Media asing soroti hilangnya ratusan ribu hektar hutan di Indonesia

oleh
hutan_aceh
Hutan gundul (sinar harapan)

Jakarta-LintasGayo.co: Data terbaru yang dirilis oleh peneliti asal RI, Belinda Arunarwati Margono, di jurnal Perubahan Iklim Alam mengenai situasi hutan di Indonesia mencengangkan. Betapa tidak, dalam data yang dirilis oleh perempuan yang bekerja di Kementerian Kehutanan itu menyebut RI telah kehilangan 6,02 juta hektar hutan.

Jumlah itu dilansir antara tahun 2000 dan 2012 silam. Maka tak heran, bila dua media asing, The Guardian dan Sydney Morning Heraldmenurunkan pemberitaan dari sumber serupa.

Harian The Guardian, Minggu 29 Juni 2014 melansir jumlah kehilangan hutan yang diderita RI bahkan kian bertambah yakni sekitar 47.600 hektar setiap tahunnya. Padahal di tahun 2012 lalu, Belinda memprediksi, RI telah kehilangan 840 ribu hektar hutan primernya.

Dengan jumlah hutan yang begitu besar dibabat habis, maka RI sukses mengambil alih predikat yang sebelumnya disematkan kepada Brasil, sebagai negara yang paling cepat menggunduli hutan. Negeri Samba itu, berdasarkan data Belinda, kehilangan 460 ribu hektar hutan hujan tropisnya.

SMH bahkan menjuluki RI dalam laporannya sebagai negara dengan tingkat pembalakkan liar terparah.

Padahal menurut The Guardian, area hutan di Indonesia mencapai seperempat hutan hujan tropis di Amazon, Brasil.

Dunia, ujar Belinda, jelas khawatir dengan fakta ini, karena Indonesia merupakan penghasil gas emisi rumah kaca terbesar ketiga setelah China dan Amerika Serikat. Sebanyak 85 persen emisi tersebut bersumber dari penghancuran dan berkurangnya lahan hutan.

Sementara hutan primer justru menjadi penyimpan karbon dalam jumlah paling besar di dunia.

Angka kehilangan hutan yang sedemikian besar, tulis The Guardian, justru tidak sejalan dengan komitmen RI yang tertuang dalam moratorium tahun 2009 silam. Sebab, Pemerintah RI justru terus memberikan izin untuk pembalakkan hutan primer dan lahan gambut. Kedua hal tersebut menjadi pemicu deforestasi hutan.

Padahal dalam moratorium itu, Pemerintah RI berniat akan mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 26 persen di tahun 2020 atau 41 persen dengan bantuan global. Pemerintah Norwegia kemudian mengucurkan dana senilai US$1 miliar atau Rp12 triliun. Namun, RI mengklaim membutuhkan dana US$5 miliar atau Rp60 triliun untuk mengatasi kerusakan hutan saat ini.

Dari hasil studi Belinda, sebanyak 40 persen pembalakkan hutan dilakukan secara ilegal di hutan produksi, konservasi dan lindung.

“Tingkat kehancuran hutan di Sumatera masih lebih cepat. Di belakangnya ada Kalimantan dan Papua,” ungkap Belinda.

Namun, imbuh Belinda, jika Pemerintah RI tidak segera berbuat sesuatu, dikhawatirkan satu hari ini, situasi serupa juga akan ditemui di hutan di Kalimantan dan Papua.

Studi itu juga seolah menyimpulkan bahwa kebijakan terkait perubahan iklim yang digagas Presiden SBY telah gagal. Kian meningkatnya populasi di Indonesia dan permintaan yang tinggi untuk kayu, karet untuk kertas dan minyak kelapa sawit, justru memicu pembalakkan hutan.

Hal itu diperburuk dengan korupsi di tingkat pemerintah pusat dan lokal serta tidak adanya penegakkan hukum.
“Hilangnya lahan gambut dalam jumlah besar, kemungkinan tidak disebabkan oleh pemangku skala kecil, tetapi pengembang lahan agro-industri skala besar,” tulis kesimpulan dalam studi tersebut.

Belinda mengaku telah memperoleh data mentah untuk proyeksi jumlah hutan yang ditebang di 2014, namun belum dirilis. Oleh sebab itu, dia enggan berspekulasi apakah trend penggundulan hutan kian meningkat atau tidak di tahun ini. [] greenjournalist

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.