The Legend of Bujang Pane (Part V)

oleh
Djali Yusuf dan Fauzan Azima.S. (Ist)

Oleh : Fauzan Azima

Sudah lima orang kampung yang meninggal, namun Bujang Pane masih belum bisa meyakinkan Imum Muzakkir agar memberikan “kain sugi” mayit dengan ikhlas.

Suasana kebatinan Bujang Pane diliputi rasa malu kepada roh arwah nenek moyangnya. Hatinya berkata, Imum Muzakkir bukanlah hambatan, tetapi kerikil dalam sepatu yang sangat mengganggu masa depan kariernya. Apakah dia akan menggunakan cara tentara; dibina atau dibinasakan. “Ah, bodohnya aku,” dia berusaha menepis fikiran.

Bujang pane tidak mau menjadi pencuri tanggung. Dia ingin mendapatkan sertifikat mencuri tingkat dewa, yang kelak akan diabadikan dalam sebuah buku biografi singkat. Dia berharap sebelum meninggal,
Ratu Elisabeth sudah membaca sejarah hidupnya yang disetarakan dengan club bola Liverpool, pemusik The Bitles, teknologi mobil Land Rover dan Mr. Bean.

Kembali pada ayat pertama; putar otak. Diam-diam Bujang Pane telah menyusun rencana strategis dalam pemilihan Imum kampung yang akan datang. Kali ini, dia menjagokan calon Imum Irwandi.

Segala ilmu menjatuhkan lawan sudah disusun rapi. Play victim, black campaingn, pembunuhan karakter dan mengganggu infrastruktur lawan dilakukan dengan operasi pinjam tangan. Sangat licik memang, namun tidak ada cara lain. Politik bumi hangus harus dijalankan.

Rugi rasanya membunuh nyamuk dengan meriam. Namun inilah saatnya mengujicobakan teori-teori menjatuhkan lawan. Bujang Pane sendiri memilih sebagai musuh dalam selimut. Dalam pemilihan lurah di daerah Jawa namanya pecut, yang bertugas memecah belah tim sukses dan melaporkan segala kelemahan dan kekuatan lawan. Di Aceh orang menyebutnya cuak atau lhoh. Sungguh nekad tindakan Bujang Pane memposisikan diri sebagai pecut.

Bujang Pane memakai jurus; angin sepoi-sepoi menjatuhkan monyet. Seperti seorang pria menyanjung seorang wanita yang akhirnya terlena. Dia menyampaikan pujian yang alami kepada Imum Muzakkir. Bahwa hasil survei dari hari ke hari meningkat. Sesekali dia menyampaikan informasi yang kurang sedap, dan direspon oleh Imum Muzakkir terlalu berlebihan. Pertanda ia akan jatuh karena sikap angkuhnya yang menutup akal sehatnya.

Pada waktunya, pemilihan pun digelar. Dengan harap-harap cemas, Bujang Pane menunggu hasil rekapitulasi suara. Meski dia tahu persis calon Imum Irwandi akan menang, tetapi melawan incumbent harus benar-benar dengan perhitungan matang karena infrastruktur politik yang dibangunnya sudah terbina sejak dia menjadi Imum kampung.

Seperti yang sudah diduga meski persaingan sangat ketat, pemilihan Imum kampung dimenangkan oleh Irwandi dengan selisih beberapa suara. Tangis haru menyelimuti Bujang Pane. Cita-citanya sebagai pencuri legendaris akan terwujud. Namun kebodohan Imum Muzakkir menduga Bujang Pane menangis karena kekalahannya. (Bersambung)

(Jakarta, 13 Juli 2018)

Baca Juga : The Legend of Bujang Pane (Part I-IV)

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.