[Kisah] Putri Burung Mergah Dan Gelingang Raya Bagian. 7

oleh

[Kisah] Putri Burung Mergah Dan Gelingang Raya Bagian. 7

Diceritakan kembali oleh: Aman Renggali

Gelingang Raya mengangkat dan menggendong ayahnya, persis seperti ayahnya menggendong dirinya saat masih kanak. Melangkah dengan tertatih-tatih menyusi jalan setapak diantara perdu-perdu kayu tak berdaun dan ilalang menguning. Peluh keringatnya menetes dari kepala dan dahi bercampur dengan air mata mengalir diantara kedua pipinya. Goresan cakar harimau itu mirip sebuah garis lurus di telapak tangan ayahnya.

Beberapa centi meter lurus dengan luka dalam, beberapa centi meter pada goresan lainnya seperti belokan jalan yang menikung ke atas. Bulu kekuning-kuningan beberapa helai menempel di ujung kuku. Ini menandakan ada perlawanan sebelum akhirnya kedua taring harimau itu turut memberi andil dalam pelemahan kekuatan Basyar.

“Aku harus segera tiba di rumah, memulihkan kondisi ayah dan mengobati luka-lukanya,” bisik Gelingang Raya dalam hati. Daun telinganya dirapatkan ke wajah ayahnya yang bersandar ke bahunya. Nafas yang mendengus perlahan terasa di pipi Gelingang Raya.

Jejak kaki Gelingang Raya awas menapaki jalan pulang. Sepanjang perjalanan ia melihat ada sejumlak bekas tapak harimau lonjong membundar dipermukaan tanah yang berdebu. Tanpaknya sang penguasa hutan itu telah mengintai korbannya sejak Basyar memasuki kawasan kandang kerbau.

Tiba di rumah. Gelingang Raya merawat dan berusaha membersihkan bercak darah ditubuh ayahnya. Sebahagian sudah mongering kehitam-hitaman, sebahagian lainnya terlihat masih membeku dan menggumpal dipermukaan luka cakar.

Rebusan air setengah mendidih dipersiapkan Hayya, dengan selembar kain kerudung yang halus mulai mengusap dan mebersihkan badan suaminya.

Sesekali Basyar mengaduh, tekanan dan usapan terlalu kuat sehingga rasa sakitnya harus ia ekpresikan dengan suara.

Ada goresan kuku di disepanjang bahu kanan dan kiri hingga telapak tangannya, pertanda sebelum tersungkur karena kehabisan darah Basyar sempat melakukan perlawanan sengit. Bertarung dengan harimau kelaparan yang kehilangan sebahagian dari hutannya.

“Sudah beberapa ini kita merawat ayahmu, tapi lukanya belum juga kering,” kata Haayya memecah keheningan dan rasa sedihnya menyaksikan Basyar terbujur sambal mengeluh kesakita.

“Kita harus terus berusaha bu”, jawab Gelingang Raya Singkat
“Ya, hampir semua ramuan yang ada di sekitar rumah kita sudah ibu coba. Bahkan percampuran antara akar, daun dan buah sudah kita coba”

“Semoga akan ada perubahan, setidaknya kita tunggu ramuan-ramuan ini bekerja”, jawab Gelingan Raya lagi memberi keyakinan pada ibunya.

Hayya terdiam, lalu beranjak kea rah pintu dan duduk di atas tangga memandang ke halaman rumah panggung itu. Senyumnya layu. Seakan ada isyarat yang telah ia terima dari keghaiban rahasia Tuhan.
“Ibu, ibu kenapa ?”
“Ah tidak. Tidak ada apa-apa”

Dari sisi pembaringan Basyar Gelingang Raya kemudian bangkit mendekati ibunya yang masih duduk memandang keluar. Sejenak terdiam lalu mengusap bahu ibunya dengan tangan kananya.
“Bagaimana jika aku mencari obat penawar ke kota bu”.

Sejenak Hayya menolh kea rah anaknya yang tanpak kelelahan karena sudah bermalam-malam ia kurang tidur untuk menjaga ayahnya.

Tetapi Hayya hanya diam, tetap dengan tatapan kosongnya memandang halaman.
“Mohon doanya bu, besok pagi aku akan berangkat ke kota”, kata Gelingang Raya sambil melepaskan telapak tangannya dari bahu sang ibu.

Segala ramu-ramuan dan obat diusahakan, bahkan Gelingang Raya sempat beberapa kali bolak-balik ke Tampon Ibu Kota Kerajaan Meluem untuk mencari obat penawar. Bertanya kesana-kemari mencari informasi formula pemulih. Sebahagian masyarakat yang ia temui bukan memberi apa yang ia harapkan, justru merasa terkejut sekaligus kagum atas keberanian Basyar ayahnya beradu tuah dengan sang raja rimba.

Ada seorang imam masjid yang ditemui Gelingang Raya di tepi kali yang berseberangan dengan istana kerajaan. Lelaki itu seolah sudah tau apa yang terjadi, ia memanggil Gelingang Raya dari seberang sungai dengan lambaian tangannya yang renta. Isyarat tangan itu begitu tegas dan mengarah hingga Gelingang Raya merasa pasti bahwa dirinyalah yang dimaksud lelaki tua itu.

Ketika tiba di seberang sungai lelaki tua itu justru sudah berada di dalam masjid. Gelingang Raya menghampirinya setelah sebelumnya mengambil wudu, kemudian duduk disampingnya seolah sedang bertahyat akhir dalam sebuah shalat sunat. Agak lama keduanya terlihat diam hingga kemudian lelaki tua itu menepuk bahu Gelingang Raya.

“Ini adalah jalanmu”, celetuk lelaki itu sambil menatap mata Gelingang Raya.
“Ini adalah jalanmu menebus yang tertinggal, mengisi yang kurang dan menyempurnakan yang belum sempurna.

Sejarah selalu berulang pada orang yang berbeda. Maka bawalah air sumur di dalam masjid ini untuk penawar dari apa yang engkau hajatkan”, kata lelaki tua itu seiring menurunkan tangannya dari bahu Gelingang Raya.

Gelingang Raya terdiam mendengar kalimat yang tidak pernah ia dengar sepanjang hidupnya itu. Seketika pula matanya menyisir seluruh ruangan masjid mencari dimana sumur air yang dimaksud. Ada sebuah tiang masjid berdiri agak miring kearah barat, di sampingnya persis terdapat sebuah sumur tua dengan air bening. Ia meraih penciduk air lalu menampungnya secukup yang bisa ia bawa ke Bukit Gentala.

Langkah kakinya mengarah ke pintu keluar untuk bergegas menemui ayahnya yang sedang kepayahan. Tetapi kemudian ia teringat lelaki tua yang telah menasehatinya beberapa waktu lalu di shap shalat terdepan dari masjid itu. Untuk kedua kalinya matanya menyisir seluruh ruangan hingga ke mimbar dimana biasanya sang imam menyampaikan khutbah jumat.

“Kemana kakek yang bersama aku tadi”, bisik Gelingang Raya dalam hati.

Tidak ada yang tampak sedang duduk bertahmit diantara rentangan sajadah-sajadah kecuali tumpukan Alquran yang tersusun rapi di beberapa sudut. Beberapa anak kecil berpeci dan berkain sarung selutut tanpak berlari-ari dengan riangnya diantara tiang-tiang masjid. Tidak ada orang tua atau lelaki yang menyerupai kakek tua yang telah memanggilnya tadi. [SY] Bersambung…

Baca Juga : [Kisah] Putri Burung Mergah Dan Gelingang Raya Bagian. 6

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.