Tanpa Nelayan, Kita Makan Tanpa Lauk

oleh

Catatan : Nasril*

Perubahan warna kulit karena terkena sinar mentari sepanjang hari menjadi salah satu risiko yang harus dijalani para nelayan. Berjibaku di laut, menikmati bahkan lebih sering menantang ombak, pancing, jaring dan pukat menjadi alat pemungkas mereka mendapatkan ikan.

Menjalani beberapa hari di laut dan meninggalkan keluarga untuk memperoleh ikan sebagai sumber pendapatan agar dapur tetap mengepul. Perjuangan mereka sungguh berat, apalagi saat kondisi laut kurang bersahabat, hantaman ombak dan badai tidak bisa dielakkan.

Menaklukkan ombak lebih memikat mereka dari pada sibuk dengan perdebatan tentang pengesahan APBA yang nyatanya juga tidak segera disahkan. Bagi mereka, peraturan gubernur biarlah menjadi urusan para pemimpin di Aceh, karena harapan untuk kesejahteraan hanya mereka dapatkan ketika kampanye.

Perjuangan nelayan untuk mengais rezeki patut diacungi jempol. Karena tanpa mereka kelengkapan gizi kita akan berkurang.

Teringat puluhan tahun lalu di kampung saya, Laweung Mutiara Tiga Pidie yang rata-rata profesi masyarakatnya sebagai nelayan. Ketika itu, pendapatan mereka hanya cukup untuk kebutuhan sehari, belum lagi hal yang tidak terduga kapan saja bisa terjadi, rusak mesin misalnya atau suasana laut yang kurang mendukung bahkan ketika bulan sedang purnama hingga hasil tangkapan mereka berkurang atau bahkan tidak melaut sama sekali. Maka berhutang adalah satu-satunya cara  agar bisa memebuhi kebutuhan keluarga. Kondisi perekonomian yang seperti itu membuat beberapa teman saya putus sekolah. Adakah yang peduli?. Tak hanya ketika itu, hingga sekarangpun para nelayan masih mengalami hal yang sama.

Lain orang lain cerita. Kisah lain di kampung saya adalah ketika nelayan harus “merantau” ke kampung lain untuk bergabung dengan boat mereka. Pulang ke kampung hanya seminggu sekali untuk berkumpul bersama keluarga dan memberikan sedikit rezeki. Namun tak jarang ia harus pulang dengan tangan kosong, bahkan menitip pesan kepada kelurga untuk berhutang karena minimnya hasil tangkapan.

Maka lagu nenek moyangku seorang pelaut karya Ibu Soed hanya akan menjadi kenangan indah yang menjadi lagu nostalgia masa kecil. “Nenek moyangku seorang pelaut, gemar mengarung luas samudra, menerjang ombak tiada takut, menempuh badai sudah biasa”. Namun badai kehidupan menjadi sesuatu yang luar biasa yang mereka rasakan.

Selamat perjuang para nelayan. Semoga kesehteraanmu tak seperti memberi padi ketika pemilu namun ternyata hampa ketika telah menduduki kursi empuk di parlemen.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.