Danau Lut Tawar dan Permasalahannya

oleh

Oleh : Muchlisin Z.A*), Siti Azizah M.N**), Edi Rudi*) dan Nur Fadli*)

*)Fakultas MIPA Universitas Syiah Kuala Banda Aceh 23111. **)Aquaculture Research Group, Pusat Pengajian Sains Kajihayayat, Universiti Sains Malaysia, Penang 11800. Malaysia. Email: muchlisinza@yahoo.com.

1. Gambaran Umum biodiversitas Danau Laut Tawar

Danau Laut Tawar memiliki arti penting bagi masyarakat Gayo, danau ini merupakan sumber air bersih bagi masyarakat setempat, pertanian, industri dan perikanan. Dalam kaitan perikanan, terdapat dua jenis aktifitas perikanan di danau ini yaitu, perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

Salah satu sumberdaya alam hayati yang penting di Danau Laut Tawar adalah ikan. Hasil survey kami pada tahun 2007 lalu mendapati sekurang-kurangnya ada 11 jenis ikan di Danau Laut Tawar yaitu depik (Rasbora tawarensis), kawan (Poropuntius tawarensis), peres (Osteochilus kahayensis), lele dumbo (Calrias gariepinus), ikan mas (Cyprinus carpio), mujair (Oreochromis mossambicus), nila ( O. niloticus) buntok ( Xiphophorus helleri dan X. maculates), bawal (Ctenopharyngodon idella), gabus (Channa striata) (Muchlisin dan Siti Azizah, 2009).

Hasil pengamatan dan wawancara kami dengan nelayan diperoleh informasi bahwa selain ikan-ikan yang telah disebutkan diatas, masih ada beberapa species lain yang terdapat di anak-anak sungai sekeliling danau dan mungkin juga di dalam danau diantaranya adalah mud (Clarias batrachus), pedih (Neolissochilus sp), gegaring (Tor sp), Monopterus albus (belut), dan betok (Anabas testudineas). bado (Channa gachua). Expedisi tim Unsyiah baru-baru ini juga telah mencatat empat jenis ikan lagi yang sebelumnya belum terdata yaitu sepat (Trichogaster trichopterus), Betta spp (ikan laga), Trichopsis spp (ikan cupang), Homaloptera spp (ilie), Sehingga total ikan air tawar yang hidup di kawasan ini menjadi lebih kurang 21 jenis.

Kami menduga jumlah ikan yang hidup di kawasan dataran tinggi Gayo mungkin lebih banyak lagi mengingat masih banyak kawasan yang belum dieksplorasi. Saat ini kami juga sedang melakukan ferifikasi terhadap ikan Eas (Rasbora sumatrana?) dan Relo (Rasbora argyrotaenia/ R.lateristriata?), untuk memastikan apakah kedua ikan ini merupakan jenis yang berbeda dengan depik, dengan mengunakan metode tradisional (morfometrik dan meristik) dan modern (DNA sequences), sehingga nantinya bisa menjawab keraguan yang selama ini belum terpecahkan.

Kartamihardja et al., (1995) melaporkan bahwa terdapat 19 jenis plankton yang terdiri dari 10 jenis fitoplankton dan 9 jenis zooplankton di Danau Laut Tawar, dimana Staurastrum dan Peridinium (fitoplankton) dan Asplanchna (zooplankton) merupakan jenis-jenis yang dominan. Bahkan dari laporan terakhir mengenai komunitas plankton di danau ini didapati sebanyak 46 jenis, dimana komunitas fitoplankton dari Kelas Clorophyceae lebih mendominasi (Anomimous, 2009). Sedangkan jenis benthos yang banyak ditemukan di Danau Laut Tawar adalah dari jenis siput diantaranya adalah Bithynia sp, Tarebia sp dan Pleuracera sp (Kartamihardja et al., 1995), Aelonemo sp (Annelida) (Anonimous, 2009). Bahkan tim peneliti kami dalam survey baru-baru ini (Oktober-November 2009) mencatat ada enam species moluska yaitu; Thiara sp., Melanoides tuberculata, Bellamya sumatraensis, Pomacea canaliculata, Corbicula javanica, Anodonta woodiana dan kami juga mencatat sebanyak 23 jenis burung yang hidup dan mencari makan di DLT, jenis yang dominant antara lain; Gallinula chloropus, Collocalia maxima, Egretta garzetta (Rudi, Fadli dan Muchlisin, 2009).

2. Analisa Permasalahan Utama

Dari aspek perikanan, masalah yang paling krusial di Danau Laut Tawar saat ini adalah turunnya produksi ikan. Fenomena turunnya produksi ikan di Danau Laut Tawar sebenarnya adalah akumulasi dari berbagai permasalah yang terjadi selama ini khususnya dalam kurun 20 tahun terakhir.

Menurut data statistik yang ada, pada Tahun 2009 sekurang-kurangnya 225 orang nelayan mengantungkan hidupnya dari hasil tangkapan ikan danau dan lebih kurang 150 orang lainnya menjadikan danau ini sebagai tempat pembudidayaan ikan dalam karamba (DKP, 2009). Pendapatan nelayan Danau Laut Tawar sangat bervariasi tergantung pada jumlah jaring yang dimiliki dan musim. Namun demikian pada umumnya nelayan di danau laut tawar tergolong sebagai nelayan tradisional dan berpendapatan rendah, yaitu rerata pendapatan kotor nelayan adalah Rp51.000/ hari (Muchlisin, unpublished data).

Namun sayangnya, produksi ikan dari Danau Laut Tawar terus menurun dari tahun ke tahun dan berdasarkan data statistik yang ada, penurunan produksi ikan dari Danau Laut Tawar mencapai 83.5% selama dua decade terakhir, yaitu 455 ton di tahun 1988 (DKP Aceh, 1989) menjadi hanya 74.5 ton di tahun 2008 (Bepeda Aceh Tengah) (Gambar 1).

Fenomena yang sama juga terjadi bagi ikan depik, dimana hasil penelitian kami baru-baru ini menunjukkan bahwa hasil tangkapan (catch per unit effort) ikan depik turun dari rerata 1.17 kg/m2 unit jaring di era 1970an hanya menjadi 0.02 kg/m2 unit jaring di Tahun 2009 atau turun drastis 98.3% selama kurun waktu tiga decade terakhir (Gambar 2).

3. Analisa Beberapa Faktor Penyebab

Dari berbagai faktor penyebab yang ada, menurut pendapat kami ada 4 (empat) faktor penting penyebab turunnya produksi ikan di Danau Lau Tawar, yaitu: (1) turunnya permukaan air danau (decreasing of water level), (2) kehadiran species asing (presence of introduce species), (3) aktifitas penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan (destructive fishing practices), dan (3) pencemaran (pollution).

a. Turunnya permukaan air DLT

Isu tentang fenomena turunnya permukaan air DLT telah lama didengungkan dan ditulis dibeberapa media massa lokal, namun tidak ada data dan kajian yang akurat seberapa dalam air danau turun setiap tahunnya. Secara kasat mata terlihat bahwa air DLT telah kurun lebih dari 1 meter bahkan dibeberapa lokasi hampir mencapai dua meter (Gambar 3).

Turunnya air DLT kemungkinan disebabkan oleh kerusakan hutan (deforestasi) di daerah tangkapan air danau dan pemanasan global. Kerusakan hutan akibat penebangan baik yang bersifat legal maupun ilegal memberikan pengaruh yang buruk terhadap lingkungan terutama perairan. Secara umum kerusakan hutan Aceh diprediksi telah mencapai 80% lebih. Data terakhir dari Grenomics, seluas 200.000 ha hutan Aceh rusak selama kurun tiga tahun terakhir (Serambi Indonesia, 26 Oktober 2009).

Kerusakan hutan akan mengakibatkan erosi sehingga bahan-bahan tersuspensi dalam air meningkat mengakibatkan penetrasi sinar mata hari ke dalam air berkurang dan menggangu proses fotosentesis, dan seterusnya mengurangi produktifitas primer perairan serta menganggu aktifitas makan ikan (Meager and Batty, 2007), kerusakan hutan juga akan berdampak pada kekeringan, berkurangnya debit air di musim kemarau dan sebaliknya banjir di musim penghujan dan seterusnya menyebabkan habitat ikan rusak, dampaknya akhirnya adalah populasi ikan semakin berkurang dan bahkan jenis-jenis tertentu terancam hilang atau punah.

Pemanasan global (global warming) mungkin turut menyumbang kepada fenomena turunnya permukaan air DLT. Suhu rata-rata udara di kawasan Tekengon dan sekitarnya diklaim oleh masyarakat semakin panas, suasana malam hari di Kota Takengon tidak lagi terlalu dingin dibandingkan dengan sepuluh atau lima tahun silam (Personal komunikasi dengan penduduk Kota Takengon).

Penurunan permukaan air DLT telah menyebabkan beberapa sungai kecil di sekeliling danau kering dan beberapa kawasan pinggir danau menjadi daratan. Sungai-sungai kecil yang mengalir ke DLT khususnya di beberapa kawasan bagian utara danau adalah spawning ground bagi ikan depik dan kawasan pinggir danau yang bervegetasi dan berbatu merupakan kawasan penting bagi larva-larva ikan sebagai nursery, feeding dan protecting ground bagi hampir semua jenis ikan. Menurut Beck et al.,( 2001) dan Gillanders et al., (2003) bahwa juvenile ikan hidup pada kawasan littoral danau dekat dengan pantai, kawasan ini menyediakan cukup makanan dan perlindungan bagi juvenile ikan yang sedang tumbuh cepat.

Menurut Usman (58 Tahun), Sekretaris Badan Lantak (sejenis organisasi seperti Panglima Laot) bahwa terdapat lebih dari seratusan dedeseun pada kurun tahun 1970an sampai 1980an, jumlah ini berkurang menjadi 48 dedeseun pada tahun 2006. Hasil pengamatan kami pada tahun 2007 terdapat 4 dedeseun yang aktif dan pengamatan kami terakhir pada Juli 2009 hanya satu dedeseun saja yang aktif.

b. Kehadiran spesies asing

Selain disebabkan oleh kerusakan lingkungan, penurunan populasi ikan depik mungkin juga disebabkan oleh kehadiran ikan-ikan asing hasil introduksi baik yang tidak disengaja maupun disengaja untuk tujuan diversifikasi jenis ikan budidaya, pengontrolan vector penyakit, ataupun untuk tujuan hobbi (ikan hias).

Hasil penelitian kami beberapa waktu lalu mendapati sekurang-kurang ada tujuh species ikan asing yang diintroduksi baik secara sengaja maupun tidak ke Danau Laut Tawar. Species-species tersebut adalah Clarias gariepinus (lele dumbo), Cyprinus carpio (ikan mas), Oreochromis mossambicus (mujair), O. niloticus (nila), plati pedang atau buntok (Xiphophorus helleri) dan, grass carp atau bawal (Ctenopharyngodon idella). Ikan sapu kaca (Hiposarcus pardalis) dilaporkan oleh neyalan juga telah ada di danau ini. Bahkan pada tanggal 28 Oktober 2009 lalu pemerintah setempat telah melakukan introduksi ikan bandeng (Chanos chanos) ke Danau Laut Tawar.

Introduksi ikan asing ke perairan Indonesia umumnya dan Aceh khususnya telah terjadi sejak lama, sebagai contoh ikan mujair (Oreochromis mossambicus) yaitu salah satu spesies ikan yang penyebarannya sangat luas, sejatinya adalah ikan asli Afrika. Ikan ini dijumpai di perairan Aceh sejak lama, namun tidak ada catatan pasti sejak bila ikan ini di introduksi ke Aceh., namun demikian kami memprediksi ikan mujair pertama kali introduksi ke Aceh antara tahun 1957/1957 oleh seorang nelayan yang bernama Raja Ilang dan pertama kalinya diintroduksi ke Danau Laut Tawar (Personal komunikasi dengan neyalan Danau Laut Tawar). Sedangan ikan nila ((Oreochromis niloticus) menurut catatan yang ada secara “resmi” pertama kali di introduce ke DLT pada Tahun 2003 (Table 1).

Dari catatan yang ada, di Indonesia, ikan mujair pertama kali ditemukan sekitar Tahun 1936 atau 1939 (ada dua versi tahun pertama ditemukan) di muara Sungai Blitar, Jawa Timur oleh Bapak Moedjair, namun tidak diketahui siapa yang mengintroduksikannya (Anonimous, 2009), oleh karena itu ikan ini lebih dikenal dengan sebutan ikan mujair.

Ikan mujair dan nila telah diintroduksi ke lebih 90 negara, 15 negara diantaranya telah melaporkan dampak negativenya terhadap ecologi (Casal, 2006), dan bahkan ikan mujair dan ikan mas telah dicap sebagai top 100 of the world’s worst invasive alien species (GISP, 2004).

Secara umum, introduksi ikan asing ke suatu perairan akan membawa dampak negatif bagi ikan asli setempat (native) baik secara langsung maupun tidak langsung yang pada akhirnya akan menyebabkan populasi ikan asli setempat turun dan bahkan punah. (Saunders et al., 2002), hal ini disebabkan karena terjadinya pemangsaan terhadap ikan lokal (Nicola et al., 1996), kompetesi dalam mendapatkan makanan dan pemanfaatan habitat (Alcaraz and Garcia-Bethou, 2007), kegagalan untuk mendapatkan pasangan (Seehausen et al. 1997), meningkatkan peluang penyebaran patogen penyebab penyakit pada ikan bahkan manusia (FAO, 2005), terjadinya kawin silang yang tidak diharapkan dengan species lokal Almodovar et al., 2006) yang menyebabkan hilangnya gen-gen pembawa sifat unggul, misalnya ketahanan terhadap penyakit dll.

Sebagai ilustrasi, introduksi ikan redbreast sunfish (Lepomis auritus) ke beberapa danau di Italia telah menyebabkan populasi ikan asli setempat Alburnus alburnus berkurang drastis dan populasinya digantikan oleh ikan pendatang tersebut, dan introduksi ikan trout Salmo trutta ke perairan New Zealand juga menyebabkan populasi ikan endemic New Zealand grayling (Protoctes oxyrhynchus) turun drastis (Wargasasmita, 2002). Lebih lanjut Strecker (2006) melaporkan bahwa populasi ikan Cyprinodon sp and Gambusia sexradiata di Laguna Chichancanab, Mexico menurun tajam setelah terjadinya invasi oleh ikan Astyanax fasciatus and Oreochromis (African cichlid), bahkan Cyprinodon simus yang hidup disana dilaporkan sangat sukar dijumpai dan prediksi telah pupus.

Suatu fenomena yang sangat terkenal yang terjadi di Danau Victoria dan Danau Kyoga yang terletak di bagian timur Afrika, peristiwa ini didokumentasi dengan baik dan menarik perhatian para saintis. Jumlah species dan kelimpahan ikan lokal menurun drastis setelah introduksi ikan nile perch (Lates niloticus) di kedua danau tersebut. Akibatnya sangat buruk, menyebabkan produksi perikanan di Nyanza Gulf, Kenya kolaps pada Tahun 1985. Seluruh nelayan menerima dampak buruk dari peristiwa ini akibat kehilangan mata pencaharian dan terpaksa dipindah dari teluk tersebut (Barlow and Lisle, 1987).

c. Aktifitas penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan

Penggunaan jaring insang dengan mata jaring yang kecil dan aktifitas penangkapan dengan dedeseun sepanjang tahun diduga turut menyumbang kepada berkurangnya populasi ikan depik di DLT.

Wawancara kami dengan para nelayan diperoleh informasi bahwa pada kurun 1970an sampai 1980an sebagian besar nelayan hanya mengunakan alat penangkapan tradisional berupa penyangkulan dan dedesen, kedua alat ini hanya beroperasi pada musim penghujan saja, dan hanya beberapa orang nelayan yang memiliki modal besar saja yang memiliki jaring. Pada awal 1990an situasi ini mulai berubah sejak mulai diperkenalkannya jaring insang buatan pabrik dengan harga murah, dapat dibeli oleh siapa saja dan sangat mudah memperolehnya. Akibatnya adalah hampir semua nelayan beralih ke jaring insang bahkan dengan ukuran mata jaring kecil (1.4 cm), dan depik ditangkap sepanjang tahun dan mungkin telah mengakibatkan kelebihan tangkap (over fishing).

Pemerintah Daerah Aceh Tengah telah menerbitkan Perda No. 5 Tahun 1999 tentang pengelolaan sumberdaya perikanan, sayangnya implementasi dari Perda ini masih sangat lemah dan bahkan pada beberapa poin perlu direvisi, misalnya aturan penggunaaan mata jaring minimal 1.5 cm dinilai sudah tidak sesuai dan perlu ditinjau ulang.

d. Pencemaran

Isu pencemaran DLT telah lama dibangkitkan, namun sejauh ini belum ada tindakan yang komprehensif untuk mengatasinya. Beberapa penyebab pencemaran yang telah diidentifikasi diantaranya adalah; pembuangan limbah rumah tangga, hotel dan resort ke DLT tanpa didahului oleh proses pengolahan limbah; aktifitas pertanian di sekeliling DLT yang menggunakan berbagai jenis bahan kimia seperti pupuk, pestisida, herbisida dan fungisida, akan tercuci dan terbawa masuk ke dalam DLT khususnya pada musim penghujan; aktiftas perikanan budidaya dengan aplikasi pakan dengan kandungan protein tinggi (pelet komersil) diduga ikut menyumbang bahan pencemar ke DLT.

Pembukaan akses jalan lingkar DLT walaupun secara ekonomi berdampak positif namun secara ekologi telah turut menyumbang kepada kerusakan ekologi DLT. Pembukaan jalan lingkar telah telah diikuti oleh pesatnya pertumbuhan sektor wisata seperti kehadiran resort dan cottage khususnya di sepanjang pantai Utara, yang telah kami identifikasi sebagai kawasan yang paling banyak terdapat spawning ground ikan depik.

Dari sektor perikanan khususnya, alih usaha dari perikanan tangkap ke perikanan budidaya kami nilai suatu tindakan yang positif, namun sayangnya peningkatan perikanan budidaya ini justru terjadi pada budidaya karamba jaring apung (KJA) di DLT, bukan budidaya kolam. Sebagai ilustrasi jumlah KJA meningkat tajam dalam kurun waktu 2 tahun terakhir, sebagai contoh terdapat 16 keramba apung pada Tahun 2006, meningkat menjadi 143 keramba pada Tahun 2008 (atau meningkat 794% !), dibandingkan dengan peningkatan budidaya kolam seluas 46.9 ha naik menjadi 56.7 ha (meningkat 21%) pada periode yang sama (Bappeda Aceh Tengah, 2006; 2009). Dan ironisnya lagi sebagian besar ikan peliharaan adalah ikan hasil introduksi dari luar Aceh dan bahkan luar Indonesia. Selain itu pula pengembangan kapasitas nelayan dinilai juga masih kurang.

Pengembangan usaha budidaya ikan dengan intensitas pemberian pakan buatan yang tinggi tanpa diiringi dengan manejemen kualitas air yang baik akan berdampak buruk pada kondisi air danau dan seterusnya memberi dampak negatif terhadap populasi ikan di danau. Secara teoritis, hanya 10% dari total luas danau dapat dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya yang bersifat ramah lingkungan. Selain mempertimbangkan luasan, lokasi penempatan juga penting diperhatikan agar limbah dari kegiatan budidaya ini tidak memcemari sumber air danau. Oleh karena kajian kelayakan usaha secara ekologis dan ekonomis penting dilakukan sebelum izin usaha diberikan. Pemerintah Daerah setempat perlu benar-benar pro aktif dan selektif dalam pemberian izin usaha baik usaha perikanan maupun usaha-usaha lainnya yang berdampak langsung dan tidak langsung terhadap danau, misalnya hotel, restoran dan resort atau cottage.

4. Beberapa Hasil Kajian Terkini Tentang Ikan Depik

Beberapa seri penelitian terhadap populasi ikan depik di DLT telah berhasil kami lakukan dan hasilnya sedang dalam proses publikasi, namun demikian beberapa informasi penting ingin kami kongsikan disini.

a.  Kajian distribusi dan produksi ikan depik.

Hasil kajian kami mendapati bahwa ikan depik berdistribusi secara luas di DLT. Dari berbagai faktor yang diukur (kedalaman, jarak dari pantai, suhu, oksigen dan kecerahan) menunjukkan bahwa kedalaman air memainkan peranan yang sangat penting dalam distribusi ikan depik di DLT.

Faktor kedalaman air dan jarak dari pantai menunjukkan hubungan yang negatif dengan hasil tangkapan (CPUE), namun berhubungan positif dengan ukuran ikan. Artinya bahwa hasil tangkapan akan menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman dan jarak dari pantai, namun sebaliknya ukuran ikan akan meningkat seiring dengan peningkatan kedalaman dan jarak dari pantai.

Sementara itu suhu air menunjukkan hubungan yang positif dengan hasil tangkapan, namun hubungan yang negatif dengan ukuran ikan yang tertangkap. Artinya bahwa hasil tangkapan akan meningkat seiring dengan peningkatan suhu dan sebaliknya ukuran ikan yang tertangkap akan semakin mengecil dengan peningkatan suhu. Oksigen terlarut dan turbiditi tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap terhadap hasil tangkapan maupun ukuran ikan.

Kesimpulannya adalah adalah ikan-ikan yang berukuran relative kecil banyak terdapat di perairan yang dangkal dan dekat dengan pantai, sementara ikan-ikan yang lebih besar lebih memilih perairan yang lebih dalam dan jauh dari pantai.

b. Kajian variasi morphometrik, truss network, meristic and genetic ikan depik, eas dan relo (group Rasboras).

Kajian morphometric, truss network dan meristic sudah selesai dilakukan, namun kajian analysis DNA sequences sedang berjalan, sehingga belum dapat diambil suatu kesimpulan.

c. Kajian hubungan panjang berat dan faktor kondisi ikan depik

Hasil kajian kami mendapati bahwa ikan betina berukuran lebih besar dibandingkan dengan jantan. Pertumbuhan alami ikan depik menunjukkan pola alometrik negatif, dimana pertumbuhan panjangnya tidak sebanding dengan pertambahan berat, artinya panjang betambah lebih cepat dibandingkan dengan berat. Dari nilai faktor kondisi yang diperoleh menunjukkan bahwa perairan DLT masih cukup mendukung kehidupan ikan depik.

d. Kajian biologi reproduksi ikan Depik

Dari penelitian ini diperoleh informasi bahwa ikan depik tergolong pada group synchronous spawner atau fractional multiple spawners, ikan-ikan yang tergolong dalam group ini dapat memijah beberapa kali dalam setahun. Berdasarkan hasil pengamatan nilai GSI diketahui puncak pemijahan ikan depik terjadi sebanyak 3 kali dalam setahun yaitu pada bulan September, Desember dan Maret, dimana bulan September adalah puncak pemijahan yang tertingginya. Ratio kelamin menunjukkan bahwa ikan betina lebih dominant jumlahnya dibandingkan dengan jantan, namun demikian ikan jantan matang kelamin lebih awal. Total fecundity rerata adalah 3715 telur pada setiap sepasang gonad, sedangkan nilai relative fecunditasnya adalah 518 telur/ gram berat badan induk. Frekuensi pemijahannya terjadi setiap 2 sampai 11 hari sekali.

e. Kajian kebiasaan makanan

Hasil analisis isi lambung dan bentuk alat-alat pencernaan menunjukkan bahwa ikan depik tergolong sebagai fitoplankton feeder, terdapat kurang lebih 48 jenis fitoplankton yang dimakan oleh ikan depik, yang paling dominant adalah jenis-jenis diatom dan alga (Chloropycea).

5. Rekomendasi

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa populasi ikan depik telah menurun drastis dalam kurun waktu 3 dekade terakhir, penurunan yang sangat signifikan terjadi pada kurun 1990an. Dalam upaya untuk meningkatkan kembali populasi ikan depik dapat disusun perencanaan jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Beberapa rekomendasi yang mungkin dapat dipertimbangkan dalah:

TINDAKAN SEGERA

a.  Moratorium fishing (termasuk dedeseun dan jaring), dengan pilihan sbb:

Larangan menangkap total untuk selamanya
Larangan menangkap total berjangka (1-3 Tahun)
Larangan menangkap mengikut waktu, misalnya pada masa pemijahan etc.
Larangan menangkap total, namun dengan pengecualian waktu dan alat tangkap tertentu.
b.  Livelihood alternatif bagi nelayan: Perkuat sektor perkebunan (friendly agriculture livelihood)

TINDAKAN SUSULAN :

a. Merevisi Perda No. 5 tahun 1998, khususnya yang mengatur tentang pengunaan mata jaring dll. Dan menerapkannya secara konsisten (law enforcement).

b. Mengevaluasi ulang tata kota dan tata guna lahan

c. Penguatan kelembagan nelayan (Badan Lantak) baik secara financial maupun kapasitas

d. Membentuk suatu badan Research and Development (R&D) DLT pada salah satu instansi pemerintah (misalnya Bapedalda)

e. Penetapan kawasan reservat

f.  Reboisasi hutan

g. Penguatan kapasitas nelayan dan petani

h. Dukungan SDM dan Finansial yang mencukupi

Daftar Pustaka

Alcaraz, C. & E. Garcia-Berthou. 2007. Food of an endangered cyprinodont (Aphanius iberus): ontogenetic diet shift and prey electivity. Environmental Biology of Fishes, 78: 193–207.

Almodovar, A., G.G. Nicola, B. Elvira and J.L. Garcia-Marin. 2006. Introgression variability among Iberian brown trout Evolutionary Significant Units: the influence of local management and environmental features. Freshwater Biology, 51: 1175–1187.

Barlow, C.G and Lisle, A (1987) Biology of the nile perch Lates niloticus (Pisces: Centropomidae) with reference to its proposed role as a sport fish in Australia. Biological Conservation 39:269-289.

Bapeda Aceh Tengah. 2009. Aceh Tengah dalam angka. Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Aceh Tengah.

Beck, M. W., Heck Jr., K. L., Able., K. W., Childers, D. L., Eggleston, D. B., Gillanders, B. M., Halpern, B., Hays, C. G., Hoshino, K., Minello, T. J., Orth, R. J., Sheridan, P. F. and Weinstein, M. P. 2001. The identification, conservation, and management of estuarine and marine nurseries for fish and invertebrates. BioScience 51: 633-641.

Casal, C.M.V. 2006. Global documentation of fish introductions: the growing crisis and recommendations for action. Biological Invasions 8: 3–11.

CBSG. 2003. Conservation Assessment and Management Plan for Sumatran Threatened Species: Final Report. IUCN SSC Conservation Breeding Specialist Group, Apple Valley, MN, USA.

Rudi, E., N. Fadli, dan Muchlisin Z.A. 2009. Profil Danau Laut Tawar. Universitas Syiah Kuala (In preparation).

FAO (2005). International mechanism for the control and responsible use of alien species in aquatic ecosystem. Report of an ad hoc expert consultation 27-30 August 2003, Xishuangbanna, People’s Republic of China.198pp.

Gillanders, B. M., Able, K. W., Brown, J. A., Eggleston, D. B. and Sheridan, P. F. (2003). Evidence of connectivity between juvenile and adult habitats for mobile marine fauna: an important component of nurseries. Marine Ecology Progress Series, 247: 281-295.

IUCN (1990). IUCN red list of threatened animal. IUCN, Gland and Cambridge.

Kartamihardja, E.S., H. Satria and A.S. Sarnita. 1995. Limnologi dan potensi produksi ikan danau laut tawar, Aceh Tengah. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 1(3): 11-25.

Muchlisin Z.A. 2008. Ikan Air Tawar di Nanggroe Aceh Darussalam dan Kawasan Ekosistim Leuser. Univeritas Syiah Kuala – Universiti Sains Malaysis – Paneco.

Muchlisin Z.A and M.N. Siti Azizah. 2009. Diversity and distribution of freshwater fishes in Aceh waters, northern Sumatera, Indonesia. International Journal of Zoological Research, 5(2): 62-79.

Muchlisin Z.A. 2009. Biodiversity of freshwater fishes in Aceh Indonesia with emphasis study on the biogeography of depik (Rasbora tawarensis) an endemic and threatened fish in Lake Laut Tawar. Ph.D thesis Universiti Sains Malaysia (in preparation).

Muchlisin Z.A. 2008. Ikan depik yang terancam punah. Bulletin Leuser,6(17): 9-12

Nicola, G.G., Almodo var, A. and Elvira, B. 1996. The diet of introduced largemouth bass, Micropterus salmoides, in the Natural Park of the Ruidera Lakes, central Spain. Polskie Archiwum Hydrobiologii, 43: 179–184.

Saunder, D. L. Meeuwig, J. J. and Vincent, C. J (2002). Freshwater protected area: strategies for conservation. Conservation Biology 16:30-41.

Seehausen, O. Witten, F. Katunzi , E.F. Smits, J and Bouton, N (1997). Pattern of the remnant cichlid fauna in southern lake Victoria. Conservation Biology 11: 890-904.

Serambi Indonesia. 2009. http://www.serambinews.com/news/aceh-pecahkan-rekor-pengrusakan-hutan. Tanggal akses 26 Oktober 2009.

Sorensen, P.W and Hoye, T.R. 2007. A critical review of the discovery and application of a migratory pheromone in an invasive fish, the sea lamprey Petromyzon marinus L. Fish Biology 71: 100-114.

Wargasasmita, S (2002). Ikan air tawar Sumatera yang terancam punah. Jurnal Iktiologi Indonesia 2 (2):41-49.

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.