pengembangan sistem pendidikan sesuai dengan harapan publik.

Globalisasi adalah ‘sunnatullah’ yang rela atau tidak rela merupakan fenomena dan produk dunia kontemporer. Tilaar (2012: 3) mengatakan bahwa globalisasi merupakan suatu keterkaitan dan keterhubungan dari seluruh aspek di dalam kehidupan manusia. Namun demikian, untuk menepis kekaburan identitas dan nasionalisme akibat arus globalisasi, kita harus menyikapinya dengan penguatan glokalisasi, yakni sebuah upaya untuk memelihara dan melestarikan nilai-nilai kearifan lokal yang telah terbangun mapan dan telah teruji. Adanya sikap seperti ini diharapkan mampu melestarikan yang lama, namun di sisi lain arus global juga tidak menjadi hambatan dan ancaman.

Merujuk pernyataan di atas, berarti dalam pengembangan sistem pendidikan, kita harus menganut prinsip konservatif, sekaligus progresif. Kadang kala, memang ada kekhawatiran sebagian kalangan bahwa hal tersebut tidak dapat ditempuh secara sinergis dan simultan serta hanya akan mengaburkan nilai-nilai klasik yang telah mapan, atau justru aspek progresifitasnya tetap tidak kelihatan.

Terkait dengan kekhawatiran di atas, maka dalam upaya mempertahankan budaya dan kearifan lokal, bukan berarti semua harus tetap dipertahankan dan berlaku secara mutlak pada masa yang tidak terbatas. Perlu dicatat bahwa yang paling esensial untuk dipertahankan dari masa lalu adalah konstuksi moral dan nilai-nilai etika sebagai produk budaya. Aspek inilah yang sejatinya dijaga dan menjadi modal dasar dalam pengembangan karakter generasi berikutnya sesuai dengan formulasi budayanya.

Demikian halnya dengan prinsip progresifitas dalam mengikuti arus globalisasi,  tentu tidak semua produk global harus diikuti dan diserap oleh masyarakat kita. Hal terpenting yang perlu direspon dan diupayakan adalah kekuatan persaingan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terlebih lagi persaingan dalam bidang ekonomi. Pilihan kita dalam hal ini hanya ada dua, sebagai produsen atau konsumen. Kelompok yang untung tentunya adalah yang pertama karena mereka mampu menjadi pemeran utama dalam arus globalisasi.

Hal yang esensial berarti bahwa prinsip konservatif yang sangat penting untuk dilestarikan adalah moral dan etika sebagai produk budaya lokal, dan prinsip progresif yang asensial adalah kemampuan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan yang dilandasi semangat interpreneurship. Hanya dengan penguatan kedua prinsip ini akan lahir generasi masa depan yang berakhlak mulia dan kaya pengetahuan. Tentunya, hal ini sejalan dengan ekspekstasi al-Qur’an, yakni manusia beriman dan berilmu yang melahirkan amal salih.

Keliru

Dalam kaitannya dengan sikap konservatif dan progresif, kelihatannya masyarakat kita banyak yang keliru memahami dan mengamalkannya. Ada kecenderungan untuk begitu terbuka dengan globalisasi. Sayangnya, keterbukaan tersebut bukan dalam persaingan perkembangan pengetahuan, melainkan lebih kepada penyerapan produk-produk budaya luar yang ditransformasikan dari beragam media elektronik. Keterlibatan masyarakat dalam era globalisasi hanya mampu berperan sebagai kelompok konsumen, bukan produsen. Sayangnya lagi, bahwa yang dikonsumsi oleh masyarakat kita bukan produk teknologi belaka, melainkan produk budayanya juga.

Dampaknya, secara tidak sadar bermunculan trend-trend baru yang pada gilirannya dijadikan sebagai nilai baru untuk menjajah nilai budaya lokal. Hal ini terutama banyak menimpa kalangan remaja yang mengidentikkan globalisasi itu gaya rambut yang keren, pakaian mirip artis, dan gaya bicara yang dibuat-buat. Makanya melihat kekeliruan generasi muda dalam merespon globalisasi ini, kalangan konservatif mengopinikan globalisasi sebagai arus yang berbahaya dan mengancam budaya lokal.

Kekeliruan dalam menghadapi globalisasi di atas, tidak lain disebabkan karena kesalahan masyarakat kita dalam menempatkan mana yang harus dipertahankan dan mana yang harus ditiru, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang positif mana yang negatif. Untuk itulah, kedua hal ini harus dipertegas dalam memaknai globalisasi sehingga tidak salah dalam menyikapinya dan bukan dianggap sebagai perkembangan dunia yang menebar ancaman.

Terkait dengan upaya membentuk manusia yang menghargai budaya, sekaligus dapat merespon perkembangan pengetahuan dengan cepat, maka lembaga pendidikan harus mampu membangun sistem pendidikan yang berbasis moral dan berbasis skill-interpreneurship. Lembaga pendidikan harus menjadi pusat pelestarian nilai kearifan lokal, sekaligus sebagai pusat untuk merespon perubahan dan perkembangan zaman. Jadi, lembaga pendidikan harus mampu melahirkan peserta didik yang mampu bersaingan dalam arus globalisasi dengan tetap memelihara khazanah kearifan lokal. Wallahu a’lam.(johansyahmude@yahoo.co.id)

*Mahasiswa Program Doktor PPs IAIN Ar-Raniry Banda Aceh

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.