Prioritas Pelaksana Fardhu Kifayah Dalam Shalat Janazah

oleh
Drs Jamhuri, M.Ag, Ketua KNA Banda Aceh (foto:tarina)

Oleh: Drs. Jamhuri, MA*

Fardhu adalah nilai suatu perintah yang tegas dalam firman Allah dan hadis Rasulullah, yang dalilnya bersifat qath’i berbeda dengan wajib yang diperintah secara tegas namun dalilnya bersifat zhanni, ini pendapat mazhab Hanafi.

Sedangkan menurut mazhab Syafi’i antara fardhu dan wajib itu sama, jadi kalau dikatakan wajib itulah fardhu dan bila dikatakan fardhu itulah wajib.

Akibat dari perbedaan pendapat ini tentu banyak kasus-kasus fiqih yang berbeda di antara kedua mazhab tersebut, dan ada juga yang mereka sepakati sebagai fardhul.

Contoh yang berbeda adalah dalam hal bacaan surat al fatihah dalam shalat. Mazhab Syafi’i mengatakan kalau membaca fatihah dalam shalat itu hukumnya fardhu yang didasarkan pada hadist Nabi.

“La shalata liman lam yaqra’ bi fatihatil kitab” Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca fatihah.

Dari hadis ini dipahami bahwa membaca fatihah dalam shalat hukumnya wajib atau fardhu dan tidak shah shalat seseorang bila tidak membacanya. Sedangkan menurut mazhab Hanafi membaca fatihah tidak sampai hukumnya pada fardhu karena dalil (hadis) di atas adalah hadis ahad bukan mutawatir, kalau dalil penunjukannya berdasar hadits ahad maka hukumnya hanya wajib tidak sampai kepada fardhu.

Kedua mazhab tersebut sepakat membagi fardhu kapada dua, yakni fardhu ‘ain fan fardhu kifayah.

Fardhu ‘ain adalah fardhu yang perintahnya ditujukan kepada setiap individu dan pelaksanaannya tidak bisa diwakilkan kepada orang lain, seperti halnya shalat lima waktu dan puasa bulan ramadhan.

Sedangkan fardhu kifayah adalah fardhu atau kewajiban bersifat kolektif yang apabila dilakukan oleh sebagian orang saja maka yang lainnya terbebas dari kewajiban. Namun pahala pelaksanaan tetap bagi mereka yang melakukan.

Fardhu Kifayah Untuk Shalat Janazah

Ulama sepakat hukum untuk shalat janazah adalah fardhu kifayah, yaitu kewajiban yang dipadai untuk dilakukan oleh sebagaian orang saja. Lalu yang menjadi permasalahan adalah siapa yang sebagian orang itu? Apakah semua yang mau melaksanakan atau siapa-siapa yang mau saja.

Bagaiamana bila mereka saling mengharap akhirnya tidak ada yang melakukan. Sebenarnya hal ini sekarang sudah terjadi di dalam masyarakat kita namun belum begitu nampak, boleh jadi disebabkan karena ketidak pedulian kita dalam mengamati permasalahan ini.

Banyak orang yang meninggal dunia terlebih di kota, janazahnya dishalatkan oleh orang-orang yang dibayar, utamanya oleh masyarakat dayah (pesantren).

Boleh jadi logika ini dibangun berdasarkan anggapan kalau orang pesantren lebih paham agama atau boleh juga berdasarkan anggapan orang pesantren ibadahnya lebih bagus atau boleh juga disebabkan oleh tradisi kota kalau berta’ziah kerumah si mayit tidak harus shalat karena cukup dishalatkan oleh orang lain (fardhu kifayah).

Yang jelas pelaksanaan hukum fardhu kifayah mempunyai peluang saling berharap, saling melimpahkan beban yang pada akhirnya sangat mungkin tidak ada lagi orang yang melaksanakannya, disebabkan karena saling berharap.

Karena itulah para ulama berupa mencari alasan yang logis dan tidak bertentangan dengan dalil nash. Alasan yang digunakan adalah mencari orang yang terdekat dengan si mayit.

Fiqh mempunyai konsep tersendiri dalam mengukur kedekatan seseorang dengan orang lain. Diantara standar yang digunakan adalah keterikatan seseorang dengan orang lain dengan harta, keterikatan tersebut juga diukur bukan pada kepentingan terhadap harta tetapi pada hak dan kewajiban terhadap harta, yaitu melalui harta warisan.

Jadi siapa saja menjadi urutan utama dalam penerimaan harta warisan maka dia yang paling berajanggung jawab dalam menyelesaikan fardhu kifayah si mayit. Tetapi karena yang diperkirakan banyak yang menerima, maka para ulama menetapkan wali atau para wali yang lebih utama melaksanakan tajhiz mayat termasuk untuk menshalatkan.

Karena itu perlu juga mengetahui urutan wali :
1. Bapak, kakek dan seterusnya ke atas.
2. Saudara laki-laki kandung
3. Saudara laki-laki sebapak
4. Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki kandung
5. Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
6. Paman, saudara dari bapak sekandung
7. Paman sebapak, saudara dari bapak yang sebapak
8. Anak paman kandung
9. Anak paman laki-laki sebapak.

Ketika berbicara tentang wali, tentu saja tidak dibicarakan perempuan, terus terang dalam pembahasan fiqh mazhab tidak diwajibkan menshalatkan janazah, namun juga kalau menshalatkan tidak dipermasahkan.

Di dalam mazhab Hanafi selain dari wali di atas ditambah lagi dengan zawil arham, berati mereka yang menjadi prioritas dalam pelaksanaan shalat janazah untuk si mayit lebih luas lagi dibanding dengan mazhab Syafi’i.

Apabila wali ini semua tidak ada maka kewajiban berpindah kepada orang lain yang diawal dengan mereka yang paham agama dan dikanjutkan dengan masyarakat dimana si mayir bertempatmtinggal.

Dari pembahasan di atas menjadi jelas pemahaman kita tentang perspektif ulama dalam memahami prioritas pelaksana fardhu kifayah.

Prioritas ini memberi pemahaman lebih lanjut kepada kita bahwa keterikatan kita dengan seseorang dalam perwalian tidak hanya terikat pada pembagian harta warisan dan keabsahan pernikahan tertapi juga pada saat seseorang yang terikat perwalian meninggal dunia, maka kita lebih utama dari pada orang lain.

Lebih lanjut lagi bisa kita ambil suatu pelajaran bahwa makna prioritas pelaksana fardhu kifayah adalah dalam mempersiapkan generasi atau anak-anak yang siap menjadi imam dalam menshalatkan orang tua mereka, dan sangat tidak baik bila prioriatas itu diserahkan kepada orang lain yang seharusnya menjadi prioritas terakhir.

*Dosen di Fakultas Syari’ah dan Hukum Islam di UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.