Apa Itu Tasawuf Sunni-Falsafi?

oleh

Oleh: Husaini Muzakir Algayoni*

Hasan al-Bashri, Rabiáh al-Adawiyah, Abu Yazid al-Bustami, al-Hallaj, al-Ghazali, Ibn Arabi, Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani hingga Nuruddin ar-Raniry adalah sufi-sufi ternama dalam sejarah pemikiran Islam. Sama-sama sufi, dalam praktiknya mempunyai pemikiran dan aliran yang berbeda. Dari sekian banyak pemikiran para sufi menjadikan betapa luasnya ilmu pengetahuan yang harus dipelajari oleh manusia, salah satunya adalah ilmu tasawuf.

Apa itu tasawuf? Secara etimologi dan terminologi definisi tasawuf, banyak rujukan yang disampaikan oleh para ahli. Namun, pada intinya tasawuf terkait dengan kata shafa’ yang berarti suci. Pada gilirannya, bermuara pada ajaran Alquran tentang penyucian hati. Sufi hidup dalam hubungan saling cinta dengan Allah Swt, atas hubungan inilah yang menyebabkan tasawuf juga disebut sebagai mazhab cinta.

Tasawuf merupakan praktik spiritual yang bersifat individu, objek pembahasannya pun tertuju pada hati dan jiwa. Karena itu, tasawuf merupakan pembahasan dalam konteks perasaan yang rumit untuk dipahami; dalam hal ini hubungan sufi dengan Allah Swt dan setiap sufi mempunyai ciri khas, pemikiran dan praktik yang berbeda-beda dalam bertaqarrub kepada Allah Swt atau dalam istilah Haidar Bagir dengan sebutan perasaan-perasaan atau pengalaman-pengalaman keagamaan.

Sufi abad pertama dan kedua hijriah misalnya, Hasan al-Bashri (642-728 M), ajaran tasawufnya adalah al-khauf dan al-raja’. Rabi’ah al-Adawiyah (714-801 M) ajarannya yang sangat terkenal mahabbah. Ciri khas selanjutnya pada sufi abad ketiga dan keempat hijriah yaitu Abu Yazid al-Bustami dengan al-Ittihad dengan teori fana dan baqa, dan ajaran tentang hulul dengan teori al-lahut dan al-nasut yang dirumuskan oleh al-Hallaj.

Begitu juga dengan sufi di Aceh, tak asing lagi dengan nama Hamzah Fansuri dan Nuruddin ar-Raniry yang mempunyai pemikiran dan ajaran yang berbeda, setiap abad (periode) lahir para tokoh/sufi dan ajarannya mempunyai corak khas/karakteristik masing-masing. Disini penulis membahas secara singkat perbedaan dan persamaan corak-corak tasawuf tersebut dengan harapan dan tujuan bisa mengetahui serta memahami perbedaan dan persamaannya, sehingga tidak mudah menyalahkan atau menyesatkan para sufi dengan perasaan keagamaannya.

Ajaran kaum sufi pada abad pertama dan kedua hijriah bercorak akhlaki atau sunni yang fokusnya pada pendidikan moral dan mental dalam rangka pembersihan jiwa dan raga dari pengaruh duniawi. Menurut al-Taftazani sampai akhir abad kedua hijriah belum dapat dipandang sebagai para sufi karena lebih tepat disebut dengan zahid (orang yang bersikap zuhud) nasik, (orang yang tekun beribadah), qari’ (orang yang senang menghabiskan waktunya untuk membaca dan mempelajari Alquran).

Ajaran kaum sufi pada abad ketiga dan keempat hijriah menurut Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) ilmu tasawuf berkembang dan telah menunjukkan isinya yang dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu ilmu jiwa, ilmu akhlak dan ilmu tentang yang gaib (metafisika). Pada abad ini, pembahasan tasawuf lebih bersifat filosofis karena pembahasannya meluas ke masalah metafisika yang menyangkut pembahasan tentang hakikat manusia dan Tuhan.

Pada abad kelima hijriah para tokoh tasawuf mengembalikan tasawuf ke landasan Alquran dan sunnah (tasawuf sunni) karena tasawuf falsafi dipandang telah menyimpang dan pada abad keenam tasawuf falsafi muncul kembali dalam bentuknya yang lebih sempurna. Tasawuf sunni memperoleh puncaknya pada sufi al-Ghazali dengan ajarannya ma’rifah dan tasawuf falsafi mencapai puncaknya pada sufi Ibn Arabi (kombinasi antara filsuf dan sufi) yang meletakkan paham wahdatul wujud (kesatuan Eksistensi).

Mengaji tasawuf seperti pemikiran Ibn Arabi harus dengan kepala dingin dan memahami betul-betul corak yang ada dalam tasawuf sehingga tidak tersulut kata-kata sesat. Sebagaimana seorang ahli tasawuf William Chittick, mengatakan bahwa membahas pemikiran-pemikiran Ibn Arabi, menyebutnya sebagai hermeneutika kasih sayang (hermeneutics of mercy).

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tasawuf terbagi dalam dua aliran yaitu tasawuf sunni dan tasawuf falsafi. Apabila dibandingkan antara konsep-konsep tasawuf sunni dengan falsafi, ditemukan sejumlah kesamaan yang prinsipil di samping perbedaan-perbedaan yang cukup mendasar. Nah, apa persamaan dan perbedaan tasawuf sunni dan falsafi?

Kedua aliran sama-sama mengakui ajarannya bersumber dari Alquran dan sunnah serta sama-sama mengamalkan Islam secara konsekuen, adapun perbedaan yang jelas di antara kedua aliran tampak pada tujuan “antara” yaitu maqam (maqamat bentuk jamak dari maqam, adapun maqam berarti tahap, stasiun atau tanjakan yang harus ditempuh oleh seorang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah Swt) tertinggi yang dapat dicapai seorang sufi.

Adapun maksud tujuan “antara” adalah terciptanya komunikasi langsung antara sufi dengan Tuhan dalam posisi seakan tiada jarak lagi antara keduanya. Dalam memberi makna terhadap posisi “dekat tanpa jarak” inilah terdapat perbedaan mendasar antara kedua aliran ini. Tasawuf sunni berpendapat bahwa antara makhluk dengan Khalik tetap ada jarak yang tak terjembatani sehingga tidak mungkin tumbuh karena keduanya tidak seesensi. Sementara tasawuf falsafi, dengan tegas mengatakan manusia seesensi dengan Tuhan karena manusia berasal dan tercipta dari esensi-Nya. Oleh karenanya, keduanya dapat berpadu apabila kondisi untuk itu telah tercipta.

Perbedaan dan persamaan tasawuf sunni-falsafi, sebagian dari umat Islam tidak memahami dan tidak mengetahui secara mendalam, baik dari sejarah perkembangannya, tokoh/sufi dan ajaran-ajarannya sehingga mudah menuduh sesat dan menyesatkan. Mudah menuduh sesat merupakan bom waktu bagi umat Islam yang siap menghancurkan persaudaraan sesama umat Islam. Karena itu, menurut hemat penulis alangkah bijaknya kita membaca, mempelajari, dan mengkaji tasawuf secara mendalam.

Walaupun begitu mengaji tasawuf harus dibimbing oleh guru atau mursyid, khususnya kajian-kajian tasawuf falsafi yang mengarah pada ungkapan-ungkapan ekstatik (syathahat) atau ungkapan-ungkapan aneh dari sufi seperti pada ajaran al-Hallaj dengan al-Hululnya. Nah, selamat membaca dan memperkaya khazanah pemikiran Islam dari berbagai rujukan dan sumber karena ilmu pengetahuan itu luas.

Tulisan-tulisan lain yang bertemakan tasawuf bisa dibaca di kolom opini dengan judul berikut ini: Panorama Pemikiran Islam, Sufisme Cinta Rabiáh al-Adawiyah, Sufi al-Hallaj; Syahid Mempertahankan al-Hulul, Jalaluddin Rumi Sang Penyair Sufi Ternama, Bom Penghancur: Kafir, Bidah dan Sesat.

Bahan Bacaan:
Haidar Bagir. Islam Tuhan, Islam Manusia: Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau. Bandung: Mizan, 2018.
Damanhuri. Akhlak Tasawuf. Banda Aceh: PeNA, 2010.
Asmaran As. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
A. Rivay Siregar. Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Ne-Sufisme. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

*Penulis: Kolumnis LintasGAYO.co

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.