Hutan Aceh dan Ancaman Illegal Loggers

oleh

(Refleksi 13 Tahun Damai Aceh)

Deru mesin chainsaw meraung-raung di tengah hutan belantara Bener Meriah, tepatnya di daerah Simpur, Kecamatan Mesidah. Para illegal loggers (pembalak liar) tidak peduli dengan hari damai Aceh. Mereka hanya berharap bisa hidup dari usaha menebang, mengangkut dan menjual kayu.

Kalau dihitung-hitung penghasilan mereka tidak seberapa dibandingkan dengan resiko menebang kayu yang sewaktu-waktu bisa celaka atau tertangkap oleh aparat penegak hukum, tetapi karena tuntutan hidup segala resiko mereka akan hadapi. Prinsifnya daripada mati hari ini lebih baik mati besok.

Mereka tahu bahwa Nabi SAW pernah bersabda; pekerjaaan yang kurang baik adalah menebang kayu, menangkap ikan dan burung, tetapi apa yang mereka bisa perbuat kecuali menjadi ilegal loggers demi senyum istri dan tawa anak-anaknya.

Mereka tidak punya keahlian lain kecuali menjadi illegal loggers. Sekolah rendah dan tidak punya modal karenanya tidak mungkin menjadi pegawai atau pedagang. Mereka tidak pernah bercita-cita menjadi pekerja kasar. Tuntutan hidup dan takdir memaksa mereka memilih pekerjaan yang penuh tantangan dan melanggar hukum. Namun demikian kita harus punya nurani dan berfikir dua kali untuk menangkap mereka.

Lagi pula rasanya tidak adil juga kalau para illegal loggers saja yang ditangkap dan dihukum. Seharusnya seluruh anasir kegiatan illegal logging dihukum; dari toke sampai penadah, bahkan Pemda setempat juga pantas dijadikan pesakitan karena tidak membuat tapal batas hutan yang jelas dan sosialisasi pentingnya melestarikan hutan.

Permasalahan illegal logging bisa diatasi dengan penataan kelembagaan, sosialisasi, pemberdayaan ekonomi dan penegakan hukum. Seharusnya pada awal perdamaian untuk mengurangi tekanan terhadap hutan masalah tersebut sudah harus siap. Berbeda pada masa konflik, para anggota GAM otomatis menjadi sukarelawan sejati dalam menjaga kelestarian hutan, sebaliknya hutan juga telah menjadi benteng bagi para gerilyawan GAM.

Puluhan tahun hutan telah berjasa menyelamatkan para pejuang GAM, tapi karena alasan kebutuhan hidup justru pada saat damai banyak mantan pejuang GAM menebang hutan yang seharusnya mereka sebagai pagar. Sungguh sayang, kenyataannya, pagarlah yang makan tanaman.

(Fauzan Azima, Nisam, 15 Agustus 2018)

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.