Kunci Perlindungan Satwa ; Koridor, Uning dan Pawang

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Sebagaimana layaknya lalan-jalan di kota maupun desa beserta rambu-rambunya, demikian juga halnya di dalam kehidupan satwa di tengah hutan rimba; mereka punya jalan utama, cabang, ranting bahkan jalan buntu. Bahkan mereka punya halte dan tempat penyediaan perbekalan. Jalan atau lintasan serta perbekalannya itulah dinamakan dengan koridor satwa.

Berdasarkan pengalaman dan kamera trap yang dipasang oleh aktivis lingkungan, para satwa yang melintas pada koridornya tidak pernah bertemu, antara satu satwa dengan satwa lainnya, terutama yang berlainan jenis kecuali “naasnya” atau dianggap “kecelakaan,” bahkan kupu-kupupun aman melintas di koridornya tanpa gangguan satwa lainnya.

Mereka berjalan seperti gugusan tata surya di langit yang tidak pernah bertemu. Di pandang dari sudut naluri keteraturan dalam bergerak dan “memahami rambu-rambu,” sesungguhnya para satwa itu tidak laik disebut liar.

Para satwa itu hidup dengan tertib, sampai ulah manusia memutus koridor satwa yang kemudian menyebabkan mereka tidak terkontrol sehinggga kita menstikmanya mereka menjadi satwa liar. Adapun ulah manusia itu adalah eksploitasi hasil bumi dengan penambangan, pembukaan perkebunan, pembangunan jalan di tengah hutan serta perburuan liar.

Mamalia besar seperti gajah dalam waktu tertentu selalu melewati Koridor Trumon di Aceh Selatan yang menghubungkan Lembah Bengkung di utara dan di Rawa Singkil di selatan yang langsung berbatasan dengan pantai atau laut. Koridor itu sepanjang 2,8 KM dengan luas 2700 hektar. Koridor itu tidak saja dilalui oleh gajah, tetapi juga harimau, beruang madu dan satwa lainnya.

Pergerakan satwa dari satu wilayah ke wilayah lainnya sudah pasti priodesasinya berdasarkan makanan atau perbekalan yang mereka butuhkan, termasuk kemampuan “uning” dalam menyediakan air garam. “Uning” dalam Bahasa Gayo dan “Seunong” dalam Bahasa Aceh serta dalam Bahasa Inggris disebut “Saltlick” adalah sumur di tengah hutan yang airnya terasa asin seperti garam.

Seluruh satwa dari yang terbang maupun yang melata di dalam hutan rimba harus meminum air Uning sebagai keseimbangan emosi dan agar lidah mereka tidak kaku, di samping naluri untuk bertahan hidup, dan pasti banyak manfaat air uning lainnya bagi tubuh dan kelangsungan hidup satwa.

Pemburu liar atau pawang mampu membaca pergerakan satwa melalui keberadaan Uning sehingga mereka memasang jerat di sekitarnya. Lembaga Forum Konservasi Leuser (FKL) sejak tahun 2014-2018 berhasil mengumpulkan 5.529 jerat; rusa, kambing hutan, harimau, gajah dan landak. Sepanjang tahun 2018 dibersihkan 843 jerat, sedangkan sebelumnya pada tahun 2017 diamankan 814 jerat, khusus pada tahun 2019 berjalan sudah diamankan 173 jerat.

Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatraensis)

“Tokoh kunci” perburuan liar adalah para pawang yang mendapatkan ilmunya secara tradisional. Sayangnya berbanding terbalik dengan kondisi luas tutupan hutan yang semakin hari semakin menipis dengan jumlah pawang yang semakin banyak. Pawang pada zaman dahulu berburu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat: seperti hajatan sunat rasul, perkawinan atau menyambut tamu istimewa, sedangkan pawang sekarang sudah merambah ke dunia bisnis illegal, yaitu perdagangan satwa dan jual beli bagian tubuh satwa yang dilindungi; gading gajah, kulit harimau, cula badak dan lain-lain.

Pemerintah atau organisasi lingkungan harus mendata seluruh pawang dan wilayah kerja serta spesialisasinya untuk dilakukan sosialisasi dan pembinaan tentang pentingnya melestariakan satwa dan hutan sebagai habitatnya. Juga penting para pawang diberdayakan ekonominya yang tujuan akhirnya pawang sendiri yang menjaga satwa dan melestarikan hutan di sekitarnya.

Tentu saja kita prihatin dengan pembunuhan satwa melalui perburuan liar, tetapi juga perlu waspada dengan pemusnahan secara massal satwa dengan alih fungsi hutan dengan membuka lahan perkebunan yang luas dan eksploitasi bumi dengan pertambangan. Sehingga perjuangan pembatasan pemberian izin konsesi yang begitu luas kepada corporate harus ditegakan karena jelas sangat mengganggu ekologi hutan sebagai tempat satwa.

Kita apresiasi Komisi II DPRA yang telah menginisiasi pembahasan Rancangan Qanun Tahun 2019 tentang Perlindungan Satwa Liar untuk mengatasi konflik satwa dengan manusia yang rencana penanganannya secara holistik. Tentu saja pembahasannya harus detail tentang perlindungan Koridor, Uning dan Pembinaan Pawang Hutan.

Akhirnya, keberlangsungan hidup satwa tidak cukup dengan qanun perlindungan satwa liar, tetapi juga harus disertai dengan kebijakan dan komitmen bersama untuk melindungi rumah besarnya, yakni hutan.

(Banda Aceh, 23 September 2019)

*Mantan Kepala Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL Wilayah Aceh)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.