Ikan Depik: Prediksi Panen di Tengah Perubahan Iklim

oleh
Nelayan Ikan Depik di Danau Lut Tawar. (Wein Mutuah)

Oleh : Yopi Ilhamsyah*

Ikan Depik (Rasbora tawarensis) yang secara ukuran sebesar ikan teri merupakan ikan lokal (endemik) yang berhabitat di Danau Laut Tawar, Takengon Provinsi Aceh. Takengon adalah ibu kota Kabupaten Aceh Tengah yang terkenal dengan produksi kopi terbaik dunia. Danau Laut Tawar terletak di Dataran Tinggi Gayo dikelilingi oleh daerah pegunungan dengan ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut. Danau ini meliputi area seluas 5.472 hektar dengan panjang 17 km dan lebar 3,219 km. Wilayah terdalam tercatat sekitar 50 meter. Danau ini adalah salah satu tempat wisata favorit di Aceh sementara Depik sering diolah menjadi masakan tradisional Aceh Tengah seperti halnya ikan Bilih di Minangkabau.

Menurut masyarakat setempat yang diperoleh dari literasi, Depik adalah ikan musiman yang banyak dijumpai saat musim hujan tiba, ditandai dengan kondisi iklim yang berubah, seperti cuaca yang lebih dingin disertai berbaliknya sirkulasi angin dan kadang diikuti gerimis atau hujan. Angin dingin ini berasal dari sirkulasi muson timur laut yang membawa banyak uap air ketika memasuki musim penghujan. Selain itu, gerimis merupakan indikator awal masuknya musim hujan.

Prof. Muchlisin dari Universitas Syiah Kuala Banda Aceh yang menerbitkan banyak makalah tentang spesies ini mengungkapkan bahwa musim hujan adalah lingkungan yang mendukung Depik untuk bertelur (atau berkembang biak) di mana pada kondisi ini, suhu air turun namun volume air meningkat. Karena kondisi tersebut, Depik akan bermigrasi ke hulu sungai di sekitar Danau Laut Tawar dan memijah di sana. Dia menjelaskan hubungan antara hujan dan sifat genetik Depik dan menemukan bahwa puncak aktivitas reproduksi terjadi pada bulan September dan juga menghubungkan aktivitas tersebut dengan musim panen awal, yang mencapai puncaknya pada musim hujan.

Berdasarkan nelayan lokal dan dikonfirmasi oleh Dr. Muchlisin, tangkapan Depik terus menurun karena berkurangnya jumlah ikan yang bermigrasi hulu. Intensitas hujan yang lebih rendah serta penurunan ketinggian air bertanggung jawab terhadap kejadian ini. Nelayan juga mengeluh tentang kondisi iklim saat ini yang tidak terduga. Mereka mengaitkan masalah ini dengan dampak perubahan iklim, dan juga berasumsi bahwa tidak bermigrasinya Depik ke hulu boleh jadi dikarenakan belum datangnya musim hujan.

Secara klimatologis, Danau Laut Tawar termasuk dalam wilayah iklim pegunungan dengan karakteristik sebagai berikut,

• rata-rata curah hujan tahunan 2.000 milimeter,
• curah hujan maksimum pertama jatuh pada November (317 milimeter),
• curah hujan maksimum kedua terjadi pada bulan April (234 milimeter),
• curah hujan minimum pada bulan Juni.

Curah hujan rata-rata menjadi ambang batas untuk kondisi curah hujan normal di danau yang dapat diimplementasikan sebagai indikator musim pemijahan dan panen Depik berdasarkan awal masuk musim hujan.

Karena berbatasan langsung dengan Samudera Hindia yang luas di barat, variabilitas iklim di Aceh, termasuk Danau Laut Tawar, terutama curah hujan sangat dipengaruhi oleh dominasi faktor-faktor non-musiman, seperti modus dipol Samudera Hindia, sebuah anomali iklim layaknya El Niño dan Osilasi Selatan di Pasifik. Jika anomali suhu permukaan laut di tropis barat Samudera Hindia lebih tinggi (dipol positif), kondisi ini menyebabkan curah hujan tinggi di pantai timur Afrika dan rendah di bagian barat Indonesia, termasuk Aceh, yang berdampak timbulnya bencana kekeringan. Sebaliknya, dipol negatif akan menyebabkan wilayah Aceh mengalami hujan lebat. Dua kejadian ini dapat mengurangi kualitas air di Danau Laut Tawar, berdampak terhadap kelangsungan Depik. Selain itu, penyimpangan variabilitas iklim akibat dipol ini dapat menyebabkan musim hujan bergeser dan berubah secara waktu dan jumlahnya, berdampak pada mundur dan majunya musim pemijahan yang juga merupakan tanda dimulainya musim panen Depik. Karena perubahan iklim benar-benar terjadi saat ini, diperkirakan dipol ini akan lebih sering terjadi.

Manajemen risiko iklim melalui pemanfaatan informasi iklim yang tepat serta mudah diakses oleh nelayan menjadi alat yang berguna dalam membantu nelayan, khususnya dalam penjadwalan awal masuk musim hujan yang identik dengan musim panen. Nelayan dibantu oleh penyuluh perikanan dapat menghubungi Badan Cuaca seperti BMKG atau pemerintah daerah untuk mendapatkan data iklim serta produk lainnya. Data curah hujan harian diakumulasikan ke dalam dekad (curah hujan kumulatif sepuluh hari) untuk memprediksi awal masuk musim hujan. Menurut klasifikasi BMKG, jika ketinggian dekad di musim hujan melebihi 50 milimeter dan berlangsung selama dua dekad berturut-turut, musim hujan telah tiba. Di sisi lain, jika ketinggian dua dekad berturut-turut di musim hujan kurang dari 50 mm, musim hujan berakhir. Di Indonesia, BMKG membagi awal masuk musim hujan menjadi 36 dekad dalam setahun.

Untuk menentukan dampak anomali iklim terhadap variabilitas curah hujan serta korelasinya, data harian yang diakumulasikan menjadi hujan bulanan jangka panjang diplot dengan indeks dipol yang dapat diakses di http://www.jamstec.go.jp/aplinfo/sintexf/iod/dipole_mode_index.html. Dipol ini dihitung berdasarkan perbedaan anomali suhu permukaan laut antara Samudera Hindia bagian barat dengan timur. Biasanya, awal masuk musim hujan jatuh pada dekad ke-25 (awal September). Jika terjadi anomali iklim di mana dipol pada Agustus berada di atas normal (lebih besar dari 0,5 derajat celcius), awal masuk musim hujan diprediksi akan mundur.

Cara lain adalah penyuluh perikanan dan nelayan dapat mengikuti kursus lapang iklim, yang diselenggarakan oleh BMKG bekerja sama dengan dinas pemerintahan setempat. Dengan bertambahnya pengetahuan iklim, para nelayan dapat menyusun strategi awal untuk mengoptimalkan produktivitas di musim hujan, sehingga musim panen dapat dikelola dengan baik, yang berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, termasuk nelayan di sekitar Danau Laut Tawar Takengon.

*Penulis adalah mahasiswa program Doktor Klimatologi Terapan IPB dan Dosen Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala. 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.