Ati Asmalinda, Meraih Asa Dari Rikit Musara

oleh

Setiap orang memang mempunyai narasi cerita hidup tersendiri, karenya setiap orang memiliki keunikan dan pengalaman berbeda-beda,  dari sanalah karakter dan watak manusia itu dibentuk, sesuai dengan dinamika yang menempanya hingga menjadi seorang pribadi.

Ati Asmalinda misalnya,  seorang beru Gayo kelahiran Rikit Gaib, Gayo Lues,  26 Juli 1993, ia tumbuh dan berkembang melewati berbagai dinamika hidup yang kompleks, ia dan keluarganya pindah dari Rikit Gaib, Gayo Lues ke kampung Rikit Musara kecamatan Permata Bener Meriah, sejak ia masih berumur 3 tahun tepatnya pada tahun 1997, alasan keluarganya pindah karena maraknya penyakit yang berkembang di Rikit Gaib kala itu.

Alih-alih menghindari mara bahaya di Rikit Gaib dan mencari penghidupan yang aman dan damai di Rikit Musara, hidup memang tak selalu sesusai harapan,  konflik bersenjata pecah situasi tidak aman membahayakan nyawa sehingga mengharuskan kembali untuk pindah dari Rikit Musara ke Pondok Baru, tepatnya di Kampung Suku Wih Ilang, awalnya hidup numpang di rumah sanak famili dan berjuang untuk hidup kembali hingga 6 tahun lamanya dan konflik telah berujung damai, barulah kemudian kembali ke Kampung Rikit Musara,  merajut hidup kembali melanjutkan harapan yang tertunda, memulai dari titik nol sebab kebun dan harta lainya sudah lama terlantar.

Rikit Musara, adalah nama kampung yang lumayan jauh dari pusat kota Bener Meriah dan merupakan perbatasan antara Bener Meriah dan Aceh Utara, dan kampung inipun sampai saat ini masih bersettus sengketa antara Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Utara. Dari sanalah, anak perempuan ke tiga dari pasangan suami isteri Abdullah dan Semi ini merangkai mimpi, menaruh asa gemilang dimasa yang akan datang.

Harapan dan impian orang tua adalah sebuah modal besar baginya,  hingga ia mampu menembus gunung dan bukit,  jalan terjal, bebatuan dan kerikil tajam untuk menuntut ilmu,  bekal dimasa yang akan datang.

Begitupun orang tuanya,  niat untuk ingin melanjutkan pendidikan bukan semata karena ia mampu dan bergelimang harta,  tapi dengan segala keterbatasan ekonomi dan hanya tekad yang kuat sehingga kelak sang buah hati mendapatkan penghidupan yang layak dan berbeda dari orang tuanya yang selalu menantang alam,  panas terik mentari dan juga hujan yang datang membasahi bumi siap membuat tubuhnya menggigil, hanya berlindung dalam gubuk yang disana mimpi itu ditanamkan.

Pada awalnya dimana ia tidak ingin melanjutkan pendidikannya, karena dari kecil ia bercita-cita menjadi seorang Polisi Wanita (Polwan) . Namun cita-citanyapun kandas lantaran faktor ekonomi keluarga yang tak memungkinkan mengantarkanya menjadi bagian dari korps bayangkara ini. Dirinyapun secara terpaksa mesti melanjutkan pendidikan di bangku perkuliahan yaitu di STAIN Gajah Putih Jurusan Tarbiah program studi (Prodi)  Tadris Bahasa Inggris (TBI), semua semata untuk mengikuti keinginan orang tua dan ingin membahagiakan kedua orangtuanya.

“Saya enggak ingin kuliah, saya hanya ingin menjadi Polwan waktu itu, tapi karena tidak mungkin ya saya bilang lebih baik nyari kerja aja, karena enggak niat kuliah, apalagi jurusan pendidikan enggak suka kali dari dulu, tapi demi orang tua,  saya mesti berusaha dan berupaya,” ujar putri ke tiga dari  lima bersaudara ini.

Dan setelah ia lulus menjadi mahasiswi di STAIN Gajah Putih dan mengikuti OPAK yang dilaksanakan oleh kampus, pada saat itulah ia sangat terkesan dengan seorang mentor yang membimbing kelompoknya, dimana mentornya tersebut memiliki retorika sepak yang memadai lalu menjelaskan semua organisasi-organisasi yang ada dikampus dan diluar kampus dan pengalaman pengalaman yang telah dilalui oleh mentornya tersebut. Karena terkesan akhirnya pada saat itu ia memberanikan diri bertanya kepada mentornya apa organisasi yang diikuti oleh mentor tersebut.

Sejak itu,  ia mengenal Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)  sebuah organisasi  mahasiswa tertua dan terbesar di Indonesia, lalu kemudian bergabung  dengan HMI tercatat aktif sejak tahun 2014. Sebelum ia masuk HMI mengaku tidak ada akfivitas yang produktif yang bisa ia lakukan kecuali hanya ke kampus lalu pulang ke kosan.

“Di HMI saya banyak belajar,  disana saya mulai belajar menggali jati diri, berkat bimbingan senior-senior saya di HMI, saya kemudian menemukan makna hidup, yaitu mengabdi dengan tulus dan ikhlas,  dan yang terpenting saya merasa kemampuan interpersonal saya di bangun,” ungkap mahasiswi yang sedang berjuang menyelesaikan Skripsinya ini.

Dimulai dari HMI kemudian Ati Asmalinda aktif menekuni organisasi,  ia menemukan banyak guru, belajar bersama banyak orang, hingga ia aktif di berbagai organisasi baik organisasi mahasiswa internal kampus maupun eksternal seperi paguyuban Forum Mahasiswa Gayo Lues (Formagalues), organisasi Kepemudaan KNPI, EDSA (English departement Students Asotation).

“Kegalauan saya dulu terpecahkan disini,  kini saya punya harapan baru untuk berbuat lebih banyak,  bermimpi lebih luas, untuk hidup lebih baik, baik secara pribadi dan orang banyak, intinya kita harus berjuang,” demikian Ati Asmalinda. [FY]

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.