Pilkada Gayo Lues dan Cara Menghadapinya

oleh
Bayu Binardi Juanda (Ist)

Oleh: Bayu Binardi Juanda*

Bayu Binardi Juanda (Ist)
Bayu Binardi Juanda (Ist)

DALAM ekspedisi Van Daellen untuk menakhklukan Tanoh Gayo pada tahun 1904, Van Daellen pernah berkata, “Sepanjang sejarah penakhlukan bangsa-bangsa lain, belum pernah kami melihat mendapati orang yang begitu berani dan begitu fanatik kecuali; orang Gayo”.

Rasanya pernyataan tersebut tidak salah atau tidak berlebihan. Sebab, dalam sejarah pernah tercatat bahwa pasukan belanda telah dua kali melakukan ekspansi serangan secara besar-besaran ke wilayah Gayo.

Pertama, pada tahun 1902, Pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Couliju menyerang Tanoh Gayo melalui kawasan Isaq, tapi hanya sampai wilayah dekat Burni Intem-Intem. Serangan yang pertama ini mengalami kegagalan karena perlawanan yang sengit dari rakyat Gayo dan sulitnya medan yang dilalui.

Kedua, pada tahun 1904, di bawah pimpinan Letnan Kolonel Van Daellen, Pasukan Belanda kembali mencoba memasuki Tanoh Gayo membawa pasukan 10 Brigade Marsose dengan 12 Perwira terbaik, lengkap dengan para ahli dan juru foto.

Sebelum penyerangan ke Tanoh Gayo, penguasa tertinggi Kolonial Belanda di Aceh, Letnan Jenderal JB Van Heutzs membentuk pasukan Marsose (Het Korps Marechause) dibentuk khusus untuk penaklukan daerah Gayo.

Ekspansi Belanda di Tanoh Gayo dimulai dari sebuah kampung kecil yang bernama Kela (9 maret 1904), di daerah ini pasukan Belanda disambut dengan perlawanan yang sengit dari rakyat Gayo yang akhirnya dapat dikuasai oleh Belanda.

Perjalanan berlanjut ke daerah selanjutnya di Benteng Pasir (16 maret 1904), dan di Benteng Gemuyang (18-20 maret 1904), di sini Rakyat Gayo telah membentengi dirinya untuk melakukan perlawanan dan terjadilah pertempuran yang lebih sengit yang memakan waktu berhari-hari. Dalam insiden ini, banyak dari pasukan Belanda tewas namun belanda tetap dapat menguasainya juga.

Lebih jauh, perjalanan berlanjut ke benteng berikutnya yakni di Desa Durin (22 Maret 1904), Benteng Tampeng (18 mei 1904) jatuh pada belanda, Desa Badak (4 april 1904), Rikit Gaib (21 april 1904), dan Desa Penosan jatuh ikut jatuh (11 mei 1904).

Mengingat begitu lelahnya pasukan belanda dan begitu banyaknya korban nyawa dan materiil dari belanda dan perlawanan yang sengit dan berani dari Rakyat Gayo, membuat Van Daellen bertindak tegas, berang dan marah besar sehingga kesetanan dan memerintahkan membumihanguskan dan membantai menghabisi rakyat Gayo (Genosida), baik wanita dan anak-anak. Namun tetap saja rakyat Gayo tetap berani dan terus melawan pasukan Belanda.

Dalam ekspansinya ke tanah Gayo menurut catatan Kempees dan Hc Zentgraaf (Penulis Belanda), diperkirakan 3.500 rakyat Gayo dan Alas gugur dalam pertempuran tersebut dan akhirnya belanda pun menguasai tanah Gayo.

Pasca kejadian inilah, Van Daellen mengatakan,”Sepanjang sejarah penakhlukan bangsa-bangsa lain, belum pernah kami melihat mendapati orang yang begitu berani dan fanatik, kecuali; orang Gayo.

Menyimak sejarah ini, jika dikaitkan dengan kondisi suhu politik di kalangan masyarakat Gayo saat ini yang tidak lama lagi akan memasuki masa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), rasanya betul apa yang dikatakan Van Daellen.

Jika melihat keadaan sekarang terkait Pilkada 2017,  banyak terdengar dari sejumlah masyarakat yang tampak begitu berani bersikap kritis untuk berbicara mengenai isu Pilkada.

Arti berani dalam hal ini adalah, sejumlah masyarakat berani mengeluarkan pendapat, berargumen dan berani mengkritisi saat duduk di warung-warung kopi juga di media sosial. Bukan hanya kalangan politisi saja, namun kalangan pegawai pegeri maupun swasta, kalangan orang tua, pemuda bahkan mahasiswa dan remaja.

Masyarakat Gayo tidak pernah segan untuk mengkritisi pemimpinya atau kepala daerahnya jika apapun yang dianggapnya tidak sesuai dengan kenyataan yang dia lihat.

Jhon Bowen dalam bukunya (Sumatran Politics and Poetics Gayo History Tahun 1900-1989), John Bowen menjelaskan dengan sangat tepat (menurut saya) tepatnya dalam sebuah kalimat “Gayo people; true republikan; born egaliterian” adalah pandangan tentang bersifat sama dan sederajad itulah orang Gayo tidak pernah takut untuk mengkritisi apapun yang dianggap salah dan tidak benar.

Banyak contoh yang dapat dilihat di semua kehidupan bermasyarakat Gayo baik dalam agama, cara berpolitik, dalam hukum dan adat atau dalam hal apapun orang Gayo tidak pernah takut dan selalu berani menentang ketidakbenaran.

Sejarah di atas menyimpulkan, bahwa masyarakat Gayo merupakan sosok yang tangguh dan berani melawan penjajah Belanda. Sudah jelas, semangat berjuang dari tokoh terdahulu adalah menjadi bekal dan pembelajaran yang harus (Wajib) diserap oleh siapapun masyarakat Gayo sekarang.

Bila mengulas tentang sejarah heroiknya Gayo melawan penjajah seperti cerita di atas, timbul sebuah pertanyaan.

Apakah masyarakat Gayo juga akan berani menjadi jujur dan melawan dengan tegas cara kotor dalam berdemokrasi di Pilkada 2017? Juga, beranikah pemimpin yang terpilih agar lebih mementingkan masyarakat banyak dari pada kepentingan pribadi dan kepentingan partai atau kepentingan para pendukungnya nya?

Rasanya sudah saatnya untuk kita (Masyarakat Gayo) untuk berani memikul tanggung jawab masa depan Gayo yang lebih cerah, Membangun Gayo bersama-sama tanpa mengedepankan ego masing-masing untuk Gayo yang lebih adil merata, makmur dan bermartabat.

Saatnya kita (Masyarakat Gayo) berani berpikir positif (Tidak mudah terprovokasi), bersikap dingin dan tenang dan bersama untuk melanjutkan perjuangan para pahlawan yang telah gugur melawan ekspansi Belanda di Tanoh Gayo.

Semoga pemimpin yang terpilih nantinya akan menjadi pemimpin yang amanah dan berani memperjuangkan kemaslahatan rakyat Gayo, InysaAllah.

Penulis adalah Pemuda Kota Blangkejeren, Gayo Lues.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.