TAKENGON-LintasGAYO.co : Sejumlah tokoh dan budayawan Gayo terlibat perdebatan dan diskusi hangat dalam acara Focus Grup Discussion (FGD) tentang Rancangan Qanun (Raqan) Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) dengan unsur Pemerintah Aceh yang diwakili olah Kepala Bidang Sejarah dan Nilai Budaya serta staf dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Aceh, Rabu 7 Agustus 2019.
Salah seorang peserta FGD Salman Yoga S memberi masukkan serta kritik tajam terhadap Rancangan Qanun Pekan Kebudayaan Aceh (PKA).
Menurut akademisi dan budayawan itu ada sejumlah poin yang harus ditinjau dan dikaji ulang secara matang agar tidak menjadi bumerang dalam keberagaman dan kekayaan budaya di Provinsi Aceh.
“Sejumlah pasal yang terkandung dalam Rancangan Qanun Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) terlihat sangat diskriminatif dan memunculkan kesenjangan antara Kabupaten/Kota dan Provinsi. Seharusnya pihak provinsi (dalam hal ini sebagai pelaksana PKA) lebih akomodatif dan bersikap adil terhadap seluruh wilayah. Bukan sebaliknya,” kata Salman.
Lebih lanjut tanggapan dan usul Salman Yoga terhadap rancangan qanun tersebut adalah bukan pada bentuk regulasinya, tetapi pada Undang-Undang Kebudayaan No. 5 Tahun 2017 yang belum mempunyai turunan di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.
“Turunan Qanun tersebut sangat penting dalam konteks pelestarian, penggalian bahkan penghargaan terhadap kekayaan budaya daerah. Selayaknya justru Qanun PKA mengacu pada UU tersebut, karena PKA sendiri adalah sebuah even,” jelasnya.
“Dikhawatir jika sebuah even tingkat provinsi di qanunkan maka aka nada even-even lain lain yang juga harus punya qanun. Ini artinya bukan memajukan dan mengembangkan seni budaya daerah tetapi justru sebaliknya. Hemat saya yang utama ya Qanun Kebudayaan dan Kesenian Aceh, sehingga segala even seni dan budaya yang ada bahkan para pelaku dan senimannya dapat berpayung di bawahnya,“ tambahnya.
Menurut Salman jikapun rancangan qanun ini nantinya dapat diterima secara luas hendaknya Provinsi dapat bersifat adil dan akomodatif. Artinya pelaksanaan PKA dapat digilir disejumlah Kabupaten/Kota sebagai tempat pelaksanaan, bukan hanya di Ibu Kota Provinsi saja, kata Salman yang mengaku sudah mewacanakan hal ini sejak PKA ke 6 tahun 2009.
“Pelaksanaan bergilirnya tentu sangat teknis, ya bisa saja empat atau beberapa bentuk perhelatan budayanya dilangsungkan di beberapa kabupaten berbeda, sementara acara utamanya tetap di Ibu Kota Provinsi.
“Sehingga dalam waktu dan even budaya yang sama sejumlah kabupaten lainnya juga akan turut bergeliat secara estetika dan fasilitas yang mendukung. Hal ini positif bukan saja dari segi sirkulasi, interaksi manusia dan budaya tetapi juga dari segi transformasi nilai-nilai kearifan lokal, ekonomi juga parawisata,” jelasnya.
Hal lain yang dikritisi oleh Salman adalah adanya pasal dan bab khusus dalam rancangan Qanun PKA yang sangat disayangkan dari segi penunjukkan tempat (fasilitas publik), wilayah, juga nama tokoh yang dinisbatkan pada sesuatu. Hal ini bukan saja tidak bijak tetapi juga pengkultusan yang bukan pada maqamnya.
Selain hal tersebut Salman juga mengusulkan penambahan sejumlah item PKA yang berkaitan langsung dengan kebudayaan dan kesenian masyarakat yang menurutnya pada tahun 2018 justru dihilangkan.
[Darmawan]