Menjelang Milad GAM di Tahun 2004

oleh

Catatan : Fauzan Azima (Mantan Panglima GAM Wilayah Linge)

Muallim Muzakkir Manaf sedang tidur ketika bom meriam dilontarkan dari daerah Buntul Kepies. Sebuah kampung yang terletak di kaki Gunung Geureudong. Bom itu ditujukan kepada kami yang sudah membuat bivak di Bukit Rebol, Bener Meriah. Suaranya bom itu menggelegar di seluruh kawasan hutan. Muallim sempat terbangun, duduk sebentar, kemudian meneruskan tidurnya. Bom meriam itu semakin sering dilontarkan. Kami mencari perlindungan dibalik pohon-pohon besar. Panglima GAM itu tidak peduli bom bom selanjutnya, ia tetap tidur.

Kami dan pasukan saling memandang dan bertanya, apa yang terjadi? Mengapa tiba-tiba ada bom meriam? Tidak ada yang tahu. Sore itu, kami hanya tahu bom meriam dilontarkan setiap lima menit sekali. Kami menghitungnya setiap menit kelima kami berlari dan mencari perlindungan. Sementara dari kampung, perhubungan kami, tidak ada informasi apapun. Padahal baru saja serombongan pasukan tiba dari kampung-kampung terdekat mengambil logistik. Kondisi di bawah aman terkendali.

Menjelang malam serangan bom meriam itu berhenti. Kami melaksanakan rutinitas seperti biasa. Shalat maghrib di bivak masing-masing. Seperti tidak terjadi apa-apa. Tetapi sejak bom itu dilontarkan, kami berencana besoknya akan pindah mencari tempat yang aman. Sudah biasa, jika terjadi serangan bom meriam atau bom pesawat, esoknya dipastikan akan ada penyesiran besar-besaran di kawasan tersebut. Meski demikian kami tetap menunggu berita pasukan yang sedang patroli dekat kampung Bathin atas. Kampung yang terdekat dengan kawasan kami bersembunyi.

Pada keesokan harinya tidak ada tanda-tanda apapun, tetapi kami teruskan saja bergeser ke perbukitan tempat tower repiter radio handy talky bekas milik perusahaan kayu di dekat perkampungan Pondok Gresek. Kawasan yang paling tidak bisa dimasuki oleh pasukan GAM karena ada pos TNI/Polri juga banyak masyarakatnya sebagai milisi. Meski demikian ada juga sebagian dari mereka yang memberikan dukungan logistik kepada kami.

Sebelum memasuki hutan di atas Kampung Gresek, Muallim baru saja dihubungi oleh seorang ulama, tetapi tidak menyebutkan namanya. Hanya saja ulama itu berpesan, “Tidak lama lagi laut dan langit akan berwarna merah. Akan musibah besar. Banyak yang meninggal. Bersabarlah setelah peristiwa itu. Kita akan aman. Jaga diri jangan sampai musibah!”

Kami sangat gembira mendengar cerita Muallim itu. Seperti ada cahaya diujung lorong. Ada harapan, ada cita-cita yang selama ini dipendam karena sudah “teken” mati. Berita Muallim itu menjadi energi baru bagi kami untuk terus berjuang sampai ke batas.

Ketika kami hendak membuat bivak, Komandan Operasi, Teungku Salman yang tadinya patroli di dekat kampung Nosar Atas berlari ke arah kami dengan nafas yang terengah-engah.

“Ama…Ama…geser…geser…geser,” katanya sambil menghalau tangannya ke arah saya.

“TNI sudah dekat! TNI sudah dekat!” Teriaknya.

Tanpa menunggu aba-aba, kami merubuhkan kembali bivak yang sudah kami buat. Bekas-bekas telapak sepatu kami tutupi dengan dedaunan kering. Saya bersama Teungku Salman dan Teungku Nakir terus membawa Muallim ke puncak bukit. Dari belakang Teungku Husaini Prangko, Ija Krung, Aneuk Labu, Faisal, Bedel, Datu, Manki, Salman, Pom, Gerep, Rafles, dan Wapang Wilayah Linge Jangko Mara terus membuat pertahanan kalau sewaktu-waktu diserang.

Kami semakin menjauh dari jangkauan kawasan operasi TNI. Waktu sudah menunjukan ashar tetapi tebalnya kabut memaksa kami berhenti di ladang ganja. Fikir kami, pantas saja, sering terdengar suara tembakan di kawasan ini. Ternyata itu untuk menghalau masuknya masyarakat ke kawasan itu. Sehingga mereka bebas berulang kali menanam ganja di sana. Kami membuat bivak untuk bermalam di sana.

Setelah sarapan pagi, kami berjalan kembali menghindari kemungkinan TNI mengikuti jejak kami. Setelah lama berjalan, ternyata kami kembali lagi ke tempat awal, tempat di mana sasaran bom meriam dilontarkan dua hari yang lalu. Kami melihat bekas sepatu PDL TNI. Jumlahnya ratusan dan memastikan arahnya ke mana? Semua bekas-bekas itu mengarah turun ke arah perkampungan. Tempat-tempat bivak kami semua dibakar dan buah-buah alpukat yang kami tinggalkan juga ikut terpanggang. Karena lapar kami makan buah alpukat muda yang dibakar dan rupanya enak juga rasanya.

Kami berhenti sejenak, hendak membuat kesepakatan. Kemana arah tujuan kami selanjutnya. Keadaan di kawasan Bukit Rebol tidak mungkin aman lagi bagi Muallim.

Setelah Muallim mengontak seluruh pasukan dan memutuskan agar beliau diantar ke Wilayah Bateilek. Kawasan Komandan Operasi Wilayah Bateeilek, Teungku Syaiful Cage. Yaitu daerah Matang Geulumpang Dua dan sekitarnya. Hanya masalahnya, beras tinggal dua bambu (empat liter) lagi. Sementara tidak mungkin mengambil logistik ke perkampungan karena berdasarkan informasi masih “lido barang” kata tersebut sebagai pengganti ungkapan bahwa kawasan itu sedang ada operasi TNI/Polri. Perintah panglima harus diikuti. Apapun ceritanya Muallim harus sampai ke kawasan dimaksud.

Di sana kami memecah pasukan menjadi dua; Saya bersama Teungku Jangko Mara, Nakir, Rafles, dan Bedel mengantar Muallim dan pasukannya. Sedangkan yang tinggal di kawasan Rebol adalah Komandan Operasi Salman, Datu, Faisal, Manki, Pom, Gerep dan Jantung.

Setelah salam-salaman dan berpelukan serta saling mengamanahkan dan mohon saling berdo’a, kami berangkat. Meskipun kami melewati hutan rimba, bukan berarti kami tidak hati-hati. Awalnya kami mencoba melintasi jalan biasa yang sering dilewati oleh pasukan, tetapi ternyata di kawasan hutan itu masih berlangsung operasi TNI. Di kawasan sungai Riseh Tiga hampir saja terjadi kontak tembak. Kami melihat TNI sedang turun menuju ke sungai. Sedangkan dari arah berlawanan kami juga sedang menuju sungai yang sama. Kami cepat mundur.

Muallim masih sempat menghubungi seseorang lewat HP dan berkesimpulan untuk tidak melewati jalan biasa. Saya yang tidak faham jalan-jalan di hutan mengambil komando untuk menentukan arah. Kami berbelok ke arah kelatan sebelum kembali ke arah utara.

Mengingat perbekalan kami sangat kurang. Kamipun mengumpulkan buah rotan yang rasanya sangat kelat dan buah berhul yang rasanya sangat asam. Tetapi kami tetap mengumpulkannya sebagai perbekalan. Saya melihat Muallim sendiri banyak mengumpulkan buah rotan dan disimpannya ke dalam tas ransel warna merah. Di sana saya melihat bahwa Muallim benar-benar seorang pelatih tentara. Di tebing-tebing yang tinggi Muallim dengan mudah sebelah tangan menaiki tebing. Bahkan membantu pasukan lainnya naik ke atas bukit. Jalan altrrnatif itu kami gunakan untuk menghindari kontak senjata.

Selama perjalanan setiap hari kami memasak hanya dua kali. Pagi sebelum matahari terbit dan sore setelah turun kabut. Nasi kami masak dua genggam untuk kami jadikan bubur. Muallim sendiri ada sisa dua bungkus roti Marie yang selalu dibagi untuk dua orang setiap satu roti.

Jum’at malam, 4 Desember 2004, kami menginap di hutan belantara yang kami tidak tahu posisinya di mana. Kami tidak tahu berapa hari lagi sampai ke tujuan. Bagi kami bukan soal berapa hari lagi, tetapi yang penting Muallim dan kami selamat sampai ke tujuan.

Malam itu, saya berbincang dengan Muallim. Gunung Geuredong telah jauh kami tinggalkan. Kemungkinan kami sudah mendekati daerah Blang Rakal. Kami masih mendengar suara tembakan sekali. Kami masih menduga-duga apakah suara itu sebagai isyarat TNI menghentikan operasinya atau memang kami dekat dengan kampung, tetapi seperti kawasan di Bukit Rebol, kabut turun sangat gelap sehingga kami tidak tahu lagi arah mata angin.

Kami sama-sama menghadap tunggu perapian. Di tengah belantara itu kami bebas menyalakan api karena kabut abadi menutupi asap yang menjadi salah satu pengetahuan bagi TNI/Polri mengendus keberadaan kami.

Saya sendiri sengaja tidak dekat dengan Muallim. Bahkan tugas untuk keperluan Muallim saya serahkan kepada Wakil Panglima Teungku Halidin Gayo. Mereka saya lihat sangat akrab. Sering bercerita dan bercanda. Saya lebih memilih tidur dengan pasukan di gerbang pintu masuk. Saya beralasan kalaupun terjadi apa-apa biarlah saya lebih dulu disasar.

Selama Muallim bersama kami. Saya merasa selalu was-was. Saya selalu berdo’a jangan sampai Muallim syahid di bawah penguasaan kami karena akan menjadi caci maki dan sumpah serapah seluruh pasukan di Aceh Karena itu saya benar-benar mengamati agar pasukan jangan sampai lalai dalam menjaga Muallim.

Pada satu sisi ada kebanggaan pimpinan militer tertinggi GAM ada bersama pasukan kami dan akan dicatat oleh sejarah bahwa Muallim Muzakkir Manaf pernah bersama pasukan Wilayah Linge meskipun hanya tiga bulan, tetapi di sisi lain menjadi beban bagi kami karena melindungi pimpinan punya tanggung jawab besar. Di samping itu, kalaulah TNI/Polri tahu bahwa Muallim ada di sana maka serangan akan lebih besar. Sedangkan persenjataan kami di wilayah Linge sangat terbatas.

Tanpa penerang dan di dalam kegelapan kami bercerita. Saya tidak melihat wajah Muallim. Muallim juga tidak melihat wajah saya. Kami hanya saling mendengar suara. Malam itu, Muallim membuka rahasia bahwa beliau telah mendapat informasi dari ulama-ulama keramat. Muallim bercerita tentang Abu Ibrahim Woyla, Abu Tumin Blang Bladeh dan Apa Cut Lancuk.

“Mereka selalu berdo’a untuk keselamatan kita. Merekalah yang mengatakan apa yang saya sampaikan saat kita berjalan ke kawasan hutan Gresek. Oleh karena itu, jangan sampai malu, jangan sampai kita menyerah. Sampaikan kepada kawan-kawan untuk bersabar,” kata Muallim.

Saya tidak “ngeh” dengan ucapan Muallim. Hanya saya merasa bangga dan istimewa karena dipercaya oleh pimimpin. Sehingga Muallim menyampaikan rahasia penting kepada saya yang mungkin tidak disampaikan kepada pasukan lainnya.

(Mendale, 3 Desember 2019)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.