Krisis Pemikiran

oleh

Oleh: Husaini Muzakir Algayoni*

Guru besar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Franz Magnis Suseno mengatakan bahwa mempelajari sesuatu tidak sama dengan menganutnya. Magnis Suseno menambahkan bahwa ideologi-ideologi yang dianggap berbahaya bukannya dihadapi secara kritis dan argumentatif, tetapi ditabuhkan dan dimitoskan sehingga kehidupan bangsa tidak dicerdaskan, melainkan dibodohkan.

Jauh sebelum itu, seorang pembaharu Islam bernama Muhammad Abduh menangisi kondisi umat Islam dan keluarlah kalimat sangat terkenal dari ulama terkemuka Mesir ini al-Islamu mahjuubun bilmuslimin (Islam tertutup oleh umat Islam). Abduh menekankan kepada umat Islam agar tidak berpikir jumud, kolot, dan taklid. Oleh karena itu, umat Islam harus menggunakan akal untuk berpikir agar bisa kreatif dalam hidupnya.

Menurut hemat penulis apa yang dikatakan Magnis Suseno dan Abduh di atas telah membawa manusia modern ke jalur krisis pemikiran (berpikiran sempit dan malas berpikir) yang menyebabkan seseorang bersikap fanatik dan berlebih-lebihan dalam memandang sesuatu. Dalam hal ini, Nurcholis Madjid mengatakan bahwa agama Islam menganjurkan untuk tidak berpikiran sempit dan picik, bahkan dianjurkan untuk berpandangan luas.

Berpandangan luas itulah segala problematika dalam kehidupan bisa dihadapi secara kritis dan argumentatif, chaos yang terjadi di tengah-tengah masyarakat maupun di dunia maya (media sosial) disebabkan karena krisisnya pikiran dan seolah-olah paling tahu “sok tahu” sehingga terjadilah debat-debat tidak bermutu.

Tumbuhnya internet dan media menyebarkan informasi dengan segala bentuk, baik bersifat konsruktif maupun destruktif. Media-media menyebarkan infromasi destruktif menyebabkan kekacauan, bagi yang berada dalam krisis pemikiran melahap informasi destruktif dengan melakukan adu domba, menyebarkan fitnah, hoax, memprovokasi massa yang bisa menyulut api permusuhan antar sesama, orang seperti ini merupakan bandit masyarakat di tengah-tengah kehidupan sosial.

Selain itu juga ketika terjadi ikhtilaf (tauhid, fiqih, dan tasawuf) cenderung mengedepankan sikap emosi, klaim kebenaran (truth claim) merasa paling benar dan mudah menyalahkan orang lain dengan letusan kata kafir, bidah, dan sesat.

Sikap-sikap berlebih-lebihan (ghuluw) seperti ini merupakan kesombongan emosi dan intelek. Sebuah ungkapan menyebutkan bahwa “Semakin banyak tahu, maka semakin sulit menyalahkan orang lain.” Bukankah yang mudah menyalahkan berasal dari orang-orang yang berada dalam krisis pemikiran?
Rendahnya Budaya Literasi
Krisis pemikiran disebabkan akal dipasung oleh kejumudan, pikiran sempit, dan minimnya literasi (kurangnya minat baca).

Oleh karena itu, lembaga pendidikan harus menguatkan budaya literasi (literacy culture) kepada siswa di sekolah dan mahasiswa di perguruan tinggi dengan ragam referensi, literasi merupakan kekuatan budaya akademik (academic culture) yang dipraktikkan cendekiawan-cendekiawan (intelektual) muslim pada masa silam dan telah menyinari peradaban dunia Islam dengan khazanah pengetahuan.

Lihat saja yang dilakukan oleh al-Ghazali dalam karyanya Tahafut al-Falasifah mengkritik pemikiran al-Farabi dan Ibn Sina, kemudian Ibn Rusyd mengkritik kembali apa yang ditulis oleh al-Ghazali dalam karyanya Tahafut al-Tahafut. Di Barat ada Pierre Joseph-Proudhon menulis buku Filsafat Kemiskinan, karya Proudhon ini diserang habis-habisan oleh Karl Marx dalam bukunya Kemiskinan Filsafat. Di Indonesia buku Harun Nasution Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya dikritik oleh HM Rasjidi dalam tulisannya Koreksi Terhadap Harun Nasution.

Praktik di atas berasal dari insan yang paham dan tahu karena mempunyai pemikiran yang luas, manakala tidak setuju dengan pendapat “seseorang” maka dilakukan kritikan dalam bentuk tulisan atau dengan dialog. Berbeda halnya pada zaman kacau ini yang dipenuhi dengan sifat amarah, literasi yang minim tetapi membully, menghina, dan sok tahu di media sosial (medsos) tanpa mengetahui dasar dan pokok permasalahannya; hanya sekedar membaca judul besar dari berita atau tanpa memverifikasi apakah berita tersebut fakta atau hoax.

Hak ingin tahu dan manusia mempunyai rasa ingin tahu yang kuat maka mencari tahu dengan meningkatkan dan menguatkan budaya literasi agar terhindar dari krisis pemikiran, Magnis Suseno berpendapat bahwa “Pembodohan tidak pernah dapat memajukan sebuah bangsa, salah satu hak asasi terpenting manusia adalah hak atas informasi, hak untuk mengetahui apa yang ingin diketahuinya.”

Perbedaan orang paham dan tahu dengan orang yang berada dalam krisis pemikiran adalah orang paham berpikir sebelum berbicara sementara krisis pemikiran dengan lidahnya yang tajam berbicara terlebih dahulu sebelum berpikir, orang seperti ini hanya bisa mengutuk keadaan dan memprovokasi massa. Krisis pemikiran juga lebih mempercayai dan mau dibodohkan oleh berita-berita hoax dan dishare dengan bangga.

Oleh karena itu, sudah waktunya untuk bangkit dari krisis pemikiran atau hijrah pemikiran dari kedunguan, kejumudan, pikiran sempit, dan malas berpikir menuju pikiran dan daya imajinasi yang tajam dengan melengkapi alat intelektual berupa menguasai disiplin ilmu yang dipelajari sembari menyelam dan mencari tahu pengatahuan lain untuk membuka wawasan dan pikiran dengan berbagai ragam referensi.

Zaman modern memiliki beberapa istilah yang diutarakan oleh beberapa orang, seperti penulis dari India, Pankaj Mishra menyebutnya sebagai abad kemarahan, reporter Marilyn Ferguson menyebutnya sebagai zaman aquarian dan penulis sendiri menyebutnya sebagai zaman lidah, di mana zaman yang mengutamakan ketajaman lidah daripada mengasah ketajaman berpikir. Nah!

*Penulis, Kolumnis LintasGAYO.co

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.