Abang Tengku Alus yang Keramat!

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

“Siapakah perempuan di seberang sungai itu?” tanya hati saya yang memandangi seseorang seperti sosok perempuan di seberang Sungai Jambo Aye, Samarkilang, Bener Meriah.

Saya yang duduk di bebatuan pun semakin heran karena di tengah derasnya arus Sungai Jambo Aye perahu tanpa dikayuh tepat menuju di hadapan saya. Lelaki tua bertubuh kecil dan berwajah bayi itu pun memeluk saya tanpa berkata apa-apa, lalu beliau berbisik di telinga saya, “Mengapa adinda katakan, saya seorang perempuan?”

Dengan haru saya langsung memeluk beliau kembali dan setengah berteriak, “Abang Teungku Alus!”

Pertemuan pertama kali yang sangat berkesan itu terjadi pada tahun 2000 pada saat konflik Aceh. Sebelumnya saya belum pernah bertemu beliau langsung, saya hanya dengar cerita kelebihannya dari orang-orang tua di Samarkilang, terutama dari Abang Ali Aman Hanif (Ayah Ahmadi, Bupati Bener Meriah non aktif).

Saya memanggil Abang Teungku Alus karena Abang Ali Aman Hanif juga menyapanya dengan sebutan “Abang”. Jadi saya ikut tutur Abang Hanif.

Orang menisbatkan “Teungku Alus” karena kelebihannya; berjalan seperti kilat dan tubuhnya sering berada pada dua tempat dalam satu waktu. Sehari sebelum banjir bandang di Kampung Rawe, Kecamatan Lut Tawar, beliau berada di sana, tetapi di hari sama beliau juga sedang berada di Samarkilang. Sering kali orang berselisih gara-gara satu pihak menyatakan bersama, pihak lain juga menyatakan bersamanya.

Nama Abang Teungku Alus sebenarnya adalah Jemaat, murid dari Teungku Nasuh dalam “Mengenal diri”. Beliau telah melewati masa “menggali diri dan mengenal diri” dan “menutup diri” dengan bertingkah laku aneh dan tidak jarang orang menganggapnya gila.

Ketika saya berada di tengah hutan belantara Aceh Utara, datanglah seseorang yang mengatakan, “Teungku Alus itu gila, mana ada orang keramat seperti itu,” katanya dengan penuh kebencian.

Saya diam, tidak bereaksi dengan kalimat seseorang itu, yang rasanya tidak pantas dia ucapkan kepada “Saudara misteri” saya, Abang Teungku Alus.

Pada bulan berikutnya seseorang itu datang lagi kepada saya di tempat yang sama. Semula badannya sehat, saat itu dia datang dengan tubuh tinggal kulit dan tulang. Seseorang itu mengeluhkan penyakitnya yang datang seketika. Saya pun diam kecuali teringat kata-katanya bulan lalu yang tanpa sebab mengeluarkan sumpah serapah kepada Abang Teungku Alus.

Sebulan kemudian seseorang itu meninggal dunia. Soal maut adalah rahasia Allah Subhanahu wata’ala. Tetapi dengan kasus tersebut saya hanya teringat pada satu Hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, “Sungguh siapa yang memusuhi Wali (kekasih)-Ku, maka Aku menyatakan perang terhadapnya.”

Saya sendiri pernah menentang kata-katanya. “Adik, kalau pergi ke daerah Serule dan Jamat, jangan takut kepada ular karena ular jahat semua sudah Abang bunuh,” katanya.

“Untuk apa saya ke sana?” tantang hati saya. Rasanya saya tidak perlu jauh-jauh ke sana karena saya mau bertahan di daerah Samarkilang saja.

Memasuki Darurat Militer, tahun 2003, saya harus pergi ke Jamat. Sesampai di Serule kami ditembaki oleh Brimob dan kami menghindar ke daerah yang disebutkan oleh Abang Teungku Alus tadi. Kami tidur di dalam gua-gua dan tempat yang dicurigai ada ular besar. Ternyata Abang Teungku Alus benar, bahwa tidak ada ular jahat di sana.

(Mendale, 27 September 2018)

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.