Istilah “Rabu Nas” Dalam Masyarakat Gayo

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Ini bukan hasil penelitian, tetapi hanya pengalaman pribadi dan juga menjadi kehati-hatian masyarakat pedalaman. Terutama masyarakat Samarkilang, Kecamatan Syiah Utama, Kabupaten Bener Meriah.

Kehati-hatian itu penting berdasarkan pengetahuan tentang kalender Arab atau penanggalan hijriah, yakni penghitungan bilangan hari yang dimulai sejak Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekkah Al Mukarramah ke Madinah Al Munawwarah.

“Hijrah” ditamsilkan dengan perubahan prilaku dari maksiat kepada ketaatan. Bagi perempuan disertai baju gamis dan jilbab panjang dan lelaki mulai memelihara jenggot dan mengenakan celana panjang di atas mata kaki dan dahinya mulai menghitam. Prilaku itu sebagian orang menyebutnya dengan “hijrah.”

Ternyata, hari-hari dari tujuh hari selama sebulan dalam penanggalan hijriyah ada yang berbeda “tingkat kesialannya” yakni, “Rabu terakhir” atau disebut “Rabu Nas.” Hari Rabu kemarin, 27 Dzulqaidah 1440 H merupakan “Rabu Nas.”

Penamaan “Rabu Nas” berasal dari ungkapan “Rabu Naas,” di mana pada hari tersebut kalau sial menjadi sial yang bertimpa-timpa, kalau luka sangat sakit dan lukanya lama sembuh dan kalau sembuh akan berbekas, bagi suami istri yang mengucapkan kata “cerai” maka akan terwujud, dan seterusnya.

“Rabu Nas” merupakan hari yang sangat mudah terwujudnya do’a dan harapan tidak baik. Apa penyebabnya di hari tersebut mudahnya berlaku kesialan belum ada penjelasan pastinya. Hanya saja para orang tua memastikan pengawasan pada anaknya untuk tidak bermain yang membahayakan. Bahkan sebagian dari mereka merasa lebih baik berdiam di rumah atau memperbanyak dzikir.

Dedaunan yang gatal seperti jelatang lebih gatal dari hari-hari biasa; “jelatang rusa” yang tingkat gatalnya lebih rendah dibandingkan gatalnya “jelatang gajah” pada hari “Rabu Nas” bisa segatal “jelatang gajah”, apalagi jika terkena “jelatang gajah” bisa demam berhari-hari. Demikian juga bisa atau racun binatang seperti ular, semut api, lebah lebih berbisa dan beracun pada hari “Rabu Nas” bahkan terkena duri yang sangat haluspun terasa sangat sakit.

Tulisan ini hanya berbagi pengalaman agar kebaikan di dunia ini membumi, terutama bagi aktivis atau pekerja sosial yang lebih banyak berhubungan dengan alam lingkungan serta penyandang masalah sosial agar pada “Rabu Nas” meningkatkan kewaspadaan dan memperbanyak do’a dan dzikir dalam menjalankan aktivitasnya.

(Mendale, 28 Dzulqaidah 1440 H)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.