Aku Bahagia Menebar Fitnah dan Ujaran Kebencian di Medsos

oleh

Oleh: Husaini Muzakir Algayoni*

“Aku berpikir maka aku ada,” ungkapan dari bapak filsafat modern Rene Descartes, eksistensi manusia “Ada” dengan berpikir karena ciri khas manusia modern adalah berpikir secara rasional. Kemudian eksistensi manusia di zaman postmodern bahwa ia “Ada” dengan menebar fitnah dan ujaran kebencian yang ia lontarkan ke media sosial hasil ciptaan teknologi dari manusia modern dan dengan keeksistensiannya ia merasa bahagia dalam hati.

Aku memposting status di media sosial dengan fitnah dan ujaran kebencian maka aku bahagia, benarkah bahagia? Yang bisa menjawabnya hanya orang-orang yang telah memposting status tersebut. Kalau kita lihat pandangan filosof Socrates tentang kebahagiaan bahwa perbuatan seperti ini bukanlah suatu kebahagiaan karena dilandasi dengan kesenangan dan kesenangan ini dikendalikan oleh nafsu.

Perbuatan menebar fitnah dan ujaran kebencian di media sosial hanyalah kesenangan semata dari jiwa yang sedang sakit karena kalau akalnya sehat pasti ia berpikir “Untuk apa saya memposting status di medsos dengan menebar fitnah dan ujaran kebenciaan” padahal saya diajarkan di sekolah dalam mata pelajaran Akidah Akhlak dan Pendidikan Kewarganegaraan/PPKN untuk menjadi warga negara yang baik, berbudi pekerti dan dilarang memfitnah. Anehnya ada juga seorang pendidik menebar fitnah dan ujaran kebencian di media sosial, apa jadinya generasi bangsa jika dididik oleh orang-orang yang sedang sakit jiwanya karena hobi menebar fitnah dan ujaran kebencian di media sosial.

Ada juga kebahagiaan berada dalam level kehormatan, yang mana level ini adalah pengakuan. Kebahagiaan seperti ini ada pada orang-orang kaya gila harta dan jabatan, mereka bahagia ketika hartanya banyak dan mendapat jabatan. Lagi-lagi, kebahagiaan seperti ini bukanlah kebahagiaan. Adapaun kebahagiaan menurut Socrates adalah membuat jiwa dalam kondisi terbaik, untuk membuat jiwa dalam kondisi terbaik diperlukan kebajikan moral.
Nah, jadi judul di atas tidak benar adanya bahwa “Aku bahagia menebar fitnah dan ujaran kebencian di medsos” bahkan dengan menebar fitnah dan ujaran kebencian merupakan genosida bagi manusia dan sedang dilanda sakit jiwa dalam dirinya. Oleh karena itu, melahirkan kebahagiaan di media sosial haruslah berawal dari kebajikan moral dengan menebar pesan-pesan bermanfaat bagi diri sendiri dan bagi orang lain serta menambah wawasan pengetahuan.

Ada teori media sosial dan kebencian yang dijelaskan oleh Fakhruddin Faiz dosen Aqidah Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, satu teori yang dijelaskan oleh Fakhruddin Faiz ialah teori “Groundswell” sebuah trend sosial dimana orang untuk mendapatkan kebutuhannya lebih memilih dari orang lain ketimbang dari produsen. Ia mencari informasi apapun melalui teman atau komunitasnya. Sehingga secara tidak sadar, mencari informasi yang sesuia dengan pandangan mereka. Media sosial menyediakan kemungkinan itu adanya fitur-fitur untuk mengikuti orang-orang yang disukai sekaligus membuang mereka yang berbeda pandangan. Lama-kelamaan seseorang semakin terisolasi dalam kelompok masing-masing di dunia maya sehingga memunculkan pandangan yang semakin ekstrem.
Teori ini telah menjelma kaum media sosial dari orang awam hingga orang yang berpendidikan bahwa ia hanya mendengar dan mendapat informasi dari kelompoknya sendiri tanpa dipelajari terlebih dahulu secara mendalam dan parahnya lagi ketika mendapat informasi dari kelompoknya secara emosional ia menshare informasi tersebut kepada orang lain sebelum dicari kebenaran dan faktanya terlebih dahulu.

Solusi
Dulu, pada masa Yunani Kuno belum ada facebook dan medsos-medsos lainnya sehingga jauh dari obrolan-obrolan yang tidak berkualitas. Tradisi orang Yunani obrolannya dilesehan/duduk di atas lantai dan obrolannya berkualitas sehingga tidak heran banyak lahir dari Yunani filosof-filosof, sedangkan orang sekarang ngobrolnya di facebook, twitter dan obrolan-obrolannya tidak berkualitas maka lahirlah orang-orang saling memfitnah, orang ghibah, menebar kebencian dan kalaupun duduk bersama-sama dengan kawan-kawan seperti di warung kopi yang dipegang adalah hand phone tanpa ada diskusi berkualitas untuk menambah pengetahuan.

Solusi untuk menjauhi perbuatan menebar fitnah dan ujaran kebencian di media sosial adalah dengan menebar cinta, pesan-pesan damai dan sejuk dalam berkomunikasi di media sosial. Ketika mengkritik maka kritiklah dengan cara-cara yang beradab bukan dengan tidak beradab seperti menebar fitnah dan ujaran kebencian dan dengan mengobrol berkualitas tentunya.

Solusi lain ialah memperbanyak bahan bacaan yang mempunyai referensi yang jelas bukan dari sumber bacaan yang tidak jelas sumbernya sehingga dengan banyak membaca wawasan semakin luas dan ketika wawasan luas enak dan asyik ketika mengobrol, ada orang yang sumber bacaannya hanya dari facebook atau dari satu sumber dan sumbernya tersebut dari kelompoknya sendiri tanpa melihat dan mempelajari pandangan kelompok lain maka orang seperti ini pikirannya sempit dan orang yang berpikiran sempit sulit sekali diajak untuk berdiskusi.

Tulisan ini ditulis karena keresahan dan kegundahan penulis melihat fenomena media sosial yang semakin tidak terkendali dengan menebar fitnah dan ujaran kebencian. Oleh karena itu, para pemimpin di dataran tanah tinggi Gayo ini yang mempunyai kebijkakan baik itu bupati/wakil bupati, kepala dinas dan kepala sekolah untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat dan generasi-generasi milineal agar bijak dalam menggunakan media sosial.

Sebuah kalimat penutup dari Socrates “Pikiran yang kuat yang dibahas ide/gagasan, pikiran sedang yang dibahas pristiwa dan pikiran yang lemah yang dibahas orang.” Semoga kita terhindar dari orang-orang yang pikirannya lemah dan sempit karena hobi menebar fitnah dan ujaran kebencian di media sosial.

*Penulis adalah Kolumnis LintasGAYO.co

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.