8 Mukim Sepakati Pengelolaan Kawasan Lintasan Satwa Liar

oleh

BIREUEN-LintasGAYO.co : Pertama di Aceh, delapan Mukim dari Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Bireuen menyepakati pengelolaan kawasan lintasan satwa liar yang salah satu tujuannya  untuk mengurangi masalah konflik satwa liar dan manusia yang kerap terjadi.

Delapan mukim tersebut sepakat menadatangani kesepatakan adat, Selas (28/8/2018), di Aula Kampus STIEK Kebangsaan Bireuen Kawasan Gampong Blang Bladeh, Jeumpa.

Adapun mukim tersebut adalah Mukim Ketol di Aceh Tengah, Mukim Datu Derakal, Mukim Tugu RRI di Bener Meriah, Mukim Krueng, Mukim Juli Selatan, Mukim Blang Birah Mukim Bate Kureng, Mukim Kuta Jeumpa di Bireuen.

Ketiga Kabupaten yang masuk dalam Daerah Aliran Sungai Peusangan yang memiliki intensitas konflik satwa liar terutama gajah dan manusia yang cukup tinggi di Aceh.

Hampir sebagian besar kawasan lintasan satwa di kawasan ini sekarang berubah menjadi kawasan budidaya masyarakat, sehingga perlu strategi khusus bagaimana melindungi kawasan ini melalui pendekatan adat.

Kesepakatan adat Mukim ini mengatur larangan dan sanksi yang mengikat bagi seluruh masyarakat dan semua pihak termasuk perusahaan yang beraktivitas di dalam kemukiman teserbut.

Minsalnya tidak boleh menebang pohon, membakar hutan, membuka lahan, mencemari sungai, memburu satwa, dan tidak membuka usaha ekonomi di daerah lintasan satwa.

Yang menarik para mukim juga menerapkan sanksi bagi siapapun yang melanggar larangan  dalam bentuk denda uang 1 sampai 5 juta Rupiah menurut keputusan pengadilan mukim. Ada juga yang mewajikan menanam pohon bagi yang melanggar menebang pohon di kawasan tersebut.

Ada juga sanksi harus membuat kenduri adat jika pelanggaran besar seperti pembunuhan gajah dengan tidak menghilangkan sanksi hukum positif yang berlaku.

Menurut Ketua Forum DAS Krueng Peusangan, Suhaimi Hamid, kesepakatan adat ini telah disusun dalam rangkaian diskusi panjang yang melibatkan mukim dan masyarakat termasuk para ahli hukum selama satu tahun.

Ini adalah bagian dari Program Share Resources Joint Solution (SRJS) kolaborasi antara Forum DAS Krueng Peusangan, WWF Indonesia dan Balai Syura Ureueng Inong Aceh di Lansekap Peusangan, Jambo Aye dan Tamiang.

“Selama ini kita banyak meninggalkan pesan-pesan adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Kita menghadapi masalah kerusakan alam, konflik satwa dan manusia yang kesemuanya menyebabkan kerugian di masyarakat. Untuk itu penting mendorong mukim berperan aktif dalam memastikan perlindungan hutan dan satwa,” kata Suhaimi.

Acara peluncuran kesepakatan adat mukim ini dilaksanakan di aula Perguruan Tinggi Kebangsaan Bireuen, dengan ditandai oleh Seminar “Mukim dan Konservasi” yang menghadirkan para pembicara seperti Taqwaddin Husein dari Fakultas Hukum Unsyiah, Amri J Prang dari Pemerintah Aceh, Tgk Muhammad Yusuf, Tokoh ulama Aceh, bapak Daud Yusuf dari MAA aceh, dan dari lembaga Wali Nanggroe Tgk Asnawi SH

Mukim Juli Selatan, Zainuddin mengatakan, ini adalah pertama kali baginya menyusun kesepakatan mukim terkait perlindungan hutan dan satwa.

“Kami sekarang sudah punya landasan kerja untuk pemerintahan mukim dalam rangka perlindunganmn lintasan satwa, DAS dan hutan di daerah kami.  Dengan peraturan ini  kami mempunyai kewenangan untuk menertibkan masalah perusakan hutan seperti penambangan galian C. Harapan kami pemerintah memperhatikan dan memberikan dukungan kepada kami untuk mengelola sumber daya alam yang lebih berkelanjutan,” Zainuddin, Mukim Juli Selatan.

[Fajri Bugak/DM]

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.