Oleh : Win Wan Nur*
Hubungan antara dua pucuk pimpinan Aceh Tengah, sudah lama diketahui umum layaknya api dalam sekam. Meski tidak benar-benar muncul ke permukaan, tapi tensi yang menghangat sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat di kota dingin ini.
Sebagaimana diketahui, bupati dan wakilnya yang perseteruannya kini menjadi viral secara nasional dan menjadi pokok bahasan orang di seluruh nusantara, di berbagai grup media sosial, Twitter, Facebook sampai Whatsapp.
Kedua pemimpin di Aceh Tengah ini adalah produk dari pemilihan langsung yang berbiaya sangat mahal. Sebagaimana fenomena umum yang kita saksikan, bisa dikatakan dalam setiap Pilkada di Indonesia.
Kita masyarakat awam, tak benar-benar tahu, deal-deal apa yang mereka berdua lakukan saat dulu bersepakat untuk bersama-sama berjuang membujuk rayu masyarakat Aceh Tengah untuk memberikan suara untuk mereka. Bagaimana soal pembiayaan dan apa kompensasinya.
Sudah menjadi rahasia umum pula, kalau dalam sistem politik seperti ini, untuk memperoleh dukungan, cabup dan cawabup menjanjikan sesuatu terkait ekonomi kepada pihak-pihak yang membantu kampanye mereka secara finansial.
Ketika kekuasaan sudah diperoleh, akhirnya akan sulit sekali untuk memuaskan semua pihak yang sudah membantu dan sama-sama berharap. Inilah yang kemudian menjadi percikan-percikan api, yang meski tak benar-benar kelihatan, tapi nyata di rasakan.
Di Aceh Tengah, pada akhirnya, api yang selama ini tersembunyi di dalam sekam meledak dan muncul ke permukaan dan terjadilah hal yang membuat Aceh Tengah menjadi pembicaraan secara nasional, yang sayangnya sama sekali bukan dalam konteks yang membanggakan.
Secara realistis, kita memahami betapa sulitnya memimpin satu daerah ketika kekuasaan didapat dengan dukungan yang diperoleh dengan cara memberi janji kepada begitu banyak orang yang jelas-jelas berharap mendapat keuntungan (ekonomi) dari dukungan itu.
Tapi pada akhirnya, bagaimanapun namanya Bupati dan Wakil Bupati, adalah simbol dari kabupaten itu sendiri. Merekalah yang membawa marwah dari masyarakat di daerah yang mereka pimpin. Ketika mereka, menjadi olok-olok secara nasional, masyarakat di daerah tersebut juga ikut menanggung malu.
Menjadi pemimpin, apalagi di Gayo yang masyarakatknya berkarakter egaliter, memang sangat tidak mudah. Ketika mereka memutuskan untuk bertarung menjadi pemimpin pun, jelas mereka sudah tahu kalau mengelola jabatan yang akan mereka dapatkan itu sangat tidak mudah. Begitu banyak kisah dan cerita dari masa lalu yang menggambarkan, betapa tidak mudahnya menjadi pemimpin.
Di Gayo yang biasa melakukan kontrol sosial dan kritik pada kekuasaan adalah para penyair, berbagai saer dari para penyair besar banyak membahas soal kekuasaan dan politik. Salah satunya, saer dari Tengku Mude Kala ini.
“GELUMANG TUJUH”
Saer Tgk Mudekala
Gelumang tujuh ini kusederen.
Kin inget – ingeten gelumang pitu.
Sara pepatah ini ku perin,
Kuatas pemimpin baring sahan tengku
Gelumang pitu turah i rasa,
ku atan ni jema si mujadi ulu.
Yang pertama rugi belenye.
Nan pe yang kedue beden payah demu.
Yang ketige kona petenah
Ke empat mutamah buet diri padu
Yang kelime we kona caci
Ke enam menjadi we berate karu
Yang ke tujuh i deye syaitan
Depet ujian we kona ganggu
Si pitu perkara turah i rasa
Oya le makna gelumang pitu
Si pitu perkara ke lepas ilewen
Selamat berjelen mungayuh perau
Ke bareng sana ara perpakatan
We i bubun kin kepala ulu
Semisel jema menjadi reje
Turah i cube gelumang pitu
Menjadi reje olok pedi sakit
Merasai peit lagu empedu
Memikiri rakyat wanni kampong
Kune kati beruntung kune kati maju
Menjadi ulama olok pedi susah
Mendepet tomah jema siberilmu
Mumikiri murik kune kati pane
Berpedih ate munupangen dagu
Munehen tuduh ari kuen kiri
Selagu Nabi i masa dahulu
Konotni cerak singketni peri
Ike mujadi kin kepala ulu
Ke baring sahan jema manusie
Turah i cube gelumang pitu
Ike gere beta nguk i perinen
Gere jadi ilen kin kepala ulu
Disalin oleh Novarizqa Saifoeddin
Jadi apapun alasannya, dengan segala hormat, bupati dan wakil bupati Aceh Tengah, tolong berhentilah berseteru. Selesaikanlah segala urusan terkait kekuasaan tanpa perlu membuat daerah kita menjadi gunjingan orang se-Nusantara.