Saman di Mata Dr Rajab Bahry

oleh
Rajab Bahri saat menari Saman (Ist)


Dr Rajab Bahry, M. Pd dosen unsyiah dan penari saman sejak tahun 1972. Rajab Bahri tidak ingat kapan pertama kali ia belajar saman. Sebab sejak kecil ia sudah terbiasa bermain Saman. Di balai-balai desa ia berlatih.

“Seperti orang Aceh makan pliek u, siapa yang ingat pertama kali memakannya?” ujar Rajab.

Saman adalah kebanggaan masyarakat Gayo. Maka di mata Rajab, saman tak sekedar tarian. “Dulu, kalau orang Gayo tidak bisa bermain saman, rasanya ada yang kurang,” ungkapnya.

Darah penari saman memang telah mengalir dalam diri Rajab. Ayahnya adalah penari saman begitu pula tiga saudara lelakinya. Hampir seluruh hidupnya melekat pada saman. Saman pula yang membawa dirinya dihadapan Presiden Soekarno, hingga menapakkan kaki di Amerika.

Rajab bercerita, meski Saman telah menjadi keseharian masyarakat Gayo, tapi orang luar baru mengenal Saman pada tahun 1972 saat pelaksanaan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) kedua. Saman ketika itu menjadi tarian favorit. Menteri penerangan kala itu, Budiardjo sampai terpesona melihat harmoninya gerakan penari saman.

“Di Aceh itu orang menarinya sampai seribu!” Rajab menirukan ucapan Boediardjo. Sejak itulah saman dikenal sebagai tarian tangan seribu. “Bukan seribu tangan, ya!” tegas Rajab.

Lalu saat peresmian Taman Mini di Jakarta tahun 1974, penari saman dari Aceh Tenggara juga diundang. Ibu Tien Soeharto kagum melihat eksotisnya tarian ini. Samanpun semakin dikenal publik.

“Waktu itu saya belum ikut, abang saya yang ikut,” kata Rajab.

Tahun 1975, barulah kesempatan datang kepada Rajab. Saat itu, pemerintah pusat meminta 30 orang penari untuk tampil pada peringatan kemerdekaan Republik Indonesia ke-30 tahun di Istora Senayan.

Ada cerita menarik kala itu saat pihak panitia sengaja merahasiakan jumlah penari yang akan dibawa ke Jakarta. Maka Rajab dan teman-temannya terus berlatih tanpa kepastian.

Setiap akan berlatih mereka terlebih dahulu pergi ke studio foto milik orang Gayo yaitu Ceding Ayu. Sebab disanalah diumumkan nama-nama yang terpilih.
“Kalau ada nama kalian di dinding, nah pergilah latihan,” kenang Rajab.

Hingga minggu terakhir latihan, barulah rahasia itu diumumkan. Rajab sampai bengong, ia hampir tak percaya namanya tertulis di dinding tersebut. Itulah pertama kalinya Rajab tampil di tingkat nasional dan disaksikan oleh Presiden Soeharto.

Perasaan saya waktu itu gugupnya bukan main, foto saya macam orang penakut, takut salah,” ungkapnya.

Sejak hari itu, Rajab menjadi pemain inti Penari Saman Aceh Tenggara. Ia berulang kali tampil di pentas nasional, seperti Festival Tarian Rakyat tahun 1977 dan Festival Tarian Internasional tahun 1978.

“Jadi waktu masih nganggur, saya sudah tiga kali ikut mewakili Aceh pada acara saman tingkat nasional,” ucapnya sambil tertawa.

Rajab Bahri saat menari Saman (Ist)

Sejak itu pula saman tak terpisahkan dari hidup Rajab. Bahkan saat kuliah di Banda Aceh, Rajab selalu tampil di Taman Budaya.

Tahun 2012, Rajab kembali dipercaya tampil di Hawai University mewakili Unsyiah dalam kegiatan Muhibbah Seni.
Ternyata itulah terakhir kalinya Rajab menarikan Saman. Kondisi fisiknya yang lemah menjadikan Rajab tak segesit dulu lagi. Bahkan saat pemerintah Gayo Lues memintanya secara khusus untuk tampil memecahkan rekor 10.001 penari Saman beberapa waktu lalu, Rajab dengan halus menolaknya.

“Ini mau pecahkan rekor, lalu tiba-tiba saya tumbang. Bisa negatif rekornya, kan, repot,” ujarnya.

Meski tak lagi menarikan Saman, kecintaan Rajab pada Saman tak penah hilang. Ia selalu bersedia memberikan informasi kepada siapapun yang ingin bertanya tentang tari yang telah ditetapkan oleh Unesco sebagai Warisan Busaya Tak Benda ini.

Rajab juga telah menulis konsep orisinalitas Saman. Tulisan tersebut telah dibagikan oleh pemerintah daerah kabupaten Gayo Lues ke masyarakat agar Saman terus lestari.

Atas semua desikasi Rajab pada Saman, ternyata ia diam-diam menyimpan kerinduan lain yaitu masa depan saman dalam garis keturunannya. Istri Rjab merupakan orang Minang dan kini bersama ketiga anaknya menetap di Jakarta. Rajabpun harus berbesar hati bahwa tak ada keturunannya mahir menari Saman.

“Seringnya saya menangis kalau lihat anak-anak muda menari saman. Oh, andaikan itu anak-anak saya,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

Maka Rajab terus berjuang agar Saman tak hilang. Ia senang jika saat ini saman telah dikenal luas dan siapapun dapat menari Saman. Menurutnya Saman bisa seperti ini karena disenangi banyak orang.

Hanya saja Rajab berharap Saman tak hilang di tanah asalnya sendiri yaitu Gayo Lues. Begitu pula dengan nilai-nilai yang terkandung di Saman itu sendiri. Sebab Rajab khawatir, sikap pragmatis yang ada dalam kehidupan sehari-hari menjadi ancaman rusaknya nilai saman.

“Sekarang kalau mau tampil saya dibayar berapa? Maka orang menilai saman itu tidak lagi seperti dulu. Makanya waktu festival saman di PKA dulu, jurinya itu saya. Harusnya saya kembalikan ke dasar,” pungkasnya.

Sumber: Warta Unsyiah

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.