Nomophobia: Garapan Teater Kontemporer di Panggung Teater Aceh

oleh

Oleh : Khusnul Khatimah*

Pertunjukan teater kontemporer “Nomophobia” yang disutradarai oleh Fani Dilasari (Dosen Institut Seni Budaya Indonesia Aceh) dipentaskan di Gedung Utama Taman Seni dan Budaya Aceh pada 16 November 2018.

Dosen berdarah minang ini mencoba mengeksplor karya kontemporer yang berangkat dari fenomena masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai sutradara Fani mengungkapkan bahwa awalnya ide ini muncul dikarenakan pengamatan terhadap realitas sosial saat ini, gadget tidak lepas dari tangan, dan melatahkan semua kalangan. Fani juga menyebutkan jika fenomena ini tidak hanya terjadi di daerah Aceh saja, bahkan mendunia.

Fenomena yang terjadi pada saat ini banyak menimbulkan hal negatif diantaranya Nomophobia, kehilangan konsentrasi, sikap apatis terhadap lingkungan dan lain-lain, jika pengguna tidak dapat mengontrol kebutuhannya terhadap android.

Hal ini dikarenakan rasa kecanduan manusia terhadap gadget yang berlebihan dapat mempengaruhi pola hidup serta pola pikir manusia itu sendiri. Jika terus berkelanjutan dan tidak disadari oleh setiap pecinta “gadget” maka akan berakibat fatal bagi generasi bangsa.

Berdasarkan fenomena tersebut sutradara mencoba menuangkan peristiwa sosial ini ke dalam garapan nomophobia.

No mobile phone phobia atau nomophobia merupakan sindrom keresahan, kegelisahan, atau rasa takut yang berlebihan jika tidak mempunyai Handphone (HP). Karya teater nomophobia ini lebih banyak menggunakan bahasa tubuh, minim properti, dan diperkaya oleh imajinasi.

Garapan tersebut merupakan karya teater kontemporer, yaitu karya teater yang mengandung sifat-sifat kekinian. Saat ini karya-karya kontemporer di Aceh cenderung menonjol pada bidang musik dan tari. Sedangkan pemahaman kontemporer sendiri masih belum berkembang. Hal ini dikarenakan minimnya ruang kreativitas pelaku teater kontemporer.

Melalui garapan nomophobia ini sutradara mencoba memberi ruang apresiasi untuk masyarakat maupun pengamat teater dengan tujuan agar kontemporer bisa dikenal, dipahami dan terus berkembang dalam masyarakat.

Pertunjukan nomophobia terdiri dari empat aktor inti dan sekitar sepuluh aktor pendukung. Garapan ini menceritakan bagaimana keadaan manusia saat ini yang tidak terlepas dari gadget.

Kemirisan kehidupan yang diciptakan dalam dunia maya sehingga memberi efek yang sangat besar bagi penggunanya. Pujian, fitnah, hingga peristiwa-peristiwa yang tidak layak ikut dihadirkan di media sosial. Rasa acuh tak acuh terhadap keadaan sekeliling akibat terlalu fokus pada androidnya.

Setiap adegan berangkat dari relitas keseharian masyarakat. Selain itu juga alur diisi dengan spirit tradisi yang di kembangkan dari motif gerak seudati, ratoeh jaroe, serta randai. Namun yang menjadi eksplor utama properti adalah gedget.

*Penulis adalah Mahasiswa Prodi Seni Teater Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.