(Kuliah Teologi) Pemikiran Teologi Muhammad Abduh

oleh

Oleh: Husaini Muzakir Algayoni*

“Alquran menyerukan pemakaian akal pikiran untuk memperhatikan alam semesta dan mencela keras taklid ikut-ikutan, terutama dalam hal kepercayaan agama.”

Teologi (ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan Tuhan) dalam Islam dikenal dengan ilmu kalam, disiplin ilmu ini berbicara masalah keyakinan (aqidah) Islam yang bersumber pada dalil-dalil akal pikiran dan dalil-dalil naqal (Alquran dan hadis). Ciri khas atau corak pemikiran dari teologi adalah mengarahkan pembicaraan kepada akal pikiran semata-mata dan serba dirasionalkan.

Teologi Islam salah satu disiplin ilmu yang wajib dikuasai oleh mahasiswa prodi aqidah filsafat, di lembaga-lembaga pendidikan yang ada di Indonesia dikenal dengan nama ilmu tauhid, Harun Nasution berpendapat bahwa ilmu tauhid yang diajarkan di Indonesia kurang mendalam dalam pembahasan dan kurang bersifat filosofis dan pembahasannya pun hanya sepihak yaitu dari aliran Asyáriah (Ahlussunnah wal Jamaah) tanpa mengemukakan aliran-aliran lain dalam teologi Islam.

Dalam pembahasan teologi terbagi menjadi dua, ada teologi klasik dan ada modern, dalam tulisan ini penulis mencoba menulis tentang pemikiran teologi modern; dalam hal ini penulis mengambil pemikiran dari Muhammad Abduh (1849-1905 M).

Abduh adalah seorang teolog dan pembaharu dari Mesir yang sangat berpengaruh dalam perkembangan khazanah ilmu keislaman khususnya dalam bidang teologi dan filsafat.

Abduh memberi penghargaan yang sangat tinggi pada akal sehingga dalam pendapatnya Islam adalah agama rasional. Abduh juga mengatakan bahwa Allah Swt melalui ayat-ayat suci Alquran memerintahkan kita untuk berpikir dan menggunakan akal pikiran tentang gejala-gejala dan rahasia alam. Oleh karena itu corak pemikiran Abduh adalah pemikiran rasional, terutama dalam hal teologi. A.

Hanafi dalam bukunya Pengantar Theology Islam menuliskan Alquran sebagai kitab suci agama Islam, menyerukan pemakaian akal pikiran dan memperhatikan alam semesta dengan pancaindera dan mencela dengan keras taklid ikut-ikutan serta orang-orang yang suka ikut-ikutan terutama dalam hal soal-soal kepercayaan agama.

Telah dijelaskan di atas bahwa Abduh adalah seseorang teolog bercorak rasional, hal ini dapat dilihat dari berbagai pendapatnya dalam pemikiran teologinya berikut ini:

Pertama, Konsep Iman. Abduh menjelaskan iman adalah pengetahuan hakiki yang diperoleh akal melalui argumen-argumen yang kuat dan membuat jiwa seseorang menjadi tunduk dan pasrah. Baginya iman bukan hanya sekedar tasdiq (pengakuan) melainkan juga makrifat dan perbuatan. Iman meliputi tiga unsur: Ilmu (Pengetahuan), I’tiqad (kepercayaan) dan yakin (keyakinan). Abduh membedakan manusia atas dua golongan, khawas (orang yang tingkatan ibadahnya sudah tinggi) dan awam.

Karena itu, iman pun terbagi dua, iman orang khawas yang disebut iman hakiki dan iman orang awam yang disebut iman taklidi. Bagi orang awam yang disebut iman taklidi. Bagi orang awam iman hanyalah tasdiq sedangkan bagi orang khawas tidak cukup hanya dengan tasdiq tetapi harus disertai amal baik.

Kedua, Perbuatan Tuhan. Dalam hal perbuatan Tuhan, Abduh mengakui adanya perbuatan-perbuatan yang wajib bagi Tuhan dan yang mewajibkan perbuatan itu adalah diri-Nya sendiri. Tuhan mewajibkan diri-Nya untuk mengatur alam ini sesuai dengan sunnah-Nya demi kepentingan manusia. Perbuatan Tuhan yang wajib itu antara lain berbuat baik kepada manusia dengan tidak memberikan beban atau tugas di luar kemampuan manusia, mengirim para rasul untuk memberi contoh teladan, dan menepati janji-Nya memasukkan orang mukmin kedalam surga dan menepati ancaman-Nya untuk memasukkan orang berdosa besar kedalam neraka.

Ketiga, Keadilan Tuhan. Mengenai soal keadilan Tuhan, Abduh berpendapat bahwa Tuhan maha adil dan mustahil berbuat aniaya. Karena itu, hukuman dan pahala yang diberikan kepada manusia sesuai dengan perbuatan jahat dan baik yang telah dilakukannya.

Keempat, Kekuasaan dan Kehendak Tuhan. Mengenai Kekuasaan dan Kehendak Tuhan, Abduh mengakui bahwa Tuhan itu Maha Kuasa dan Maha Berkehendak. Meskipun demikian, Tuhan tidak bertindak sewenang-wenang karena bertentangan dengan keadilan-Nya. Tuhan membatasi kekuasan dan kehendak mutlak-Nya dengan sunnah-Nya yang tidak mengalami perubahan.

Kelima, Perbuatan Manusia. Menurut Abduh, manusia diberi kebebasan untuk berkehendak, berbuat dan bebas memilih perbuatan mana yang hendak dilakukannya. Untuk itu, manusia dibekali akal untuk berpikir dan dengan akalnya ia mempertimbangkan akibat dari perbuatannya. Manusia tidaklah bebas secara mutlak. Kebebasannya dibatasi oleh hukum alam ciptaan Tuhan yang disebut sunnah Allah swt. Dengan demikian, Abduh menganut paham Qadariah (free will), paham yang menyatakan bahwa perbuatan manusia adalah perbuatannya sendiri secara hakiki.

Keenam, Kekuatan Akal. Akal dalam sistem teologi Abduh mempunyai kekuatan yang sangat tinggi. Baginya, akal dapat mengetahui adanya Tuhan dan sifat-sifat-Nya, mengetahui adanya hidup diakhirat, mengetahui kewajiban terhadap Tuhan, mengatahui kebaikan dan kejahatan, mengetahui kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat dan membuat hukum-hukum.

Ketujuh, Fungsi Wahyu. Meskipun akal mampu mengetahui banyak masalah pokok keagamaan, Abduh tetap mengakui perlunya wahyu diturunkan. Menurutnya, wahyu mempunyai dua fungsi utama, yaitu menolong akal untuk mengetahui secara rinci mengenai kehidupan akhirat dan menguatkan akal agar mampu mendidik manusia untuk hidup secara damai dalam lingkungan sosialnya.

Abduh dengan karya reformisnya The Theology of Unity (Kitab Risalah Tauhid, buku ini berasal dari diktat-diktat kuliah Abduh pada Universitas al-Azhar). John L. Esposito dalam bukunya Islam Warna-Warni menyebutkan bahwa pijakan pemikiran reformis Abduh adalah kepercayaanya bahwa agama dan nalar saling melengkapi, dan bahwa tidak ada kontradiksi yang inheren antara agama dan ilmu pengetahuan, yang ia anggap sebagai sumber kembar Islam. Sebab-sebab kemunduran Muslim adalah akidah dan praktik agama yang tidak Islami, seperti pemujaan, syafaat dan mukjizat para wali dan pemanduan kreativitas dan dinamisme akibat kepasifan dan fatalisme sufi maupun karena skolatisisme kaku kaum ulama tradisional yang melarang ijtihad. (John L. Esposito).

Demikian pemikiran teologi Muhammad Abduh yang bercorak rasional karena lebih mengedepankan akal, dengan pemikiran rasional maka kita jauh dari taklid ikut-ikutan yang menutup pikiran untuk berpikir serta dengan rasional dalam memahami agama maka dapat mengetahui dan memahami betapa luasnya nikmat Allah Swt yang diberikan kepada manusia selalu khalifah (pemimpin) di alam semesta yang luas ini.

Bahan Bacaan:
– A. Hanafi, Pengantar Theology Islam. Jakarta: Al-Husna Zikra. 1995.
– Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Beberapa Aspeknya. Jilid II. Jakarta: UI-Press, 2012.
– John L. Esposito, Islam Warna-Warni: Ragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus. Jakarta: Paramadina. 2004.
– Syekh Muhammad Abduh. Risalat’ut Tauhid Diterjemahkan oleh Firdaus AN dengan judul Risalah Tauhid. Cet X. Jakarta: Bulan Bintang. 1996.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.