Sufi Al-Hallaj; Syahid Mempertahankan Al-Hulul

oleh

Oleh : Husaini Muzakir Algayoni*

Filosof Socrates Syahid Melawan Kaum Sofis yang dipublish oleh lintasgayo.co edisi 24/07/2018, dalam tulisan ini penulis menyebutkan ada beberapa tokoh/pemikir yang syahid (mati terbunuh) karena mempertahankan ilmu atau ajarannya (martir). Dalam tulisan kali ini, penulis akan membahas al-Hallaj seorang sufi yang menjadi buah bibir dengan ajaran al-Hululnya dan ia syahid dalam mempertahankan ajarannya tersebut.

al-Hallaj dengan nama lengkap Husain bin Mansur al-Hallaj lahir di negeri Baidhaa, salah satu kota kecil di Persia tahun 244 H (858 M) dan tumbuh dewasa di kota Wasith, dekat Baghdad. Beliau hidup sekitar abad 3-4 Hijriah yang mana ajaran kaum sufi pada abad ini menurut Buya Hamka ilmu tasawuf telah berkembang dan telah menunjukkan isinya yang dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu ilmu jiwa, ilmu akhlak dan ilmu tentang yang gaib (metafisika).

Pada abad ini pembahasan tasawuf sudah lebih bersifat filosofis karena pembahasannya meluas kemasalah metafisika yang menyangkut pembahasan tentang hakikat manusia dan Tuhan. Kajian tasawuf ini dikenal dengan tasawuf falsafi yang mempunyai pemahaman manusia seesensi dengan Tuhan karena manusia berasal dan tercipta dari esensi-Nya. Oleh karenanya, keduanya dapat berpadu apabila kondisi untuk itu telah tercipta.

Pada abad inilah lahir salah satu paham dalam tasawuf yang dikenal dengan “al-Hulul” yang dipopulerkan oleh al-Hallaj, pada usia 53 tahun namanya menjadi buah bibir di kalangan ahli fiqih, sebab perkataan yang ganjil-ganjil dan pandangan tasawufnya yang berbeda dari yang lain-lain. Sampai seorang ulama fiqih terkenal, yaitu Ibnu Daud al-Isfahani (penganut mazhab zahiri) mengeluarkan fatwa untuk membantah dan memberantas paham al-Hulul.

Fatwa penyesatan yang dikeluarkan oleh Al-Isfahani itu sangat besar kesannya kepada ulama seumumnya, dan berkesan kepada Khalifah, sehingga Husain bin Mansur ditangkap dan dipenjara. Tetapi setelah satu tahun dalam penjara, dia dapat melarikan diri dengan pertolongan sipir penjara yang rupanya tertarik melihat bagaimana kemurnian hidup beliau selama dalam tahanan 297 H (910 M).

Dari Baghdad beliau melarikan diri ke Sus dalam wilayah Ahwas. Di sanalah ia bersembunyi empat tahun lamanya, dengan tidak mengubah pendirian dan pandangan hidupnya. Akhirnya ditahun 301 H (903 M) dia ditangkap kembali, dimasukkan pula kedalam penjara sampai delapan tahun lamanya. Delapan tahun dalam tahanan tidaklah menambah luntur pendiriannya, sekali-sekali dia ditanya mengenai ajaran-ajarannya tiap disoal diberinya jawaban menurut suara hatinya.

Akhirnya pada tahun 309 H (921 M) diadakanlah persidangan ulama dibawah naungan kerajaan Bani Abbas, Khalifah al-Muktadirbillah. Pada tanggal 18 Zulqa’dah tahun 309 H (921 M) jatuhlah hukuman, yaitu beliau dihukum mati.

Filsafat Ajaran al-Hallaj

Intisari dari ajaran al-Hallaj kadang-kadang berupa sya’ir dan kadang-kadang berupa natsar, dalam susunan kata-kata yang mendalam disekeliling tiga perkara, yaitu: al-Hulul, Alhaqiqatul Muhammadiyah dan Kesatuan segala agama. Dalam tulisan ini hanya membahas salah satu dari tiga tersebut yaitu al-Hulul.

Harun Nasution dalam bukunya Falsafat dan Mistisme dalam Islam menjelaskan bahwa menurut al-Hallaj, Allah mempunyai dua natur atau sifat dasar: Ke-Tuhanan, lahut (اللا هوت (dan kemanusiaan, nasut ( الناسوت ). Ini dapat dilihat dari teorinya mengenai kejadian makhluk dalam bukunya bernama (الطواسين ). Sebelum Tuhan menjadikan makhluk, Ia hanya melihat dirinya sendiri. Dalam kesendiran-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, dialog yang dalamnya tak terdapat kata-kata ataupun huruf-huruf . Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian zat-Nya. Allah melihat kepada zat-Nya dan Ia pun cinta pada zat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia pun mengeluarkan dari yang tiada bentuk (copy) dari diri-Nya yang mempunyai segala sifat dan nama-Nya. Bentuk (copy) itu adalah Adam. Setelah menjadikan Adam, Ia cinta pada Adam. Pada diri Adamlah Allah muncul dalam bentuk-Nya.

Teori ini lebih jelas, kelihatan dalam sya’irnya yang berikut ini:
سُبْحَانَ مَنْ أَظْهَرَنَا سُوْتُهُ # سِرَّسَنَا لَاهُوَ تِهِ الثَّاقِبِ
ثُمَّ بَدَا لِخَلْقِهِ ظَاهِرَا # فِى صُوْ رَةِ الْاَكِلِ وَالشَّارِبِ
“Maha Suci zat yang sifat Kemanusiaan-Nya membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya membukakakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang. Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata dalam bentuk manusia yang makan dan minum.”

Sebaliknya manusia juga mempunyai sifat ketuhanan dalam dirinya. Ini dapat dilihat dari tafsiran al-Hallaj mengenai kejadian Adam:
وَاِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوْا لِادَمَ فَسَجَدُوْا اِلَّا إِبْلِيْسَ اَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِيْنَ
“Ketika Kami berkata kepada Malaikat: ‘Sujudlah kepada Adam, semuanya sujud kecuali Iblis, yang enggan dan merasa besar. Ia menjadi yang tidak percaya.” (al-Baqarah: 34).

Dalam diri manusia terdapat sifat keTuhanan dan dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan. Dengan demikian persatuan antara Tuhan dan manusia bisa terjadi, dan persatuan ini dalam filsafat al-Hallaj mengambil bentuk hulul (mengambil tempat). Dan agar dapat bersatu itu, manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya dengan fana’. Kalau sifat-sifat kemanusiaan ini telah hilang dan tinggal hanya sifat-sifat keTuhanan yang ada dalam dirinya, disitulah baru Tuhan dapat mengambil tempat dalam dirinya dan ketika itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia.

Buya Hamka dalam bukunya Perkembangan dan Pemurnian Tasawuf mengatakan bahwa, menurut ajaran al-Hallaj bilamana batin seorang insan telah suci bersih di dalam menempuh perjalanan dalam hidup kebatinan, akan naiklah tingkat hidupnya itu dari suatu maqam ke maqam yang lain, misalnya muslim, mu’min, salihin, muqarrabin. Muqarrabin artinya orang yang paling dekat kepada Tuhan. Di atas tingkat muqarrabin itu tibalah mereka di puncak, sehingga bersatu dengan Tuhan.

Demikianlah pemikiran al-Hallaj tentang konsep Hululnya yang dituduh sesat sehingga mengantarkannya pada kesyahidan dalam mempertahankan ajarannya tersebut. Dari kisah terbunuhnya al-Hallaj kita sebagai penuntut ilmu dapat mengambil hikmah bahwa kita harus memperdalami kajian keilmuan/pemikiran Islam secara mendalam dan universal sehingga kita tidak mudah menuduh orang lain sesat dan lain sebagainya.

*Penulis, Kolumnis LintasGAYO.co

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.