[OPINI] Damai Bukan Candu

oleh

Oleh Muhajir Abdul Azis

damai_muksalmina
Juara 1 lomba foto perdamaian Humas pemerintah Aceh

SEMBILAN tahun lalu, tonggak sejarah Aceh tercipta di Helsinki, Finlandia. Kota yang jaraknya ribuan mil dari ujung Sumatera itu menjadi saksi perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Indonesia. Hari itu, Rabu, 15 Agutus 2005, dunia melihat Aceh dengan harapan baru. Melalui Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, damai tercipta di tanah yang orang-orangnya pada saat itu ragu damai akan tercipta.

Setelah hari itu, hari-hari berjalan dengan penuh harapan. Mulai dari elit politik di Jakarta dan Aceh, hingga petani kecil di pelosok kampung, semuanya berbicara tentang masa depan Aceh. Kampung-kampung kembali penuh dan cerita karena orang-orang yang sebelumnya pergi telah kembali. Dari luar negeri, orang-orang yang dulu pergi untuk menyelamatkan diri juga pulang.

Apa yang kita harapkan dari damai? Bagi orang-orang di kampung, harapannya sederhana: senjata tidak lagi menyalak dan mereka bisa mencari nafkah. Tapi sebenarnya harapan setelah damai lebih dari itu.

Dalam politik, damai bisa menumbuhkan demokrasi yang sehat di Aceh. Para kombatan GAM yang dulunya berjuang dengan mengangkat bedil sekarang sudah bisa berjuang lewat jalur partai politik. Namun, dalam konteks hubungan Aceh-Jakarta, damai masih menyisakan banyak pekerjaan rumah, walau sudah berjalan sembilan tahun.

Terganjalnya beberapa kewenangan Aceh di tangah pemerintah pusat bisa menjadi batu sandungan damai. Padahal ini hal kecil jika dilaksanakan, dan juga sebaliknya akan menjadi hal besar jika tidak dilaksanakan. Tak ada alasan menyalahkan Pemerintah Aceh dengan tidak dibuatnya aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Kewenangan yang diatur dalam UUPA tersebut adalah konsesi politik yang harus diberikan pemerintah Indonesia kepada Aceh.

Damai juga menjadi momentum untuk membangun demokrasi di Aceh. Pesta demokrasi (Pemilu) yang dilaksanakan setelah proses perdamaian di Aceh sejatinya harus lebih baik daripada pemilu yang digelar ketika masa konflik. Nilai-nilai demokrasi juga harus tumbuh dalam kehidupan masyarakat di Aceh. Yang lebih penting, damai menjawab keadilan korban perang.

Salah satu agenda besar dalam MoU Helsinki adalah pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). KKR harus dibentuk untuk menjawab keadilan rakyat Aceh korban perang. Ibarat sebuah luka yang menyimpan kuman pada tubuh manusia, harus dibersihkan dan kemudian diobati. Begitu juga dengan kekerasan pada masa perang di Aceh, harus diungkap dan kemudian diobati.

Setelah perjalanan panjang, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sudah mensahkan Qanun Nomor 17 Tahun 2013 pada akhir 2013 lalu sebagai payung hukum pembentukan lembaga KKR. Namun, Kementerian Dalam Negeri kembali membatalkan qanun tersebut dengan salah satu alasannya tidak mempunyai payung hukum nasional (Undang-Undang KKR nasional).

Damai harus jadi momentum untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh, memberikan kepastian kepada anak-anak Aceh untuk mendapatkan pendidikan gratis dan layak. Dalam suasana damai dan dana pemerintah yang melimpah saat ini, tidak bisa diterima akal sehat jika masih ada anak muda Aceh tidak bisa sekolah karena tidak ada uang.

Yang harus dipikirkan pemerintah Aceh dan pemerintah Indonesia saat ini adalah bagaimana menjadikan damai berarti bagi rakyat Aceh. Seremonial peringatan perdamaian tidak penting jika masih ada rakyat Aceh korban perang yang belum mendapatkan hak mereka. Tidak ada yang masih menjamin damai akan lestari jika hak rakyat tidak diberika. Damai bukanlah candu, yang menjadi alat penenang ketika rakyat menuntut hak mereka.[Muhajir Abdul Azis]

Redaksi: tulisan ini merupakan juara 1 lomba penulisan “9 tahun damai Aceh” yang digelar humas pemerintah Aceh

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.