Pemuda Gayo Aktor atau Pengekor?

oleh

Buniyamin2Drs. Buniyamin S*

Tidak tau kenapa saya tidak suka dengan komentator sepak bola dan tinju. Setiap ada even sepak bola maupun tinju di televisi chanel selalu saya alihkan ketika komentator tersebut memberikan ulasan. Terakhir kebiasaan itu terjadi ketika pengamat politik khususnya memberikan analisanya membedah sejumlah percaturan politik di negeri ini. Pikiran saya yang timbul hanya satu, kalau sudah demikian kenapa tidak demikian?, walaupun semua itu perlu tapi penilaian saya bukan urgen dan bukan pokok masalah. Bagi saya yang urgen adalah action dan pembuktian.

Samakah pola pikir pemuda Gayo dengan komentator itu, walaupun medannya bukan sebagai komentator. Tidak ada satu manusiapun senang jika dipersamakan dengan hal-hal yang seolah menyudutkan diri dan prinsipnya. Kecenderungan atas sebuah sanjungan dan sejenisnya sudah menjadi penyakit kronis tanpa disadari. Sampai-sampai kritikan sudah dianggap perlawanan.

Pemuda adalah harapan dari sejumlah harapan, tidak berlebihan pemuda merupakan asset masa depan. Potret pemuda hari ini adalah copy paste untuk masa depan. Gayo hari ini bayangan semua Gayo yang akan datang. Aneh harapan pemuda hari ini menyalahkan fotogarafi generasi silam tanpa adanya pengakuan dewasa atas keadaan dan kemampuan saat itu, ditambah usaha dan dan tidak adanya retas yang akan menoreh kemampuan yang dimiliki untuk sejarah masa mendatang.

Wacana menyatukan pemuda untuk Wilayah Tengah Tenggara yang terdiri dari Wilayah Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues dan Aceh Tenggara sudah melahirkan embrio positif, namun ketika dimunculkan kata “pemuda”, lagi-lagi yang diperdebatkan adalah berapa minimal umur yang dikatakan pemuda. Masih terjadi pengkerdilan pola pikir dan minderisasi jika dikatakan pemuda sementara pelakunya sudah sedikit termakan usia. Pernahkah kita berpikir kata pemuda adalah simbol dari kekuatan tanpa kenal usia dan menyerah.

Keberadaan orang Gayo telah tersebar disemua wialayah semenjak lama, khususnya di Aceh. Secara history diakui hanya dua wilayah tertua yaitu Aceh Tengah dan Gayo lues, turunannya adalah orang Gayo yang ada di Serbejadi-Lokop Aceh Timur. Dari Aceh Tengah lahir yang namanya Bener Meriah. Di Aceh Tenggara terdapat yang namanya Gayo Musara, belum lagi orang Gayo yang ada di Lho’ Gayo Abdya.

Pertanyaan yang terus mengemuka adalah mampukah elemen negeri ini bersatu dan menyatukan tekad di bawah satu rumpun kegayoan, siapa dan lembaga mana dapat menyatukannya?. Tentu yang menjawabnya justru kita yang memiliki wawasan tanpa adanya harapan dan tujuan tertentu, seperti jabatan dan finansial. Itu tidak cukup. Harus ada icon pemersatu sendiri, seperti kebesaran legenda Linge, terlepas legenda tersebut masih ada perbedaan pendapat antara Kawasan Tengah dan Tenggara.

Yang terpenting bagaimana dan seberapa jauh kemampuan para generasi ini mengukir sejarah ditengah adanya sejarah kelabu diatas fakta dan data minim. Kita akan mampu mengukir sejarah dan menjadi aktor manakala budaya “Tulok-Tilok was ni upuh kerung” (istilah menunjuk dalam kain sarung) dapat ditinggalkan. “Si atas mujamut situyuh” (yang sudah berhasil mengayomi yang lemah) dan masih banyak lagi istilah negatif yang selalu meruntuhkan cita-cita kebersamaan.

Sadar atau tidak, benar atau salah apa yang kita rasakan sekarang ini justru kita berperan sebagai “Pengekor” bukan sebagai aktor. Tidak dipungkiri di negeri ini sudah banyak insan-insan idealis yang sedang menuju menjadi aktor. Semoga…!

*Pengamat kepemudaan, tinggal di Gayo Lues.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.