Pseudo Pendidikan ?

oleh

Oleh: Qusthalani*

Beberapa bulan belakangan ini, media cetak ataupun elektronik di negeri ini disungguhi berita yang menyayat hati dalam dunia pendidikan. Berita yang terus memojokkan antah berantahnya pencari ilmu dan pemberi ilmu.  Kasus-kasus yang terus menggerogoti para pelaku pendidikan. Contohnya beberapa minggu yang lalu adanya sebuah laporan dari LSM Pendidikan di Aceh akan dugaan penyelewengan dana sertifikasi oleh oknum tertentu.

Penyunatan terus terjadi pada jerih abdi pendidikan di negeri ini, yang berakhir damai di salah satu kabupaten muda negeri syariah ini. Belum lagi beberapa daerah yang menonjobkan para honorer didaerahnya, termasuk guru juga menjadi korban.  Kehebohan juga terjadi terhadap guru tingkat atas yang sudah beralih fungsi ke pegawai provinsi, terus meneriakkan keadilan akan sikap diskriminasi karena ada beberapa tunjangan yang dibedakan antara si bungsu di si sulung. Suara serak yang seakan tak berarti sama sekali.

Kasus yang menimpa negeri syariah ini bukan saja terjadi pada para pengambil kebijakan. Para manajer pendidikan pun di beberapa sekolah juga seakan tak butuh pendidikan atau pendidik itu sendiri. Kasus-kasus tak sedap pun terus di hembusi oleh oknum-oknum yang tak bertanggung jawab. Katakan saja ada beberapa oknum kepala sekolah seperti tak punya hati nurani, seperti tak ada izin bagi guru disana baik ketika sakit maupun ada kegiatan pengembangan diri. Guru tetap dikenakan sangsi berupa wajib bayar denda yang telah disepakati dengan warga sekolah lainnya atau mencari guru pengganti yang wajib dibayar oleh guru itu. Masih banyak oknum kepala sekolah yang kita lihat masih memperlakukan gurunya seperti anak buah, padahal jelas dalam dunia pendidikan dalam hal ini sekolah, guru dan kepala sekolah adalah rekan kerja untuk menyukseskan pendidikan di sebuah intansi pendidikan. Kepala sekolah adalah manajer bukan bos yang bisa memperlakukan anak buahnya sesuka hati mereka.

Bagaimana dengan para pendidik anak bangsa atau biasa disebut dengan guru tersebut ? Apakah mereka bebas dari dosa. Putih bersih bagai kertas tanpa coretan anak kecil. Tentu tidak, guru yang seyogyanya terus mengupgrade keprofesionalnya masih emmoh dan menganggap itu seperti angin lalu. Guru masih ogah-ogahan dalam belajar, masih menunggu bukan mencari. Seseorang yang sudah menyabet sertifikat pendidik yang profesional seharusnya guru lebih peka terhadap kemampuan yang telah dimilikinya. Bukan juga sibuk menyalahkan sistem yang dibuat pemerintah, tapi bagaimana mengikuti sistem itu dengan semaksimal mungkin. Tidak hanya berfikir kesejahteraan, tapi berfikir kewajiban yang telah diatur dalam UU Pendidikan.

Oleh karena itu penulis menganggap semua pelaku pendidikan di negeri ini sebagai pseudo pendidikan. Sebuah istilah yang biasanya disematkan pada binatang yang bisa bergerak seakan punya kaki, Binatang yang memiliki kaki semu ini disebut Rhizopoda, salah satu contoh yang memiliki kaki semua adalah Amoeba.
Begitulah kira-kira yang terjadi pada lingkunga pendidikan kita saat ini, mulai dari pengambil kebijakan, manajer sekolah, sampai pendidik itu sendiri. Mereka semua mengakui pendidikan itu pentng dan lebih utama. Semuanya juga percaya pendidikan yang baik, maka negera ini akan maju. Pendidikan yang berkualitas akan membentuk bangsa yang bermartabat. Kita haqqul lyakin semuanya hafal dan selalu diucapkan dalam kegiatan seremonial tertentu. Ucapan yang begitu fasih ketika menjual diri untuk naik ke singgah sana tinggi. Hafalan yang terus melekat, lebih cair dan lancar melebihi kitab suci umat muslimin.

Tapi ucapan tetaplah ucapan, teori tetaplah teori, aturan hanya ada di kertas suci. Tanpa kita sadari kita telah jadi pelaku pendidikan yang semu, tak berarti. Disadari atau tidak, tradisi pseudo pendidikan terus dipelihara seakan peliharaan cantik jelita tak boleh disentuh sama sekali. Itulah ironi pendidikan saat ini. Penulis akan menjelaskan lebih terperinci satu demi satu pseudo pendidikan yang telah diperbuat oleh pelaku pendidikan selama ini.

PEMERINTAH LEGISLATIF

Belum lekang dari ingatan kita akan pemberitaaan minggu yang lalu tentang pengesahaan APBA yang masing di awang-awang. Para wakil kita lebh alot membahasa tentang dana aspirasi daripada program lain yang ada dalam “kitab suci” tersebut. Rancangan anggaran yang telah dibuat belum ada kesepakatan antara kedua belah pihak, yang bisa mendgakibatkan akan di PERGUB nya APBA tersebut jika masih berlarut-larut dan tidak adanya titik temu.

Mengapa penulis perlu membahas ini ? Dimana hubungannya yang terhormat pata wakil rakyat dengan pendidikan. Jawabannya sederhana, ingat tugas dan kewajiban DPR. UU menyebutkan bahwa DPR memiliki tiga tugas dan wewenang, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.

Fungsi legislasi, coba kita perhatikan ada berapa aturan UU atau qanun yang telah dirancang untuk kepentingan pendidikan yang lebih bermartabat. Para wakil kita lebih asyik membahas kenaikan tunjangan dan gaji dirinya daripada memikirkan mutu pendidikan yang lebih baik. Sangat berbeda ketika “menjual diri” dan ketika sudah berada di istana megah. Padahal kita tahu Aceh memiliki keistimewaan dalam hal pendidikan, tetapi tidak pernah kita melihat ada kekhususan pendidikan Aceh dengan di luar Aceh. Contohnya tidak ada kita lihat pendalaman pendidikan agama dalam pendidikan umum, juga tidak adanya perbedaan pendidikan di sekolah umum dengan pendidikan di dayah terpadu. Tak ada sebuah draft pendidikanpun yang dibuat untuk menjadi ciri khas sebuah pendidikan yang menjalankan syariat islam.

Berbicara fungsi anggaran juga sangat riskan, dimana DPR yang memiliki kewajiban menyetujui akan usulan anggaran dari pemerintah. UU telah mengamanahkan 20% dari APBA untuk anggaran pendidikan, walau persentase itu di interpretasi berbeda oleh para birokrat kita.

Setidaknya para wakil rakyat harus terpatri dalam dirinya bahwa pendidikan itu sangat penting dalam menjalankan roda pemerintahan ini. Tapi yang terjadi sebaliknya, dana aspirasi lebih menarik daripada pembahasan lainnya.
Fungsi pengawasan juga masih timbul tanda tanya, ada uang abang sayang tiada uang abang kelaut aja. Ungkapan anak muda jaman now, hampir sesuai dengan fenomena itu, pengawasan tak berjalan maksimal. Ketika kita melihat milyaran rupiah dana pendidikan ke anggaran fisik, juga begitu banyak anggaran pelatihan guru yang itu-itu saja kegiatannya. Padahal semua tahu output dari kegiatan itu masih abu-abu. Milyaran rupiah anggaran pelatihan guru yang tak pernah ada inovasi itu melenggang mulus tanpa ada perhatian dari para wakil kita saban tahun itu.

Ketika para dewan terhormat berteriak pendidikan harus ditingkatkan dan mutu pendidikan di negeri ini harus diperhatikan. Kita akan akan bertanya dalam hati ? pendidikan itu tanggung jawab siapa.

PEMERINTAH EKSEKUTIF

Pengelolaan pendidikan nasional yang ditangani secara sentralistik selama 58 tahun kemerdekaan Negara Indonesia, sejak tahun 1945 sampai datangnya era reformasi tahun 1998 dan lahirnya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, ternyata telah menempatkan bangsa Indonesia dalam posisi sebagai bangsa yang jauh tertinggal dibanding negara-negara lain di dunia. Komitmen pemerintah Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan warga negaranya sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat, yang menegaskan: ”Pemerintah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,” ternyata masih mengalami banyak kendala dan hambatan.

Padahal, Pasal 31 ayat (1) Amandemen UUD 1945 secara tegas mengamanatkan, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan Ayat (2) menyatakan, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Hal ini dikukuhkan lagi dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang disahkan DPR 11 Juni 2003 dan ditandatangani Presiden 8 Juli 2003. Pada Pasal 5 ayat (1) disebutkan, “setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”.

Ini berarti bahwa pembangunan dibidang pendidikan harus menjadi prioritas utama untuk memajukan sebuah bangsa. Perubahan, kemajuan, dan peradaban sebuah bangsa hanya bisa dicapai melalui pendidikan. Oleh karena itu, Pendidikan harus dijadikan landasan dan paradigma utama dalam mempercepat pembangunan bangsa. Maka, dalam pengembangan kebijakan bidang pendidikan, pemerintah tidak bisa melakukannya dengan pasif, statis dan sebagai rutinitas belaka, yang tidak memiliki orientasi jelas. Tetapi, pembangunan pendidikan harus dilakukan secara dinamis, konstruktif dan dilandasi semangat reformis, kreatif, inovatif dengan wawasan jauh ke depan.

Saat ini, ada yang menarik dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia, karena pengelolaan pendidikan tidak hanya menjadi dominasi penuh pemerintah pusat, tetapi juga semakin memperbesar peran pemerintah daerah dalam rangka otonomi dan desentralisasi. Kehadiran UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah, yang disempurnakan dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah telah merubah konstelasi kebijakan pemerintahan dari sistem sentralistik menjadi desentralistik.

Keuntungan dari UU tersebut adalah pemerintah daerah dapat menyelengarakan pendidikan sesuai dengan daerahnya. Aceh apalagi yang sudah menyandang daerah khusus seharusnya dapat menyelenggarakan pendidikan yang lebih baik lagi. Kenyataannya seperti bumi dan langit, anggaran yang berlimpah, kewenangan bertambah, tapi mutu pendidikan terjun bebas dari yang pernah ada. Aceh berada pada peringkat kedua dari bawah dalam kualitas pendidikan peserta didik (Tribunnews.com, 2016).

Esensi dari UU tersebut juga pemerintah daerah punya kewajiban : pertama memfasilitasi adanya pendidik dan tenaga kependidikan. pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu (Pasal 41 Ayat (3). Beberapa langkah telah dilakukan seperti mengadakan seleksi secara online bagi tenaga honorer provinsi untuk menjaring guru yang bermutu. Namun perlu dipahami kulitas pendidik tidak hanya dalam bentuk angka-angka. Kualitas mendidik juga perlu dilihat dari jam terbang dan implementasi langsung dilapangan. Kedua, melakukan pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan. Perlu dipahami disini pengembangan profesional pendidik yang sudah menjadi tugas pemerintah bukan rutinitas saja.

Pemerintah perlu membuat terobosan dan inovasi dalam membina tenaga kependidikan. Jangan sampai pelatihan guru terkesan proyek saja. Tanpa adanya rule yang jelas, output yang diharapkan tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Ketiga, menyediakan anggaran pendidikan. Anggaran yang dimaksud dalam hal pengembangan pendidikan dan juga perlu diperhatikan kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan itu sendiri. Pemerintah daerah juga perlu memotivasi guru untuk lebih semangat dalam memberikan mutu pendidikan yang lebiih berkualitas, baik berupa tunjangan daerah ataupun reward lainnya. Punishment harus bisa berbanding lurus dengan reward yang ada.

PIMPINAN SEKOLAH

Pelaku pendidikan ini juga tidak luput dari menyelenggarakan pendidikan semu. Kita bisa lihat dalam lingkungan sekolah, seringkali pimpinan sekolah menjadi BOS bukan menjadi mitra dalam bekerja. Untuk menghasilkan peserta didik yang berkualitas seringkali dibebankan pada guru seorang, padahal mereka sudah hafal diluar kepala fungsi dari pimpinan sekolah.
Dalam Permendiknas No 28Tahun 2010 telah dijabarkan lebih jauh, diantaranya kepala sekolah sebagai edukator, manajerial, administrator, supervisor, leader, inovator dan motivator.

Berdasarkan permendiknas tersebut jelas terlihat bahwa seorang pimpinan sekolah harus bisa mengayomi rekan kerjanya untuk sama-sama mendidik anak bangsa untuk menjadi manusia yang lebih berguna.

Pimpinan sekolah yang notabenenya sebagai orang sangat penting dalam menyelenggarakan pendidikan di sekolah, tidak menjadi leader tetapi terus menjadi orang yang ditakuti oleh anak buahnya. Oknum pimpinan sekolah terus menjadi pseodu pendidikan tanpa dia sadarai.

PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

Perbedaan perlakuan antara tenaga profesi, khususnya guru dengan tenaga struktural ketika bergabung dengan Dinas Pendidikan Provinsi dalam hal kesejahteraan terus disuarakan oleh guru pendidikan atas di Aceh khususnya. Mereka merasa ibu mudanya seperti tidak pernah rela menerima anaknya yang baru lahir. Pertanyaannya, apakah layak guru mempertanyakan kesejahteraan itu ? Mari kita jawab bersama sesuai dengan data yang ada.

Dalam UU Guru dan Dosen No 14 Tahun 2005 pasa 14 ayat 1 disebutkan bahwa ada 14 hak yang harus diterima oleh guru, secara umum bisa disebutkan sebagai Kesejahteraan, Penghargaan dan Perlindungan. Didaerah ketiga hak ini seperti angin lalu, atau aliran sungai di hulu, tak berbekas sama sekali.

Selain itu guru diwajibkan untuk melaksanakan tugasnya secara profesional. Untuk menjalankan tugas secara profesional guru harus diberikan tunjangan profesi sebagai konsekuensinya. Selain itu guru juga terus di uji kemampuannya dalam Uji Kompetensi Guru (UKG) yang dilaksanakan oleh pemerintah.

Namun cukup ironis juga ketika masih banyak guru yang sudah melaksanakan kewajiban namun belum mendapatkan hak-hak yang semestinya bisa mereka dapatkan. Secercah harapan melalui pemberian TPG terus dikritisi, seakan itu didapatkan secara gratis oleh guru tanpa melalui proses yang begitu rumit.

Pemaknaan profesional guru yang masih keliru diantara pengambil kebijakan di negeri ini. Proses mendapatkan sertifikat pendidik atau PLPG yang patut dipertanyakan. Mulai dari KKM setiap tahun berubah-ubah. Tidak ada standar pendidikan, KKM berlaku bagi sampel yang berbeda. Sangat bertentangan dengan ilmu statistik bila ingin melihat mutu pendidikan.

Perlu kajian mendalam ketika menerapkan suatu kebijakan dan sebuah aturan. Pemerintah daerah juga perlu membuat payung hukum untuk melindungi profesi guru. Guru jangan terus dikriminasi oleh orang-orang yang berlindung dibawah UU perlindungan anak. Bukankah perlindungan profesi guru juga amanah UU.

Perlu pemahaman tentang pentingnya pendidikan dan pelaku pendidikan itu sendiri. Pendidikan adalah tugas dan tanggungjawab semua pihak bukan hanya guru. Semua harus bersinergi untuk memajukan pendidikan dan meningkatkan mutu pendididikan.

Aceh sebagai negeri syariat islam sudah sepatutunya mutu pendidikan dan pelaku pendidikan diperlakukan secara terhormat. Perlu ditarik benang merah disini apa tugas dan tanggung jawab pelaku pendidikan.

Jangan pernah menjadi pseudo pendidikan. Seperti binatang bisa bergerak kesana kemari, seakan punya kaki. Padahal dia hanya merangkak untuk mendapatkan pengakuan dunia bahwa dia bisa bergerak. Berbicara pendidikan tapi kita tak berpendidikan.

Pendidikan jangan disamakan seperti itu. Semua mengaku penting pendidikan, berkampanye bahwa pendidikan yang utama. Namun itu hanya dimulut saja saat akan adanya pesta demokrasi untuk naik ke singgah sana tinggi.
Guru semakin tercepit, sedikit akan merasakan hangatnya cahaya matahari semuanya mulai mengkritis. Pelaku pendidikan menganggap seakan pendidikan bisa dirubah dalam waktu dua atau tiga tahun.

Mereka menyalahkan guru yang tak becus bekerja walaupun sudah diberikan tunjangan yang mumpuni. Mereka tak paham bahwa pendidikan tak hanya diguru saja, karena ada pelaku pengambil kebijakan dan aturan yang ada. Guru hanya eksekutor yang menjalankan perintah. Perintah yang tak beraturan, juga akan menghancurkan jalan yang dikerjakan sang pendidik. Guru yang bekerja tak nyaman juga bisa mengurangi proses mengajarkan anak bangsa.

Kesejahteraan yang terus disorot dan dipantau seakan kita sudah menggerogoti uang negara, juga terus jadi dilema. Berbagai tudingan disematkan pada guru. Riset abal abal pun mulai di publis seakan tak ada korelasi antara penambhaan kesejahteraan dan mutu pendidikan.

Membahasa dari satu sisi saja, seperti pisau yang terus menghujam ke jantung hati para pendidik. Riset yang masih dipertanyakan keabsahannya itu juga menjadi senjata bagi mereka pelaku pseudo pendidikan.
Mudah-mudahan kita paham, guru dan pendidikan adalah sama pentingnya. Jangan hanya menuntut mutu pendidikan dari guru saja, namun hak mereka dibedakan. Jangan hanya menyalahkan ketika mutu pendidkan turun, tapi tak pernah terbuka mata ketika sebuah keberhasilan yang dihasilkan Pseudo pendidikan, seakan haram di negeri yang mengakuinya dirinya Islam. Semoga!

Wallahu ‘Alam Bissawab

*Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Kabupaten Aceh Utara, Wakil Ketua Literasi Kabupaten Aceh Utara, Guru SMAN 1 Matangkuli

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.