[Bag.6] Bupati Shabela Tak Sampai ke Batas ; Sandiwara Ala Awan Prado

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Awan Prado adalah salah seorang hamba yang dimuliakan Allah. Ciri-cirinya adalah keengganan kita menambalkan kata “almarhum” padanya, walaupun beliau sudah meninggal dunia. Terasa janggal di gerbang telinga kalau kita sebut, “Almarhum Awan Prado.”

“Awan Prado tidak ada matinya” kata seorang kawan. Betapa tidak, beliau bukan saja memiliki ilmu kancil, yakni pura-pura mati, tetapi cerita Awan Prado tetap aktual sampai saat ini.

Salah satu kisah Awan Prado adalah apa yang kita sebut sebagai “Sandiwara ala Awan Prado” begini ceritanya; Ketika “musim depik,” antara bulan September dan Desember, “ikan depik” yang endemik di danau Lut Tawar, pada masa itu muncul ke permukaan dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dari bulan antara Januari sampai Agustus.

Para nelayan beramai-ramai turun melaut menangkap ikan depik dengan “doran,” “didisen,” dan “cangkul.” Awan Prado-pun ikut ambil bagian sebagaimana nelayan di dataran tinggi Gayo lainnya.

Awan Prado bersama seorang kawannya mengayuh sampan kecil dari Kebayakan dan tiba di kawasan Ujung Nunang daerah Toweren. Dalam perjalanan mencari peruntungan, Awan Prado yang perokok berat itu, kehabisan tembakau. Sementara terpaan “angin depik” mulai menusuk tulang.

Menghisap rokok salah satu cara menyeimbangkan anasir empat (tanah, air, angin dan api). Kalau tubuh kita dingin berarti unsur api kurang karena itu harus diantisipasi dengan rokok. Awan Prado sadar akan hal itu, disamping merokok adalah praktek zikir Hasan Husen (lain waktu kita bahas tentang zikir ini).

Awan Prado mencium aroma tembakau masyarakat di sekitar kawasan Ujung Nunang.
Bukan Awan Prado namanya kalau kehabisan akal untuk mendapatkannya, maka merekapun membuat sandiwara berdasarkan skenario yang sudah disusun rapi sedemikian rupa.

Di atas sampan kecil itu mereka berkelahi; saling tuduh, saling menyalahkan dan saling pukul. Sampan kecil itupun semakin oleng. “Kamu yang habiskan tembakau saya” teriak Awan Prado mengarahkan jari telunjuknya dengan bengis kepada kawannya.

Tidak mau kalah, kawannya kembali menunjuk Awan Prado, “Saya lihat kamu yang membuangnya ke laut tadi, teganya kamu menuduh saya” sambil memukul Awan Prado. Tidak puas saling pukul dengan tangan kosong, mereka pun saling pukul dengan dayung yang terbuat dari kayu medang jempa.

Masyarakat yang menyaksikan mulai sadar bahwa perkelahian Awan Prado dengan kawannya karena tembakau. Mereka berusaha meredamnya, “Teungku…Teungku…jangan lagi berkelahi, kami sudah siapkan tembakau untuk tengku-teungku” bujuk salah seorang masyarakat agar mereka berhenti berkelahi.

Seketika Awan Prado dan kawannya berhenti berkelahi dan menerima tembakau masyarakat yang lumayan banyak. Setelah mengucapkan terima kasih Awan Prado mengerlingkan matanya kepada kawannya sebagai isyarat segera mengayuh perahunya ke tengah danau untuk melanjutkan mencari ikan depik.

“Sandiwara ala Awan Prado” inilah yang sedang dipraktekkan oleh Shabela. Seolah-olah “Bang Bela” sedang berkonflik dengan pihak “Empat penjuru mata angin” tetapi itu hanya alih perhatian dari hegemoni nepotisme dalam mengumpulkan pundi-pundi.

(Memdale, 21 Juni 2019)

Baca Juga :

[Bag.1] Bupati Shabela Tak Sampai Ke Batas ; Do’a Hampir Sampai Ke Langit Ke-7

[Bag.2] Bupati Shabela Tak Sampai Ke Batas : Malang Nian Nasib Kucing Angora

[Bag.3] Bupati Shabela Tak Sampai Ke Batas : Bersedekah Kepada Syetan

[Bag.4] Bupati Shabela Tak Sampai Ke Batas ; Dendam Anjing Kepada Rusa

[Bag.5] Bupati Shabela Tak Sampai Ke Batas ; Kuur Semangat

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.