Kisah Putri Burung Mergah dan Gelingang Raya (Bag.12) : Perempuan yang Rendah Hati

oleh

Diceritakan kembali oleh : Aman Renggali

Meski Hayya sudah tua dan tidak dapat melihat apa-apa lagi, tetapi ingatannya masih sangat kuat. Dimana panci digantung, kapan beli beras terakhir, kemana arah kiblat dan lain sebagainya. Bahkan beberapa hari yang lalu Hayya masih sempat menceritakan masa lalunya kepada Gelingang Raya.

Bagaimana ia bertemu dengan ayahnya di sebuah pasar di Tampon Ibu Kota Kerajaan Meluem. Saling senyum dan sapa seadanya kemudian saling berkirim surat melalui bilah pelepah bambu yang dihanyutkan.

Tak luput kisah cintanya dengan Basyar yang melanggar adat kampung berupa Parak, hingga menikah dan menetap di Bukit Gentala. Semua itu ibunya masih sangat ingat dengan jelas, bukan saja hari dan tempat bahkan waktunya pun ia ingat dengan persis.

“Apakah ibu lupa pamitanku tadi pagi?”, pikir Gelingang Raya. Beberapa saat kemudian dari celah dinding papan rumahnya yang tersusun jarang-jarang itu ia melihat kembali berkas bayangan itu. Kali ini posisinya berada sangat dekat dengan peraduan ibunya.

Kecamuk di kepala Gelingang Raya semakin tak karuan, ia seperti tengah berkelahi dengan rasa penasarannya sendiri. Ia merasa hidupnya belakangan ini semakin membingungkan. Banyak peristiwa yang terjadi di luar nalarnya. Terutama apa yang terjadi di dalam rumah panggungnya saat ia pergi ke pasar atau ke kebun.

Dalam pada itu Gelingang Raya kembali mendengar suara ibunya memanggil dari dalam rumah.

“Win, Win kemari sebentar nak !”, suara ibunya memanggil.

Suara dan panggillan ibunya itu sempat terdengar berulang beberapa kali. Bahkan nadanya terdengar semakin meninggi. Gelingang Raya semakin kebingungan dengan pengintaiannya tentang siapa yang selama ini memasak dan bersih-bersih di dalam rumahnya. Apakah akan melanjutkan misinya untuk mengetahui semua itu atau menghentikannya, karena suara ibunya memanggil terdengar berulang-ulang?

Hatinya merasa tidak tega. Tidak mungkin membiarkan ibu tercintanya memanggil-manggil namanya berulang-ulang tanpa disahuti. Gelingang Raya harus memutuskan dalam waktu yang sangat singkat, melanjutkan misi pengintaiannya atau menyahuti panggilannya ibunya yang buta.

Dengan rasa bakti yang tak mungkin terwakilkan akhirnya ia memutuskan untuk menyudahi misinya, lalu dengan berat hati ia keluar dari tempat persembunyiannya dan gagallah usahanya kali ini untuk yang keempat kalinya.

Setibanya di rumah ibunya kembali memanggil dan bertanya.
“Win air minum yang kau berikan barusan terlalu dingin, bolehkah ibu minta yang agak hangat. Tenggorokan ibu rasanya haus sekali nak”, kata Hayya ketika mendengar ada suara langkah kaki mendekat.
“Emmm, ya ya sebentar ya bu !, jawab Gelingang Raya setengah terperanjat.

Sejenak ia berpikir keras, seingatnya ibunya sudah ia beri makan dan minum dengan lahapnya tadi pagi. Lalu siapa yang barusan mengambil minuman dari dapur dan menghantarkannya ke dekat peraduannya?.
Hati Gelingang Raya kembali berdegub.

Kejanggalan-kejanggalan yang ia alami semakin nyata. Ketika ia tepaku memikirkan apa yang sedang terjadi dalam rumahnya Hayya ibunya kembali berucap.

“Tadi pagi kamu pamit hendak ke kebun Win, apa tidak jadi”, tanya ibunya lagi yang membuat Gelingang Raya semakin kebingungan.

Lalu dengan terbata-bata sambil menyembunyikan rasa penasarannya ia menjawab.

“E e anu bu, ti ti ti tidak jadi. Tidak jadi bu. Hari ini matahari terlalu terik !”, jawab Gelingang Raya beralasan seperti orang gagap.
“O ya, pantas ibu pun agak gerah”, jawab ibunya lagi yang membuat Gelingang Raya semakin berpikir keras dan penasaran.

Makhluk apa dan siapa yang barusan tadi memberi ibunya minum. Adakah orang lain yang datang ke dalam rumah saat aku pergi tadi, bisik Gelingang Raya dalam hati.

Di luar sepengetahuan Hayya, ketika Gelingang Raya pamitan untuk pergi ternyata ada sosok perempuan di dalam rumah yang sudah siap untuk melayani dan merawat Hayya. Namun Hayya sendiri tidak menyadari kalua yang memberinya makan dan minum sesaat sebelum kedatangan anaknya bukanlah Gelingang Raya sebagaimana yang ia pikirkan. Tetapi ada sosok perempuan yang secara diam-diam menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan Hayya.

Sosok perempuan itu adalah perempuan sungguhan, yang dengan ikhlas dan rendah hati selalu menggantikan peran Gelingang Raya dalam merawat dan melayani Hayya. namun ia sendiri tidak mau menunjukkan wujudnya secara langsung kepada Gelingang Raya, karena yang ia lakukan adalah sebatas balas budi perempuan itu terhadap kebaikan Gelingang Raya.

Tetapi hal ini sama sekali tidak diketahui oleh Gelingang Raya sendiri, terlebih oleh ibunya Hayya yang memang sudah renta dan lagi buta.
Kerahasiaan-kerahasiaan inilah yang membuat Gelingang Raya semakin penasaran sehingga ia membuat trik dengan cara mengitai dari balik rerimbunan tumbuhan bunga di halaman rumahnya.

Tetapi sayang, trik dan pengintaian yang dilakukan oleh Gelingang Raya sudah diketahui lebih dulu oleh sosok perempuan itu. Sehingga perempuan itu menjadi sangat mudah untuk muncul dan menghilang kembali ketika ia mengetahui bahwa ia sedang dalam pengintaian Gelingang Raya.

Dalam hati sosok perempuan itu juga merasa tidak tega melihat Gelingang Raya demikian kebingungan dan penasaran atas segala yang terjadsi di dalam rumah. Tetapi ia sendiri tidak punya pilihan lain untuk membalas budi Gelingang Raya, selain dari menjaga dan merawat Hayya yang renta dan buta selagi Gelingang Raya sendiri tidak berada di rumah.
Sebuah janji dan niat sempat terbesik dalam lubuk hati sosok perempuan itu. Satu saat nanti ia akan menunjukkan wujudnya dihadapan Gelingang Raya.

“Tapi kali ini aku belum sanggup”, cetetuknya dalam hati” [SY] Bersambung…

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.