Kenapa Mudah Memprovokasi dan Diprovokasi?

oleh

Oleh: Husaini Muzakir Algayoni*

Anda mudah memprovokasi?
Anda mudah diprovokasi?
Anda mudah memprovokasi dengan menshare berita yang belum jelas kebenarannya?
Anda mudah diprovokasi oleh isu-isu yang dihembuskan sesaat?

Nah, kenapa anda mudah memprovokasi atau diprovokasi? Kenapa mudah menshare berita-berita yang belum jelas kebenarannya? Kenapa mudah termakan isu sesaat? Pertanyaan ini perlu kita jawab untuk mengetahui penyebabnya, karena akhir-akhir ini menjelang pemilihan presiden banyak orang yang akalnya tidak sehat karena mudah memprovokasi dan anehnya lagi mudah diprovokasi oleh orang lain.

Dengan menjawab pertanyaan di atas sehingga mengetahui apa penyebabnya dan bisa memperbaiki kedepanya dengan harapan tidak mudah memprovokasi dan diprovokasi yang bisa menyulutkan api kemarahan, membangkitkan kebencian, kerusuhan, ngamuk di media sosial, ngamuk dengan membakar ban ditengah jalan, ngamuk merusak fasilitas yang ada didepan mata dan lain sebagainya.

Menurut penulis ada dua alasan kenapa masyarakat kita mudah memprovokasi dan diprovokasi oleh orang lain, mudah menerima dan percaya pada berita-berita hoax yang bisa merusak tatanan kehidupan berbangsa. Dua alasan tersebut yakni: sistem pendidikan dan lemahnya literasi.

Sistem pendidikan yang penulis maksud disini ialah pendidikan Indonesia secara umum masih berkutat pada hafalan-hafalan semata tanpa ada pemahaman yang mendalam yang diberikan kepada siswa, misalnya; siapa nama tokoh pendidikan tanpa menguraikan lebih mendalam apa manfaat pendidikan, bagaimana pendidikan bisa bermanfaat bagi kehidupan manusia dan lain sebagainya yang bisa menggerakkan pikiran anak didik.

Penulis tanya kepada adik yang masih duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), apakah masih ada sistem mendikte pelajaran di sekolah yang dilakukan guru? Betapa terkejutnya mendengar jawaban adik penulis, iya masih ada katanya. Kemajuan sudah melesat jauh dalam segala bidang namun metode mengajar masih dengan gaya lama “mendikte” penulis rasa perlu ada perbaikan yang dilakukan oleh seorang pengajar.

Dengan sistem pendidikan yang ada saat ini yakni hanya mengejar nilai sesuai target-target kuantitatif, siswa dituntut hanya menghafal pelajaran bukan mengamalkannya. Anak didik seakan terkungkung dan tidak dilatih cara berpikir sejak dini sehingga ketika dewasa sudah terbiasa dengan sistem pendidikan yang hanya terpaku pada penghafalan tanpa kreatif dalam berpikir. Sistem pendidikan seperti ini sulit melahirkan anak didik yang kritis, kreatif dalam berpikir dan ketika ada perbedaan pendapat maka yang terjadi adalah saling mempertahankan argumen dan menyalahkan argumen orang lain.

Prof. Dr. A. Chaedar Alwasilah dalam bukunya Filsafat Bahasa dan Pendidikan menenulis bahwa kreativitas itu dapat dibina, ditumbuhkan, dan ditentukan kembali; dan ini semua dapat dicapai melalui praktik pendidikan. Semua mata pelajaran mestinya menumbuhkan daya kreativitas. Namun, kenyataannya tidak selalu demikian. Buku teks yang beredar, misalnya, tidak eksplisit memberi petunjuk kepada guru bagaimana mengajarkan berpikir-kreatif dalam pelajaran tertentu.

Dalam konsep UNESCO (United Nations Educational Scientific: The Treassure Within (1996) empat visi pendidikan abad XXI, yakni: (1) learning to think, di sini anak didik dituntut untuk berfikir kritis; (2) learning to do, anak didik diajari bagaimana menyelesaikan problem kesehariannya secara kreatif; (3) learning to be, yakni mengajarkan bagaimana menjadi dirinya sendiri yang independen; dan (4) learning to live together, yakni diajarkan bagaimana caranya hidup bersama, satu sama lain berdampingan secara damai, saling menghormati, menumbuhkan toleransi dan bahkan empati.

Kita lihat kondisi saat sekarang ini, apakah ada rasa toleransi sehingga hidup berdampingan secara damai, apakah ada saling menghormati antara satu dengan yang lain jika ada perbedaan justru yang ada saling membenci dan bermusuhan. Kenapa bisa ini terjadi? karena sistem pendidikan yang berkutat pada hafalan tanpa melatih anak didik untuk berpikir secara kratif dan kritis dan dewasa inilah hasil dari pendidikan yang kurang melatih dalam pola berpikir kreatif dan kritis.

Alasan kedua, kenapa masyarakat kita mudah memprovokasi atau diprovokasi karena kurangnya minat membaca atau lemahnya literasi. Sebagaimana kita ketahui bersama-sama bahwa rakyat Indonesia kurang tertarik yang namanya membaca. Budaya membaca kurang tapi anehnya rakyat Indonesia paling cerewet di media sosial, status berseleweran di dinding medsos dengan kata-kata menohok. Kalaupun membaca hanya berita-berita yang sesuai dengan selera politiknya untuk mendukung kelompoknya dan bahagia membaca berita lawan politik yang negatif kemudian dishare tanpa ada analisis, kajian serta bacaan yang mendalam.

Tujuan dari membaca adalah mengasah ketajaman berpikir ibarat pisau yang selalu diasah maka pisau akan tajam begitu juga dengan membaca semakin banyak membaca maka pikiran pun akan tajam, dengan banyak membaca maka wawasan semakin luas, pikiran terbuka/inklusif, tidak jumud nan kolot sehingga melihat dunia yang luas ini tidak gemetaran ketika melihat sesuatu yang baru atau menghadapi masalah dengan kepala dingin.

Membaca juga akan menentukan arah dan tujuan berpikir karena bahan bacaan ada yang sifatnya membangun dan ada yang menghancurkan, hasil bacaan anda akan menentukan kualitas berpikir anda karena bacaan-bacaan yang bermutu akan menghasilkan pemikiran yang berkualitas begitu sebaliknya jika bahan bacaan hanya berasal dari sumber-sumber yang tidak jelas sumbernya atau hobi membaca hoax akan nampak juga kualitas cara berpikir seperti ini. Mencintai dan memahami ilmu ialah bagaimana kita membaca dan membaca itu bukan sekedar membaca tapi bagaimana cara membaca.

Jika membaca bagaikan makanan sehari-hari pasti mempunyai pikiran yang kritis dan berkualitas dalam melihat peristiwa dari berbagai sisi, bagaimana Bung Karno tenggelam dalam lautan bacaan maka tidak heran Bung Karno melahirkan pemikiran-pemikiran yang berkualitas begitu juga sebaliknya kalau bahan bacaan hanya berasal dari hoax, berita yang belum jelas kebenarannya maka lahir pula pemikiran-pemikiran lemah dan berbahaya seperti mudah memprovokasi dan mudah diprovokasi oleh orang lain.

Begitu juga dengan sistem pendidikan yang mengarah anak didik pada latihan berpikir, berimajinasi, berpikir kreatif dan kritis akan melatih kekuatan daya berpikir maka ia akan melihat segala peristiwa yang sedang bergejolak dengan mencari tahu, meneliti dan menganalisa secara mendalam, universal dan sistematis.

*Penulis, Kolumnis LintasGAYO.co

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.