Revitalisasi Bahasa Gayo Diusulkan ke Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

oleh
(Doc. LGco)

Jakarta-LintasGayo.co : Adanya kekhawatiran akan kelangsungkan jangka panjang bahasa Gayo membuat pelbagai pihak mengambil langkah-langkah antisipatif. Soalnya, penutur bahasa Gayo mulai beralih ke bahasa lain. Selain itu, bahasa Gayo kurang dipelajari dan diajarkan baik di rumah, lingkungan ketetanggan, lembaga keadatan maupun di sekolah-sekolah di Gayo. “Sudah diusulkan untuk direvitalisasi melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan pendekatan top down, revitalisasi terhadap bahasa Gayo diharapkan dapat berjalan dengan baik,” kata peneliti sekaligus peneliti Yusradi Usman al-Gayoni di Jakarta, Rabu (27/7/2016).

Dilanjutkan penulis yang sudah menulis tujuh judul buku dan telah mengeditori 35-40 judul buku itu, pengusulan program revitalisasi bahasa-bahasa lokal ini merupakan tidak lanjut dari Seminar Bahasa Ibu yang diadakan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 29-30 Maret 2016 yang lalu dimana penulis buku Ekolinguistik tersebut sebagai keynote speaker dalam seminar tersebut.

Ada beberapa pertimbangan, jelas founder/CEO penerbit Mahara Publishing itu, yang disampaikan ke Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkait urgensi revitalisasi bahasa Gayo, di antaranya:

  1. Bahasa Gayo merupakan sisa-sisa bahasa yang telah berlangsung pada awal-awal migrasi penutur Austronesia ke arah barat menuju Sumatera. Temuan ini diperkuat dengan analisis radiocarbon sisa peninggalan prasejarah di Loyang Mendale dan Loyang Ujung Karang, tanoh Gayo, Kabupaten Aceh Tengah, yang berkisar 4.400 tahun yang lalu;2. Masa yang lebih tua lagi, bahasa Gayo berasal dari kelompok ras Austromelanosoid yang telah mendiami Loyang Mendale, tanoh Gayo, Takengon, Aceh Tengah, sejak 7400 tahun yang lalu;

    3. Kebertahanan bahasa Gayo yang berlangsung dari jaman prasejarah sampai sekarang (Austromelanosoid 7400 tahun yang lalu, dan Austronesia berkisar 4.400 tahun yang lalu). Ketiga hal tersebut merupakan hasil penelitian Balai Arkeologi Medan sejak 2009 sampai sekarang. Temuan-temuan tersebut juga merekonstruksi sejarah sebaran neolitik dan mesolitik di Indonesia. Termasuk, sebaran bahasa Austronesia di pulau Sumatera. Sudah barang tentu, revitaliasi bahasa Gayo dari sisi linguistik akan makin melengkapi temuan Balai Arkeologi Medan tersebut dan ikut berkontribusi besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia, termasuk di kawasan regional. Khususnya, dari sisi linguistik, arkeologi, sejarah, sosiologi, antrofologi, dan geologi;

    4. Kurangnya penelitian, pendokumentasian, dan pengenalan terhadap bahasa dan sastra Gayo. Lebih-lebih, di Aceh. Dari 13 bahasa daerah yang ada di Provinsi Aceh, yang dikenalkan sampai sekarang hanya bahasa Aceh yang mayoritas dituturkan suku Aceh. Bahasa/orang Gayo dan nonaceh lainnya, kurang diteliti, didokumentasikan, dan dipublikasikan. Padahal, suku pertama dan asli yang mendiami Aceh adalah suku Gayo. Hal itu tidak terlepas dari kebijakan Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang lebih mengedepankan bahasa/suku Aceh. Terlebih lagi, mayoritas yang duduk di Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) berasal dari suku Aceh. Belum lagi, peraturan (qanun) yang disusun DPRA, menunjukkan imperealisme bahasa dan menggenosida suku Gayo dan suku nonaceh lainnya di Aceh. Misalnya, dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) disebutkan bahwa syarat menjadi Wali Nanggroe harus fasih berbahasa Aceh, dan banyak isi peraturan yang merendahkan sekaligus meniadakan suku-suku nonaceh;.

    5. Mulai adanya kecenderungan “ditinggalkannya” bahasa Gayo oleh penutur bahasa Gayo sendiri, terutama penutur bahasa Gayo yang mendiami Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah. Keadaan tersebut diperburuk dengan lemahnya pendokumentasian Gayo yang sampai saat ini buku-buku tentang Gayo diperkirakan hanya 300 judul. Ditambah lagi, dengan rendahnya kesadaran masyararakat Gayo dalam pelestarian bahasa Gayo, terutama dari penentu kebijakan di Gayo;

    6. Sampai sekarang, dari “Pemerintah Gayo” sendiri, khususnya di Kabupaten Aceh Tengah sebagai induk dari daerah lainnya (Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Gayo Lues, Lokop/Serbejadi di Aceh Timur, dan Kalul di Aceh Tamiang) belum ada kebijakan dan perencaan bahasa dari pemerintah kabupaten setempat. Termasuk, belum adanya peraturan daerah (qanun) yang dirumuskan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tengah tentang Perlindungan dan Pelestarian Bahasa Gayo;

    7. Orisinal dan kayanya sastra Gayo yang berbeda dengan sastra Aceh dan suku nongayo/aceh lainnya di Aceh;

    8. Dari sepuluh sastra Gayo—didong, kekeberen, kekitiken, melengkan, pantun, peribahasa, saer, sebuku, tep onem, dan ure-ure (sesuai abjad), kurang dari separuhnya yang mampu bertahan. Itu pun dengan regenerasi yang mengkhawatirkan.

Secara terpisah, Ovi, dari Pusat Pengembangan dan Pelindungan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, membenarkan pengusulan revitalisasi tersebut. “InsyaAllah, coba diprogramkan tahun depannya,” tegasnya.

(WM)

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.