Hari Filsafat Dunia; Memfilosofkan Manusia di Indonesia

oleh

Oleh : Husaini Muzakir Algayoni*

“Filosof ingin memperbarui masyarakat sesuai dengan akal sehat.” (Karen Amstrong, Sejarah Tuhan)

Hari filsafat dunia diperingati setiap minggu ketiga bulan novembar sejak UNESCO menetapkan hari filsafat dunia (world philosophy day) pada tahun 2005, tujuan UNESCO menetapkan hari filsafat dunia adalah untuk mempromosikan budaya internasional, perdebatan filosofis yang menghormati martabat manusia dan keragaman. Hari mendorong pertukaran akademis dan menyoroti kontribusi pengetahuan filosofis dalam menangani isu-isu global.

Filsafat berasal dari Yunani Kuno (philosophia) yang lazim diterjemahkan dengan cinta kearifan, cinta kebijaksanaan, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat, pengetahuan luas dan identik dengan berpikir. Pakar atau ahli dalam bidang filsafat disebut dengan filosof; layaknya ahli fiqih disebut dengan fuqaha, ahli tasawuf disebut dengan sufi dan lain sebagainya.

Dunia Islam pernah berjaya dengan ilmu pengetahuan dan peradabannya karena kontribusi para filosof-filosof Islam seperti Ibnu Sina (Avicenna) Si ‘Pangeran Tabib’, Ibnu Rusyd (Averroes) dan lain-lain. Kejayaan Islam tidak terlepas dari peran Khalifah-khalifah Bani Abbas yang mencintai ilmu, terutama Khalifah al-Ma’mun yang mendirikan perpustakaan terbesar nan termasyhur di zamannya bernama Bait al-Hikmah untuk keperluan penerjemahan.

Dalam sejarah filsafat, Socrates merupakan sosok yang sangat berjasa dalam melahirkan filsafat walaupun sebelumnya ada nama Thales yang tergabung dalam filosof alam. Setelah Socrates ada Plato yang merupakan murid dari Socrates. Dalam pandangan Plato, filosof adalah orang yang sadar (terjaga) dan membuka pandangannya terhadap segala hal yang ada di alam eksistensi sambil berusaha untuk memahaminya, sementara orang lain menghabiskan hidupnya dalam keadaan tertidur.

Ciri-ciri dari seorang filosof ialah berpikir logis, mendalam, universal, kritis, tidak mengklaim diri mengetahui segala-galanya melainkan sekedar sebagai para pencari, bijak dan mencintai kebijaksanaan. Karen Amstrong dalam bukunya Sejarah Tuhan menuliskan bahwa filosof ingin memperbarui masyarakat sesuai dengan akal sehat. Nah, menurut hemat penulis; kunci utama sebagai filosof adalah mempunyai akal sehat.

Untuk mendapatkan ‘akal sehat’ pertama-tama haruslah mempunyai hati yang bersih, kenapa harus dengan hati yang bersih? KH. Abdullah Gymnastiar mengatakan bahwa hati yang bersih adalah hati yang senantiasa membuat pikiran bekerja efektif, lantaran hanya kebaikanlah yang dipikirkannya. Kalau hati yang diwarani dengan kekotoran, kejahatan, kebencian dan kedengkian ‘akal sehat’ tidak akan masuk dalam dirinya justru yang ada hanya jiwa-jiwa sakit sehingga ia layaknya seorang bandit yang meresahkan masyarakat.

Memfilosofkan Manusia di Indonesia
Dalam memperingati hari filsafat dunia di tahun 2018 ini, membicarakan isu-isu global sangatlah luas sekali. Maka dari itu, penulis mencoba mengambil isu secara nasional yang akhir-akhir ini sangat mengkhawatirkan dalam kehidupan berbangsa dan beragama dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Salah satu isu nasional yang sangat mengkhawatirkan ialah rendahnya rasa toleransi antar sesama anak bangsa dalam hal keberagaman suku, agama dan pilihan politik.

Menghina, memfitnah dan menebar kebencian menyelimuti hari-hari percakapan di media sosial karena tidak menerima perbedaan dalam hidup, tidak menerima perbedaan dan keberagaman dari sekelompok orang menandakan betapa sempit dan dangkalnya berpikir; padahal Allah Swt telah memberikan kepada manusia berupa akal dengan tujuan agar manusia bisa berpikir dengan sebaik-baiknya dan seluas-luasnya.

Imam Khamenei dalam bukunya Mendaras Tauhid Mengeja Kenabian, menguraiakan beberapa tugas-tugas dan tanggung jawab para nabi. Salah satu tugas nabi menurut Amirul Mukminin as “Untuk membukakan dihadapan mereka kebajikan-kebajikan dan kebijaksanaan yang tersembunyi” yang artinya bahwa para nabi akan mengajak manusia kepada aktivitas pemikiran, perenungan dan kearifan yang semua manusia milikinya dalam watak mereka.

Kekuatan berbikir dan merenung akan bisa lemah di suatu masyarakat dan negeri atau tengah-tengah suatu generasi secara tidak otomatis karena kondisi-kondisi geografis, kekurangan atau ketololan rasial. Kekuatan berpikir merupakan aset umum semua manusia, tetapi kadang-kadang terkubur oleh adat-kebiasaan dan tradisi sehingga ia menjadi kekayaan yang tidak dapat dipetik manfaatnya.

Di tengah-tengah pluralitas masyarakat Indonesia, kedewasaan berpikir dengan pendekatan filsafat akan menghilangkan permusuhan, kebencian antar sesama anak bangsa. Oleh karena itu, kiranya kita harus menjadi seorang filosof dengan ciri-ciri yang telah disebutkan di atas; walaupun tidak menjadi seorang filosof sungguhan minimal kita menggunakan akal sehat setiap bertindak dan berbicara sehingga tidak menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.

Dengan memiliki ciri-ciri seorang filosof pastilah masyarakat Indonesia menjadi warga negara yang baik dan bersatu karena memiliki pikiran positif dalam kehidupan berbangsa, memiliki rasa cinta antar sesama dan menebarkan kesejukan dalam mewujudkan negara yang baik, damai, aman dan sentosa. Sebagaimana filosof al-Farabi (guru kedua) menuturkan “Suatu masyarakat kota harus terdiri dari penduduk yang bersatu hati yang di dalamnya memenuhi segala kebutuhan hidupnya terjamin.”

Sebagai penutup dari tulisan ini, mari kita lihat negara India, di satu sisi India adalah negara miskin tapi juga negara maju. Tanya kenapa? Karena India memiliki ‘pikiran’ sebuah ungkapan dalam film Bollywood Pad Man yang merupakan film kisah nyata “Memang ada kemiskinan di negara kita dan populasi kami adalah masalah terbesar kami, tapi aku percaya jika melihat populasi kita bukan sebagai jumlah tubuh tapi sebagai jumlah pikiran maka tidak ada kekuatan yang lebih besar dari kita di dunia! India seharusnya tidak dilihat sebagai negara berpenduduk 1 miliar orang seharusnya dilihat sebagai negara dengan 1 miliar pikiran.”

Bagaimana dengan Indonesia, apakah satu 1 miliar pikiran? Atau apakah 1 miliar ocehan, 1 miliar nyinyir, 1 miliar kata cacian dan hinaan, 1 miliar omong kosong? Kata Cak Lontong Mikir!!! Dan selamat berpikir di hari filsafat dunia, gunakan akal untuk berpikir dalam menapaki kehidupan; orang yang berpikir dengan menggunakan mulut tak ubahnya seperti manusia tanpa otak dan jika malas berpikir maka lebih baik mati saja.

*Penulis: Kolumnis LintasGAYO.co

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.