Oleh: Husaini Muzakir Algayoni*
Filsafat materialisme-sekuler menafikan eksistensi Tuhan, sejak era renaisans (masa peralihan dari abad pertengahan ke abad modern, tumbuhnya pengetahuan modern) dianggap tidak nyata, telah mati atau pun kalau Tuhan ada tetapi pasif dan tak ada sangkut pautnya dengan proses epistemologi dan kontrol etika. Demikian menurut Bertrand Russell mengemukakan pendapatnya terhadap bentuk filsafat materialisme-sekuler.
Sementara Sigmund Freud berpendapat bahwa Tuhan adalah makhluk yang diciptakan oleh manusia, bukannya dzat pencipta. Menurut Freud, manusia percaya Tuhan karena berawal dari rasa takut; manusia ingin selamat dan terjaga dari ancaman hal-hal yang menakutkan.
Misalnya ketika ada bahaya yang menimpa manusia, lalu mencari perlindungan kepada sumber ketakutan itu yang kemudian dipanggil dengan sebutan Tuhan.
Dalam agama primitif yang percaya pada kekuatan gaib yang misterius disebut dengan agama dinamisme, yang mana kekuatan gaib ini disebut mana. Orang-orang yang percaya pada barang-barang yang dianggap sakti, seperti batu cincin, pedang, dan lain-lain. Dengan bertambahnya mana yang diperoleh maka bertambah jauh dari bahaya dan jika hilang maka bahaya akan menimpa hidupnya.
Oleh karena itu, dalam agama dinamisme ini lebih percaya pada mana (sakti) dan mengumpulkan mana sebanyak-banyaknya untuk keselamatan hidup.
Pernyataan dari dua tokoh Bertrand Russel dan Sigmund Freud serta tujuan dari agama dinamisme di atas menjadi sebuah pertanyaan filosofis, benarkah Tuhan tidak ada atau kalau pun ada; apa bukti Tuhan ada? Sebagai pemeluk Islam, meyakini dan wajib mengimani (rukun iman) bahwa Tuhan ada sebagaimana yang termaktub di dalam kitab suci Alquran.
Dalam pelajaran akidah pada umumnya tidak menggerakkan pikiran dan letupan intelektual yang lebih luas karena datar-datar saja menerima pemahaman tentang akidah, wajib percaya dan menghafal rukun iman, sudah selesai tanpa ada argumen yang lebih mendalam dari alam pikiran untuk mengetahuinya.
Pembahasan akidah lebih mendalam atau dalam kajian filsafat, yang mana objek kajian filsafat tidak terlepas pada tiga pembahasan yaitu: Tuhan, alam, dan manusia yang mempunyai pertanyaan aneh-aneh bahkan nyeleneh hingga tak terduga.
Manusia telah diberikan akal untuk berpikir ditantang untuk mengetahui jawaban secara mendalam (radik) dari setiap pertanyaan. Nah, dalam tulisan ini misalnya terlontar sebuah pertanyaan filosofis. Apa bukti Tuhan ada?
Untuk membuktikan keberadaan (eksistensi) Tuhan ada tiga cara, yaitu: argumentasi fitrah (kepercayaan dan kecenderungan untuk menyembah Tuhan sudah ada pada manusia sejak lahir), argumentasi keteraturan alam semesta dan argumentasi wajibul wujud. Dari ketiga argumentasi tersebut, paling rumit untuk dibahas adalah wajibul wujud atau wujud yang mesti.
Tuhan adalah dzat yang wujud dengan sendirinya, tanpa sebab dan tanpa didahului oleh apapun dan siapapun. Wujud-Nya tanpa ujung, Dia Maha Awal yang tiada bermula dan Maha Akhir yang tiada berkesudahan. Dia adalah pencipta alam jagad raya dari ketiadaan menjadi ada, maka segala sesuatu menjadi ada.
Dia memiliki sifat ketuhanan dan sesembahan dan segala sifat kesempurnaan yang terbaik dan terpuji yang dikagumi oleh manusia, dalam bahasa Alquran disebut “Allah” yang berarti “al-Ma’luh” atau yang dipertuhan dan disembah.
Tuhan wujud (ada) maka mustahil tiada. Oleh karena itu, apa bukti Tuhan ada? filosof Islam bernama al-Kindi (185-252 H/801-864 M) mengemukakan argumennya dalam membuktikan bahwa Tuhan ada. al-Kindi dijuluki filsuf Arab, karena satu-satunya yang murni berdarah Arab dan pernah memperoleh penghargaan tinggi dari Khalifah al-Mu’tashim.
Dalam membuktikan Tuhan ada, al-Kindi mengemukakan tiga argumen. Ketiga argumen tersebut, sebagai berikut:
Pertama, baharunya alam. Pandangan al-Kindi tentang baharunya alam bahwa alam semesta adalah hadits atau baharu yaitu diciptakan dari tiada dan menjadi ada.
Menunjukkan bahwa adanya Tuhan berawal dari upaya untuk menunjukkan bahwa alam semesta mustahil tidak terbatas, baik dari segi besarnya maupun dari segi waktu. Alam pernah tidak ada, kemudian ada dan suatu saat kelak akan tidak ada pula. Oleh karena itu, tentulah ada pencipta alam yang menjadikannya dari tidak ada menjadi ada dan yang menciptakan alam adalah Allah.
al-Kindi mengemukakan pertanyaan filosofis tentang dalil baharunya alam, apakah mungkin sesuatu menjadi sebab bagi wujud dirinya? al-Kindi menjawab, bahwa itu tidak mungkin karena alam memiliki permulaan waktu setiap yang mempunyai permulaan akan berkesudahan.
Kedua, keanekaragaman dalam wujud. menurut al-Kindi dalam alam empiris tidak mungkin ada keanekaragaman tanpa keseragaman atau keseragaman tanpa keanekaragaman. Menurutnya terjadinya keanekaragaman dan keseragaman ini bukan secara kebetulan tetapi ada yang menyebabkan dan merancang sehingga terjadinya alam. Sebagai penyebabnya mustahil alam terjadi dengan sendirinya, jika alam menjadi sebabnya maka akan terjadi rangkaian yang tidak akan habis-habisnya. Sementara sesuatu yang tidak berakhir tidak mungkin terjadi justeru sebabnya harus yang berada di luar alam sendiri yaitu dzat yang Maha Mulia adalah Allah.
Ketiga, kerapian alam. Bahwa alam empiris tidak mungkin teratur dan terkendali tanpa ada yang mengatur dan mengendalikannya. Pengatur dan pengendali adalah yang berada di luar alam, pengatur dan pengendali tersebut tidak sama dengan alam, dzat pengatur dan pengendali tentu tidak bisa terlihat oleh mata, tetapi dzat tersebut bida diketahui dengan melihat tanda-tanda atau fenomena yang terdapat di alam dan dzat tersebut disebut dengan Allah.
al-Kindi sebagai seorang rasionalis yang mengedepankan akal dan menggagas bukti rasional tentang Tuhan, akal tak tidak bisa dikekang untuk terus bertanya-tanya. Ketika akal dikekang maka ada orang yang menistakan keyakinan agamanya sebagaimana yang terjadi di Gereja sehingga orang-orang Barat lari dari agama atau jauh dari agama.
Demikianlah penjelasan secara singkat tentang pembuktian keberadaan (eksistensi) Allah, semoga dengan argumen-argumen di atas semakin memantapkan dan menguatkan keimananan dalam diri sehingga menghilangkan rasa kesangsian yang menyelusup ke ruang pikiran dan segala macam terpaan yang menimpa ke ruang hari tidak membuat hati goyah terhadap eksistensi Allah.
Bahan Bacaan:
Abdul Latif Fakih. Deklarasi Tauhid: Sebuah Akidah Pembebasan. 2011.
Harun Nasution. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jilid I. 1985.
Juwaini. Seputar Filsafat Islam. 2013.
Otong Sulaeman. Dari Jendela Hauzah. 2010.
Jurnal Didaktika Islamika. “Kritik Murtadha Muthahhari Atas Konsep Moralitas Barat”. Nomor 2. 2016.
Pemikiran dan Peradaban: Ensiklopedia Tematis Dunia Islam. 1999.
*Penulis, Kolumnis LintasGAYO.co