Kalau Mau Bahagia, Jangan Jadi Politisi! Kenapa?

oleh

Oleh: Husaini Muzakir Algayoni*

“Rumus kebahagiaan adalah hubungan manusia dengan rasa cinta, rumus cinta tidak berlaku pada politisi. Dalam politik, dasar hubungan manusia adalah kepentingan.”

Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) salah satu kelembagaan negara yang diatur dalam Undang-Undang, gedung DPR dihuni oleh orang-orang pilihan karena mereka dipilih oleh suara rakyat tapi gedung terhormat ini kurang dipercayai oleh masyarakat bahkan sebagian ada yang membencinya karena di dalamnya terdapat tangan-tangan jahil yang hobi mencuri disaat rakyatnya sedang tidur di malam hari, walaupun kurang dipercayai oleh publik anehnya gedung DPR selalu diminati dan dirindukan kehadirannya lima tahun sekali oleh politisi ulung maupun politisi musiman yang hanya muncul saat-saat pemilihan calon legeslatif.

Seorang politisi kata Churchill, mantan Perdana Menteri Inggris ialah “Memiliki kemampuan mengatakan sesuatu yang akan terjadi pada hari esok, bulan depan, tahun mendatang serta menjelaskan mengapa semua yang dikatakannya itu tidak pernah menjadi kenyataan.” Begitu juga dengan Thomas Jefferson mengatakan Politisi hanya memikirkan pemilihan umum (pemilu) yang akan datang.” Nah, sebentar lagi pesta demokrasi dalam ajang pemilihan calon legeslatif (orang-orang pilihan) akan segera dimulai untuk membawa politisi duduk di gedung terhormat.

Melihat fenomena peta perpolitikan di Indonesia yang semakin pragmatis dan cenderung instan, timbul pertanyaan dan mungkin pertanyaan ini sama dengan pembaca budiman. Perlukah politisi ada di Indonesia dan mereka duduk di gedung terhormat? Atau apakah politik merupakan sebuah keniscayaan atau suatu kesia-siaan? Seandainya politisi tidak ada di Indonesia, apa yang terjadi? Mungkinkah Indonesia akan aman dan damai tanpa hadirnya politisi, karena kita lihat akhir-akhir ini bangsa Indonesia kacau oleh ulah politisi yang memecah belah persatuan hanya untuk kepentingan syahwat politik, dirinya, kelompok dan partainya (Baca: Indonesia Kacau Balau, Ulah Politisikah? Lintasgayo.co 10/07/2018).

Salah satu buku yang enak dibaca dalam menyentil politisi ditulis oleh Arvan Pradiansyah dengan judul “Kalau Mau Bahagia, Jangan Jadi Politisi!” Kenapa, kalau mau bahagia; jangan jadi politii! Apakah ada sesuatu atau manusia dilarang menjadi politisi agar bahagia dalam hidup. Nah, disini saya akan mengupas buku ini secara sederhana agar kita tahu bersama-sama apa sebenarnya dibalik layar politik seorang politisi.

Sebelum masuk ke pokok pembahasan, kita jawab terlebih dahulu pertanyaan di atas; perlukah politik/politisi ada di Indonesia atau secara umum di dunia? Arvan Pradiansyah berangkat dari perkataan seorang filsuf Prancis, Andre Comte, ia mengatakan bahwa politik adalah sebuah keniscayaan. Kita membutuhkan politik supaya konflik kepentingan dapat diselesaikan tanpa kekerasan. Kita perlu membentuk negara bukan karena semua orang baik dan adil, justru karena mereka tidak seperti yang kita harapkan.

Politik adalah seni untuk hidup bersama dengan orang-orang yang bukan merupakan pilihan kita, orang-orang yang tidak mempunyai ikatan yang khusus dengan kita dan orang-orang yang lebih merupakan rival ketimbang kawan kita. Politik, dengan demikian, diperlukan agar kita mendapatkan kepastian mengenai siapa yang memberi perintah, siapa yang membuat hukum dan peraturan, serta siapa yang harus menjalankannya. Tanpa politik, tidak akan ada hukum yang berlaku dan tidak ada kekuatan yang bisa memaksa orang untuk mematuhinya.

Dari penjelasan di atas bahwa politik dan seorang politisi sangat diperlukan dalam sebuah negara untuk menjamin kehidupan dan peradaban, disinilah para politisi memainkan peranan yang sangat penting. Dengan menjalankan negara, para politisi dapat menyuruh orang untuk berbuat baik dan melarang untuk berbuat jahat. Seorang politisi ketika sudah menjabat (DPR, Kepala Daerah) mempunyai hak dan wewenang dalam mengatur rakyatnya menuju kebaikan, kesejahteraan dan menjamin hidup yang aman dan damai. Coba kita lihat konsep politik Rasulullah penuh dengan kedamaian tanpa ada konflik ketika menyatukan kelompok Muslim dan Yahudi untuk hidup berdampingan dan membangun toleransi di Madinah.

Namun sayangnya sungguh sayang, ada saja politisi-politisi jahil karena politik lebih sering diperlakukan sebagai sebuah kompetisi untuk memenangi kekuasaan, menguasai aset rakyat, serta menggunakannya untuk kemakmuran pribadi dan golongan. Mengapa hal ini terjadi, menurut Arvan Pradiansyah, ada tiga paradigma yang menjadi penyebabnya: Pertama, kecenderungan mementingkan diri sendiri dan keserakahan yang tidak ada batasnya. Kedua, banyak orang yang masih lihat jabatan sebagai kesempatan, bukan sebagai amanah. Ketiga, banyak orang yang berpikiran bahwa “Semua orang akan melakukan hal yang sama bila mereka mendapatkan kesempatan (jabatan) yang sama.”

Sekarang kita masuk ke pokok pembahasan, apakah ada alasan kalau mau bahagia jangan jadi politisi atau penulis buku ini menyuruh kita untuk menjauhi politik. Arvan Pradiansyah memberikan argumen yang sederhana yaitu “Politik dan kebahagiaan adalah dua hal yang berbeda, yang masing-masing berjalan sendiri-sendiri.” Politik memang tidak ada kaitannya dengan kebahagiaan, rumus yang berlaku di dunia politik juga sangat berbeda dengan rumus yang berlaku untuk mencapai kebahagiaan.

Untuk lebih jelasnya, dalam tulisan Arvan tentang “The 7 Laws of Happiness” dalam tulisan ini ia menjelaskan kebahagiaan sebagai sebuah state mind. Agar bisa bahagia, kita harus menyaring “makanan-makanan” yang masuk ke dalam kepala kita. Hanya makanan yang sehatlah yang kita putuskan untuk kita konsumsi. The 7 Laws of Happines adalah sebuah alat untuk memilih pikiran kita. Adapun 7 makanan bergizi yang diperlukan untuk mencapai kebahagiaan sebagai berikut: Sabar, Syukur, Sederhana, Cinta/Kasih, Memberi, Memaafkan dan Berserah.
7 Law of Happiness inilah Arvan menggunakannya sebagai kerangka berpikirnya dan membandingkannya dengan rumus politik, mari kita lihat perbandingan antara rumus politik dan rumus kebahagiaan dengan mengikuti pola 7 Laws:

1. Rahasia kebahagiaan adalah sabar

Untuk meraih kebahagiaan, kita perlu bersabar yang fokus pada proses. Namun, dalam politik hal itu tidak berlaku karena yang terpenting dalam politik adalah hasil dan keberhasilan seorang politisi adalah kemenangan yang bersifat instan.

2. Rahasia kebahagiaan adalah syukur

Bersyukur berarti menikmati apa yang telah dicapai, puas, meresapi dan menghayati apa yang telah dicapai. Namun, dalam politik yang terjadi amatlah berbeda. Agar bisa berhasil, seorang politisi tidak boleh cepat puas dan selalu tidak pernah puas.

3. Rahasia kebahagiaan ketiga adalah sederhana

Agar bisa berbahagia, harus punya kemampuan untuk menemukan hakikat dan esensi di balik kerumitan. Segala sesuatu dari kacamata kebahagiaan sangatlah sederhana. Namun, tidak demikian halnya bila dilihat dari kacamata politik. Dalam kacamata politik, tampak begitu rumit. Lihat saja bagaimana rumitnya menentukan capres/cawapres hingga melakukan kampanye dan memilih wakil rakyat dan betapa kecewanya tidak mendapatkan wakil rakyat dan presiden yang diinginkan.

4. Rahasia keempat adalah cinta

Kita harus memiliki cinta dalam hati, bukankah dasar dari hubungan antar-manusia adalah cinta? Hanya dengan memberikan cintalah kita akan merasakan kebahagiaan. Rumus cinta tidak berlaku pada politisi. Dalam politik, dasar hubungan manusia bukanlah cinta melainkan kepentingan. Bukankah dalam politik tidak ada kawan sejati dan musuh abadi? Bukankah yang ada hanya kepentingan?

5. Rahasia kelima adalah memberi

Agar berbahagia, kita harus mewujudkan cinta kita dalam bentuk tindakan. Inilah yang disebut dengan memberi. Memberi haruslah didasarkan pada cinta dan kasih. Tindakan memberi yang tertinggi adalah yang disebut dengan “Banyak memberi, sedikit berharap” inilah yang disebut dengan Ikhlas. Rumus ini tidak berlaku pada politik karena rumus dalam politik adalah mendapatkan. Dalam politik, nilai seseorang bukanlah ditentukan dari apa yang ia berikan, melainkan dari apa yang ia dapatkan. Orang yang bernilai dalam politik adalah mereka yang mendapatkan jabatan, pangkat, kesempatan dan sebagainya.

6. Rahasia keenam adalah memaafkan

Agar bisa berbahagia, kita perlu senantiasa memaafkan orang lain. Memaafkan bukanlah untuk kepentingan orang yang menyakiti kita, memaafkan adalah untuk kita sendiri. Hanya dengan memaafkanlah kita dapat menikmati hidup yang indah dan penuh dengan kedamaian. Namun, rumus ini pun tak berlaku dalam politik. Ketika seorang lawan politik melakukan kesalahan, maka kesalahan tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik dalam menyerangnya.

7. Rahasia ketujuh adalah berserah

Rumus berserah yang paling membahagiakan bukanlah meminta sesuatu kepada Tuhan, melainkan benar-benar berserah. Ketika berserah, tidak meminta A atau B tetapi menyerahkan seluruhnya pada Tuhan untuk memilihkan yang terbaik bagi kita. Hal ini penting karena apa yang kita anggap baik belum tentu baik bagi kita, dan apa yang kita anggap buruk belum tentu buruk bagi kita.
Dalam politik, kita tidak pernah melakukan penyerahan seperti ini. Karena dalam politik hanya dituntut kemenangan dan para politisi meminta kemenangan kepada Tuhan, tak peduli apakah kemenangan tersebut baik tau tidak bagi mereka.

Inilah tujuh alasan kenapa seorang politisi itu tidak bahagia makanya judul buku ini “Kalau Mau Bahagia, Jangan Jadi Politisi! Jadi politisi itu bahagianya bagaimana? Nah ini dia kebahagiaan dari seorang politisi.

Kebahagiaan para Politisi

Telah dijelaskan di atas bahwa Arvan membagi konsep kebahagiaan kepada tujuh makanan bergizi namun ketujuh konsep ini tidak ada dalam rumus politik sehingga seorang politisi tidak pernah bahagia, jadi kapan seorang politisi itu merasa bahagia atau apakah para politisi bisa berbahagia? Tentu saja seorang politisi juga bisa bahagia. Menurut Arvan ada dua kesempatan yang membahagiakan para politisi: kesempatan pertama, ketika lawan politik mengalami masalah. Kesempatan kedua, yang membahagiakan para politisi adalah ketika mereka mendapatkan keberuntungan dan kemenangan dalam pemilu.

Sebaliknya, ada dua hal yang tidak membahagiakan bagi para politisi. Pertama adalah ketika lawan politik mereka mendapatkan kemenangan. Kedua, ketika mereka mengalami musibah. Jadi, rumus kebahagiaan dalam politik adalah “Susah kalau melihat lawan politik senang dan senang kalau melihat lawan politik susah.” Coba kita pikirkan baik-baik, kebahagiaan macam apakaha ini?
Buku “Kalau Mau Bahagia, Jangan Jadi Politisi!” karya Arvan Pradiansyah, diterbitkan oleh Mizan pada tahun 2009.

Buku ini layak dibaca oleh generasi muda agar tahu dunia politik secara mendalam dan jika nantinya masuk ke ranah politik ia tahu mana politik yang baik dan mana politik yang kotor karena seorang politisi yang amanah sangat dibutuhkan dalam kehidupan berbangsa. Terlebih para politisi yang terjun langsung dalam partai sudi kiranya membaca buku ini agar mendapat nasihat dan siraman rohani dari kata-kata yang ada dalam buku ini sehingga bisa menjadi politisi yang diharapkan oleh rakyat untuk membangun kesejahteraan dan kedamaian.

Nah, sebagai penutup dari ulasan buku ini; ada sebuah dialog legenda antara Ustadz dengan DPR, mari kita simak dengan seksama:

A. DPR : “Pak Ustadz, jikalau DPR sama Menteri…, Hebat mana?”
B. Ustadz : “Hebat Bapak…., Bapak Menteri gak berani perintah-perintah anggota DPR. DPR bisa perintah-perintah Menteri” Ujarnya santun. [si DPR nyengir seneng]
A. DPR: “Lhaa…, jikalau saya sama ketua KPK hebat mana ??”
B. Ustadz : “Hebat bapak DPR juga lah…, kan Ketua KPK dipilih sama Bapak juga, DPR tidak dipilih dari KPK” [si DPR nyengir nya makin lebar, ustadz bener juga nih kata dia]
A. DPR: “Nah ini pertanyaan di jawab dengan benar lagi nih ustadz, jikalau saya dengan Nabi hebat mana?”
B. Ustadz : “Masih hebat bapak lah…”
A. DPR : “Lah?!! Koq bisa..??” (Kaget)
B. Ustadz: “Ya bisa lah..” (Lalu melanjutkan ucapannya..) “Kalo Nabi masih takut sama Allah, sedangkan Bapak sudah gak ada takut-takutnya sama Allah” Korupsi uang rakyat Milyaran, tanpa ngerasa salah.
A. DPR: (Cengar-cengir doank kaya kebo di sawah…)
*A ditambah N ditambah C ditambah U ditambah R = ANCUR!*
“Negarawan adalah politisi yang menempatkan dirinya untuk berbakti kepada negaranya. Politisi adalah negarawan yang menempatkan negara untuk berbakti kepada dirinya.” (Georges Pompidou).

*Penulis: Kolumnis LintasGAYO.co

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.