Indonesia Kacau Balau, Ulah Politisikah?

oleh

Oleh: Husaini Muzakir Algayoni*

Tiga orang lelaki sedang memperdebatkan profesi apa yang paling dahulu di muka bumi ini. “Profesi saya, tentu saja,” kata ahli bedah. “Bukankah dalam kitab suci tertulis bahwa Hawa dijadikan dari rusuk Adam.”

“Tidak bisa,” kata insinyur. “Sebelum itu, maka yang terjadi adalah profesi insinyur. Dalam enam hari, bumi diciptakan dari keadaan yang kacau balau. Dan jelas itu adalah karya insinyur.”

“Benar,” jawab politisi. “Tapi, siapa yang menciptakan keadaan yang kacau balau itu?” Demikian percakapan parodi singkat tiga profesi yang dikutip dari buku “Kalau Mau Bahagia Jangan Jadi Politisi” ditulis oleh Arvan Pradiansyah (Penulis best seller Te 7 Laws of Happines).

Dari tiga profesi di atas yang menyebabkan Indonesia kacau balau adalah politisi, kenapa politisi? Karena rumus kehidupan seorang politisi adalah senang melihat lawan politik susah dan susah melihat lawan politik senang. Oleh karena itu, politisi mencari strategi untuk melumpuhkan pergerakan lawan politiknya dengan cara-cara licik. Dalam politik memang tidak ada musuh abadi dan kawan sejati karena dalam politik yang ada hanyalah kepentingan, hari ini kawan; besok lawan.

Kepentingan inilah yang menyebabkan terjadinya kacau balau, kepentingan kelompok dan pribadi dalam merebut jabatan dan kekuasaan. Ketamakan dan kerakusan mengejar kekuasaan menimbulkan permusuhan antar sesama anak bangsa, sebagaimana dalam novel Samudra Pasai: Cinta dan Pengkhianatan terselip nasihat Malikussaleh kepada anaknya Malikhuddhair.

“Ketidakpuasan bukan hanya berkaitan dengan kebijakan, keserakahan juga bisa melahirkan ketidakpuasan. Keserakahan itulah yang melahirkan tamak, dengki dan nafsu ingin berkuasa melebihi apa yang telah diberi. Berhati-hatilah dengan keserakahan, karena keserakahan itulah yang melahirkan permusuhan.”

Mahatma Gandhi dalam ungkapannya mengatakan ”Dunia ini menyediakan segala keperluan untuk memuaskan kebutuhan manusia, namun tidak untuk memenuhi keserakahan manusia.”

Wajah politik dinamis namun kurangnya pendidikan politik bagi masyarakat menyebabkan gagal paham dalam memandang politik wabilkhusus bagi orang fanatik terhadap partai maka ia memandang partai lain adalah musuh yang harus dilawan tanpa ada kompromi padahal pelaku politik yang dikejar hanyalah kepentingan sementara orang awam yang tidak mengerti politik menjadi korban politisi dengan menjadikan pelaku menebar kebencian dan fitnah kepada kelompok lain untuk mendukung partai dan kelompoknya.

Praktik-praktik seperti ini merupakan karakter Jahiliah pada masa silam , karakter Jahiliah seperti emosional “Benar atau salah tidak peduli yang penting membela kelompok walaupun salah,” selain terlalu emosional ada karakter Su’udzon, yang mana su’udzon ini telah melekat pada sebagian rakyat Indonesia dengan saling menyerang dan menebar kebencian demi mengangkat harkat martabat kelompok dan partai masing-masing sehingga menimbulkan permusuhan antar sesama anak bangsa.

Indonesia adalah keindahan bagi dunia, panorama alam yang indah serta budaya yang kaya namun manusia yang berada di Indonesia bagaikan kapal pecah diakibatkan ulah politisi yang memecah belah rakyat Indonesia. Persatuan dan persaudaraan hilang karena kepentingan yang dikejar oleh politisi. Kata-kata cacian, hinaan, makian, fitnah bertebaran di alam jagat raya media sosial dengan debat-debat yang tidak berkualitas. Adu kepintaran padahal sama sekali tidak pintar karena hanya pura-pura pintar dimedsos, adu argumen padahal sama sekali tidak mempunyai argumen yang berkelas, beradu saling menyerang dan saling menjatuhkan lawan untuk mempertahankan argumen masing-masing.

Belajar dari Etika Politik Rasulullah

Hilangnya rasa cinta dalam hati membuat kita saling membenci, bermusuhan dan saling bertikai. Ketika rasa cinta itu menghiasi relung jiwa maka yang terpatri adalah keindahan, kenyaman, kesejukan antar sesama walaupun berbeda partai dan pandangan “Berbeda Yes, Bermusuhan No.” Rasulullah tidak pernah mengajarkan pada umatnya untuk menebar kebencian dan permusuhan dengan siapapun, bahkan etika politik Rasulullah mengedepankan akhlakulkarimah yang baik.

Etika politik Rasulullah harus kita teladani seperti dengan hikmah, nasihat dan debat secara baik. Termaktub dalam QS an-Nahl: 125 “Serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah (argumentasi yang kuat) dan nasihat yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang baik.

Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah Yang mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pula yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Hikmah (argumentasi yang kuat) bukan dengan argumentasi hoax, nasihat yang baik bukan dengan nasihat kebencian dan berdebatlah dengan baik bukan dengan debat-debat saling menjatuhkan dengan kata-kata menghina dan memfitnah. Ketika berpolitik mengedepankan cinta, bersaudara maka kedamaian dan kesejukan menghiasi peta perpolitikan walaupun berbeda partai dan pandangan.

Sebagai rakyat biasa jangan sampai terprovokasi dan ikut-ikutan meneber kebencian serta memfitnah kelompok lain yang tidak sekelompok. Kekacauan yang sedang melanda Indonesia sekarang ini adalah ulah-ulah politisi dalam mengejar kepentingannya dalam hal ini ialah kekuasaan dan jabatan. Semoga politisi-politisi Indonesia mempunyai niat yang baik dalam memajukan Indonesia kearah yang lebih baik dan mempraktikkan politik-politik dengan nuansa cinta.

*Penulis: Kolumnis LintasGAYO.co

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.