Mendorong Kemandirian Ekonomi Petani dengan BUMD Pertanian di Aceh Tenggara

oleh

Oleh : Ardiansyah Putra*

Kabupaten Aceh Tenggara adalah salah satu kabupaten di provinsi Aceh, Indonesia. Ibukotanya adalah Kutacane. Kabupaten ini berada di daerah pegunungan dengan ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut, yang merupakan bagian dari pegunungan Bukit Barisan. Taman Nasional Gunung Leuser yang merupakan daerah cagar alam nasional terbesar terdapat di kabupaten ini. Pada dasarnya wilayah Kabupaten Aceh Tenggara kaya akan potensi wisata alam, salah satu diantaranya adalah Sungai Alas yang sudah dikenal luas sebagai tempat olahraga Arung Sungai yang sangat menantang. Secara umum ditinjau dari potensi pengembangan ekonomi, wilayah ini termasuk Zona Pertanian. Potensi ekonomi daerah berhawa sejuk ini adalah padi, kakao, kembiri, rotan, kayu glondongan, ikan air tawar dan hasil hutan lainnya. (Sumber : Wikipedia.com)

Infomasi tersebut menggambarkan bahwa potensi pertanian adalah penggerak dasar ekonomi masyarakat pada umumnya. Persoalan mendasarnya adalah dengan potensi-potensi tersebut belum dapat dikelola oleh pemda Aceh Tenggara dengan baik, bahkan pasca disahkannya UUD No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, pelaksanaan otonomi daerah seharusnya merupakan titik fokus daerah untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat, dimana daerah otonomi berhak mengelola daerahnya sendiri dengan kekhasan potensi daerah. Ini kesempatan yang sangat baik bagi pemerintah daerah untuk membuktikan kemampuan dalam melaksanakan kewenangan mengelola daerah, dengan ini akan terlihat bahwa maju mundurnya daerah terletak pada kemampuan dan memauan pemerintah daerah dalam melaksanakan kewenangan daerah otonomi untuk melangkah maju kedepan demi kesejahteraan masyarakat.

Kembali kita melihat Kabupaten Aceh Tenggara, dimana potensi SDA sangat luar biasa bila dikelola dengan baik, khususnya potensi hasil pertanian dalam arti umum (padi, jagung, Kakao,.dsb), dimana pasca otonomi daerah belum dikelola secara pasti dan jauh dari keberpihakan terhadap petani. Sehingga terkesan pemerintah daerah tidak memiliki konsep dalam pengelolaan terhadap hasil pertanian, dimana seharusnya potensi pertanian bisa menopang roda perekonomian masyarakat, demi terwujudnya masyarakat madani dan sejahtera, selain itu pada kurun waktu 2007 sampai 2017 dengan status otonomi, daerah tidak mampu mengembangkan/meningkatkan ekonomi masyarakat secara berkelanjutan, hal ini disebabkan pemerintah daerah terlalu larut dalam kegiatan (proyek) fisik sarana dan prasarana, sehingga lupa bahwa gairah masyarakat tergantung kepada stabilitas ekonomi. Pada kurun waktu tersebut pula fenomena yang terjadi adalah meningkatnya jumlah masyarakat yang “ngalo upahen” ke daerah tanah karo menjadi buruh untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dan fenomena ini berlanjut hingga saat ini.

Akibat dari persoalan pengelolaan 10 tahun terakhir, maka yang dihadapi pemda saat ini adalah defisit anggaran daerah, sehingga anti klimaks dampak kesalahan dan kekurangan pengelolaan daerah sebelumnya menjadi beban pemerintahan saat ini. Akibatnya muncul kesan kesejahteraan rakyat terabaikan, karena hampir 2 (dua) tahun pemerintahan “RABU” ini berjalan belum ada kepastian kebijakan populis yang berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat, khususnya terhadap pertanian yang menjadi sumber penghidupan masyarakat di Aceh Tenggara, bahkan persentase penduduk miskin kemiskinan meningkat yaitu 14,46% tahun 2016 menjadi 14,86 tahun 2017 (sumber:data bps 2018).

Dalam hal pertanian berdasarkan hasil data bps Agara untuk komoditi jagung dan padi sebesar 237.091 ton/tahun dan 182.271 ton/tahun. Coba kita konversikan ke nilai rupiah, bila harga jagung Rp.4.000/kg dan padi Rp5.000/kg, maka 237.091 ton x Rp. 4juta/ton +- 948 Milyar, dan 182.271 ton/tahun x 5 juta/ton +- 910 Milyar/tahun, untuk 2 (dua) komoditi saja hasilnya hampir mencapai 2 Triliyun.

Berdasarkan nilai fantastis tersebut seharusnya petani kita sejahtera. Persoalannya adalah para pemain di tingkat pasar bukan Pemerintah Daerah melainkan para touke dan tengkulak, sehingga yang terjadi adalah nilai fantastis tersebut tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan akibat dari ketergantungan petani terhadap touke/tengkulak sebagai pemilik modal dan pengendali bibit dan bahan-bahan pertanian.

Berdasarkan kondisi diatas maka pemerintah daerah seharusnya membuat terobosan-terobosan kebijakan yang berpihak terhadap peningkatan ekonomi masyarakat khususnya dibidang pertanian.

Salah satu yang harus didorong adalah pembentukan BUMD Pertanian di Aceh Tenggara. Kenapa harus dibentuk BUMD Pertanian?? Karena BUMD Pertanian bisa menjadi salah satu Instrumen PEMDA agar bisa mengendalikan harga bahan dan produk hasil pertanian masyarakat. Ada beberapa hal yang dapat dipertimbangkan sebagai masukan agar BUMD Pertanian dibentuk, diantaranya adalah :

1. BUMD pertanian sebagai holding (perusahaan daerah) sehingga dapat salah satu pemain pasar (katalisator) harga hasil pertanian.
2. BUMD pertanian dapat mengurangi/memutus rantai pasar, sehingga harga hasil pertanian dapat meningkat.
3. Daerah mempunyai kekuatan/bargaining dalam menentukan harga minimum hasil pertanian, sehingga touke/tengkulak tidak bisa memonopoli harga hasil pertanian.
4. Menyerap tenaga kerja disektor pertanian, sehingga SDM lulusan universitas yang ada di Agara dapat terdistribusikan dengan baik sesuai kemampuan.
5. Dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) guna membiayai pembangunan sarana dan prasarana yang menunjang produktifitas hasil pertanian.
6. Memberikan petani perlindungan dan jaminan stabilitas harga.
7. Dapat membuka kerja sama lansung dengan perusahaan-perusahan yang membutuhkan bahan hasil produksi pertanian.

Melihat prospek dan potensi luar biasa hasil pertanian di Aceh Tenggara, maka kedepan Agara bisa menjadi salah satu lumbung pangan nasional serta para petani pun mendapatkan kesejahteraan secara menyeluruh, untuk itu kita berharap pemerintah daerah mampu mendorong dan mewujudkan BUMD Pertanian di Aceh Tenggara.

Pertanyaan adalah pemda mau atau tidak? atau memang pemda takut melawan para pemilik modal (touke/tengkulak). Kita tentu berharap lahir kebijakan-kebijakan besar yang dapat mamfasilitasi kesejahteraan petani di Agara.

*Warga Aceh Tenggara

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.