Buku ; Kekasih yang Setia (Edisi Revisi)

oleh

Oleh: Husaini Muzakir Algayoni*

“Membaca buku adalah hiburan bagi orang yang menyendiri, munajat bagi jiwa, dialog bagi orang yang suka mengobrol, kenikmatan bagi orang yang merenung dan pelita bagi yang berjalan ditengah malam,” sebuah ungkapan penyemangat hidup dari seorang penulis ternama ‘Aidh al-Qarni. Dengan membaca buku bisa mengobati berbagai macam problematika kehidupan seperti rasa gelisah, galau, patah hati hingga hati terkoyak karena buku itu kata ‘Aidh al-Qarni mengandung faedah, tamsil kebijaksanaan, cerita dan hikayat yang sangat unik.
Betapa pentingnya buku bagi kehidupan, buku bisa dijadikan sebagai kekasih bahkan sahabat terbaik sepanjang masa sebagaimana pepatah Arab mengatakan “Khairu jalisin fij jamaani kitaabun” (The book is the good friend) sebaik-baik teman adalah buku. Buku bukanlah benda mati tapi seperti makhluk hidup yang bisa membuat sedih, semangat, tertawa atau merenung. Ketika membaca novel misalnya, kisah-kisah sedih diceritakan maka deraian air mata akan mengalir atau ketika membaca buku yang sifatnya filsafat maka pikiranpun semakin tajam karena pikiranpun butuh buku untuk mengasah ketajaman dalam berpikir.

Membaca buku seolah-olah buku itu teman bicara dalam keheningan malam, sahabat atau bahkan kekasih yang sedang memberikan nasihat dan lain sebagainya. Apalagi kalau membaca buku-buku yang bisa membangkitkan semangat, kata Andrea Hirata penulis Novel BestSeller Laskar Pelangi mengatakan bahwa “Buku yang bergizi adalah buku yang mampu menggerakkan pikiran.”
Buku ibarat seorang kekasih yang selalu menemani hari-hari kita maka melatih diri untuk selalu betah membaca perlu dipersiapkan dengan mengerjakan kegiatan pikir, dengan kegiatan pikir ini ketika tidak membaca maka akan menimbulkan sakit kepala. Seperti seseorang yang kita cintai ketika tidak bertutur sapa maka akan menimbulkan kerinduan mendalam, begitu juga dengan buku; ketika tidak membaca buku maka akan menimbulkan resah dalam hati.

Membaca Menimbulkan Kebahagiaan

Filosof Prancis yang juga sebagai bapak filsafat modern Rene Descartes (1596-1650) mengatakan “Aku berpikir maka aku ada” alasan ia mengatakan ini ialah bahwa manusia mempunyai potensi yang luar biasa yaitu akal dan akal itu harus digunakan untuk berpikir, oleh karena itu ia menganut aliran rasionalisme dalam pemikiran filsafatnya. Berawal dari perkataan tersebut maka penulis menggunakan kata “Aku membaca maka aku bahagia” maksudnya ialah dengan membaca buku, hati bisa berubah dari rasa sedih menjadi riang gembira, dari rasa pesimis menjadi optimis dan bahkan dengan membaca mampu membangkitkan jiwa-jiwa gersang karena kalimat-kalimat yang terurai dalam buku tersebut mempunyai hikmah yang sangat bernilai serta bahasa yang ada dalam buku bisa memberi warna pada perasaan.

Dalam catatan harian Ahmad Wahid (Seorang budayawan dan pemikir Islam yang meninggal dunia pada tahun 1973), catatannya tersebut telah dibukukan dengan judul Pergolakan Pemikiran Islam, beliau mengatakan “Dengan membaca aku melepaskan diri dari kenyataan yaitu kepahitan hidup, tanpa membaca aku tenggelam sedih.” Salah satu strategi ampuh mencari kebahagiaan adalah dengan membaca, ketika sudah mendapatkan kenikmatan dari membaca maka disinilah ia bertamasya dan bercinta dengan berbagai macam buku baik itu fiksi maupun non-fiksi.

Disisi lain membaca juga mempunyai peran sosial yang sangat penting dalam kehidupan manusia sepanjang masa, demikian diungkapkan oleh Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan dalam bukunya “Membaca sebagai suatu keterampilan berbahasa.” Beliau menjelaskan ada tiga alasan kenapa membaca mempunyai peran sosial yang sangat penting. Pertama, membaca itu merupakan suatu alat komunikasi yang sangat diperlukan dalam suatu masyarakat berbudaya.

Kedua, bahan bacaan yang dihasilkan dalam setiap kurun zaman dalam sejarah sebagian besar dipengaruhi oleh latar belakang sosial tempatnya berkembang itu dan yang ketiga, membaca dapat membuahkan kutub-kutub yang konstruktif (membina, memperbaiki) maupun destruktif (merusak, memusnahkan). Oleh karena itu menentukan cara-cara agar membaca itu dapat dengan baik mempromosikan kesejahteraan pribadi dan kemajuan kelompok. (Grey. 1957: 1099).

Mencari kebahagiaan begitu mudah seandainya kita menerapkan budaya membaca dalam kehidupan, tidak perlu mencari materi yang banyak seperti golongan hedonisme yang selalu diukur kebahagiaan itu dengan materi. Membaca juga bukanlah pekerjaan mahal, kita hanya mengalokasikan waktu khusus untuk membaca. Namun, amat disayangkan bahwa bangsa kita bukanlah gemar dalam membabaca. Oleh karena itu, kita harus mulai dari diri sendiri dan berjuang melawan diri sendiri untuk keluar dari budaya malas membaca sehingga membaca menjadi rutinitas yang terus digalakkan dalam kehidupan sehari-hari.

Sir Francis Bacon mengatakan ilmu adalah kekuatan “Ipsa scientia potestas est” bahwa hegemoni militer, politik dan ekonomi akan tumbang jika tidak didukung oleh pengetahuan. Untuk menghasilkan ilmu yang kuat itu tentunya perlu membaca dan seandainya terus dibayangi dengan budaya malas membaca maka tunggulah kehancuran atau tumbangnya bangsa dan agama karena kebodohan kita, oleh karena itu; jika tidak ingin bangsa dan agama kita tumbang maka harus menguatkan ilmu pengetahuan.

Dengan membaca juga seseorang bisa meraih kepuasan intelektual, ketika kepuasaan intelektual sudah dicapai maka ia bisa saja mencurahkan ide-ide yang ada dalam pikirannya dalam bentuk tulisan dan tulisan tersebut tentulah tulisan yang bersifat konstruktif bukan hal-hal yang berbau destruktif. Untuk bisa meraih itu semua tentulah terlebih dahulu menikmati membaca serta melatih diri untuk betah dalam membaca agar apa yang dibaca dapat membuahkan hasil yaitu sebuah daya pergerakan dalam berimajinasi dan berpikir.

Budaya membaca bisa dimulai dari individu masing-masing dan menjadikan membaca sebagai rutinitas yang terus digalakkan dalam kehidupan karena dengan membaca kita banyak tahu, dengan banyak tahu maka wawasan keilmuan semakin bertambah. Dengan membaca bukan hanya mengisi otak tapi juga mengisi nutrisi yang ada dalam hati yaitu sebuah kebahagiaan serta ketenangan dalam hati dan dengan membaca juga dapat meraih kepuasan, sebuah kepuasan bernama intelektual.

*Penulis: Alumni Ponpes Nurul Islam Blang Rakal Bener Meriah, Student Theology and Fhilosophy, Kolumnis LintasGAYO.co, Kompasianer (Penulis Blog Kompasiana.com) dan Qureta.com.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.