Kapitalisme Dibalik Kemerdekaan Indonesia

oleh

Oleh : Melia Anisa Sa’diyah, SE*

Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati mencetuskan tagline “bayar pajak semudah isi pulsa” pada 2 Agustus 2019 yang dikutip oleh detik.com. Tagline ini muncul dikarenakan banyak orang yang menyembunyikan hartanya agar tak dikenai pajak. Bahkan ada upaya pengakalan pajak seperti tax avoidance dan tax evasion yang menyebabkan penerimaan pajak tidak sesuai target APBN. Untuk itu, Indonesia telah bergabung dalam pertukaran data perpajakan secara otomatis atau Automatic Exchange of Information (AEoI) untuk terus memonitori pemilik harta banyak agar tak luput dari incaran pajak. (detik.com)

Dalam membiayai pembangunan negara, ada tiga sumber pendapatan yakni pajak, non pajak dan hibah. Pajak menempati urutan pertama. Pada tahun 2017, pemerintah berhasil mengumpulkan pajak sebesar Rp1.147,5 triliun atau sekitar 89,4% dari target APBN. Sedangkan tahun 2018 meningkat menjadi Rp1.315,9 triliun atau 92% dari APBN. (cnbcindonesia.com) Artinya ada upaya pemerintah menggenjot agar total penerimaan pajak sesuai dengan target APBN. Termasuk direalisasikannya tagline mudahnya membayar pajak yang telah bekerjasama dengan e-commerce Tokopedia dengan harapan penerimaan pajak mencapai 100% dari target APBN di tahun 2019.

Kapitalisme Menjadikan Rakyat sebagai Objek Pemerasan

Di tengah meriahnya persiapan menyambut kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ke-74 pada 17 Agustus 2019 mendatang, ternyata penerapan ekonomi kapitalisme semakin mencekik rakyat. Pasalnya dari tahun ke tahun pajak tetap dijadikan sebagai sumber pendapatan utama dalam pembiayaan pembangunan negara meski itu membebani rakyat. Tampaknya yang dinyatakan tokoh besar Amerika Serikat era 1700an, Benjamin Franklin itu benar adanya bahwa karakteristik sistem ekonomi kapitalis pasti akan memajak rakyatnya. Jelas ini bukan makna merdeka bagi rakyat tapi kesengsaraan yang dibalut manis oleh kemerdekaan semu.

Jika kita berpatokan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), merdeka dimaknai bebas dari penghambaan, tidak terjajah dari/oleh apapun, terlepas dari tuntutan, tidak terikat serta tidak bergantung pada orang/pihak tertentu. Tapi jika negara tetap memalak rakyat dengan menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama dalam pembiayaan pembangunan, maka bisa dikatakan rakyat Indonesia belum merdeka. Karena rakyat tetap merasa terbebani, tercekik, dan bagaikan anak tiri di negeri sendiri. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2016, jumlah penduduk miskin sebesar 27,76 juta orang. Maret tahun 2017 meningkat menjadi 27,77 juta orang. Dan Maret 2018 terdapat 25,95 juta orang miskin. Artinya angka fluktuatif itu tetap menunjukkan kemiskinan Indonesia diatas 20 juta orang. Dan bisa dibayangkan jika mereka tetap di bebani pembayaran pajak dengan nominal yang juga fluktuatif pada sektor tertentu.

Negeri ini kaya tapi untuk sekedar menikmatinya ada tarif yang harus dibayarkan. Tak peduli mampu atau tidak. Intinya penerimaan pajak harus mencapai target APBN. Subhanallah zalim yang keterlaluan. Padahal banyak sektor yang dapat dikelola negara untuk memenuhi pembiayaan pembangunan selain dari pajak. Pengelolaan semacam inilah yang dinamakan pengelolaan ala ekonomi kapitalis. Kondisi diatas juga menjadi gambaran bahwa kemerdekaan Indonesia sebenarnya adalah kemerdekaan semu yang diberikan penjajah. Nyatanya, Indonesia masih terjajah meski bukan secara fisik tapi secara kebijakan yang terus membebek kepada asing. Jadi patut dipertanyakan makna “kemerdekaan” yang dimaksud yang seperti apa.

Sistem Ekonomi Islam Menyejahterakan Rakyat

Allah SWT berfirman,

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Artinya : “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al Maidah : 44)

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Artinya : “Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah : 45)

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Artinya : “Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Maidah : 47)

Dan Allah SWT juga berfirman,

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ.

Arrinya : “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik” (QS. Al Maidah : 49).

Ayat-ayat diatas memerintahkan seluruh kaum muslim untuk tidak mengambil hukum selain hukum daripada Allah SWT. Termasuk hukum dalam pengelolaan perekonomian negara, juga tidak boleh terlepas dari kewajiban tunduk pada syariat-Nya. Terlebih para penguasa negeri ini adalah muslim. Maka seharusnya dalam mengeluarkan kebijakan juga terikat oleh seluruh aturan Islam tanpa pilih-pilih, di belahan bumi manapun dia berada.

Dalam kitab Al Amwal Fii Daulah Al Khilafah (Sistem Keuangan Negara Khilafah) Syekh Abdul Qadir Zallum menjelaskan ada 12 jenis sumber pemasukan negara yang dapat dikelola untuk pembiayaan pembangunan dalam rangka menyokong perekonomian negara, yaitu 1) Anfal, Ghanimah, Fa’i, dan Khumus; (2) Al Kharaj; (3) Al Jizyah; (4) Macam-macam harta milik umum; (5) Pemilikan Negara berupa tanah, bangunan, sarana umum dan pemasukannya; (6) Al Usyur; (7) Harta tidak sah para penguasa dan pegawai, harta yang didapat secara tidak sah dan harta denda; (8) Khumus rikaz (barang temuan) dan tambang; (9) Harta yang tidak ada pewarisnya; (10) Harta orang yang murtad; (11) Zakat; dan (12) Pajak sebagai alternatif terakhir saat Baitul Maal kosong atau tidak mampu lagi memenuhi seluruh kebutuhan rakyat. Setelah 11 sumber pemasukan diatas telah diupayakan maksimal oleh negara. Dan pajak ini hanya ditarik dari kalangan orang kaya saja bukan seluruh rakyat.

Begitulah syariat Islam mengatur pos pemasukan negara, agar perekonomian tetap stabil dan rakyat juga merasakan kesejahteraan nyata tanpa harus merasa terbebani biaya pajak. Dengan begitu tidak ada pihak yang terzalimi.
Wallahu a’lam

*Aktivis Muslimah Peduli Negeri

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.