Dianggap Tidak Mengakomodir Semua Kalangan, GPA Tolak Himne Aceh

oleh
Gerakan Perempuan Aceh
Gerakan Perempuan Aceh

BANDA ACEH – LintasGAYO.co : Sayembara Himne Aceh diyakini akan ciptakan konflik sosial baru di Aceh. Untuk itu Gerakan Perempuan Aceh (GPA) menerbitkan “kertas posisi” menolak proses sayembara dan substansi Himne Aceh yang menurut GPA tidak partisipatif, ekslusif, dan diskriminatif.

Menurut perwakilan dari GPA Arabiyani, perempuan Aceh sangat memahami Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) pasal 248 ayat (2) dan (3), telah memandatkan DPRA untuk merancang Qanun tentang bendera, lambang, dan himne yang dianggap sebagai bagian dari keberlanjutan perdamaian Aceh.

Lanjutnya, salah satu bentuk penerapannya adalah penyusunan Himne Aceh melalui sayembara dengan syarat sebagaimana yang tertulis di Harian Serambi Indonesia pada 18 Oktober 2017 lalu, dari pernyataan Ketua Steering Committee (SC) Abdullah Saleh Himne dilantunkan dalam bahasa Aceh, berlandaskan syariat Islam, mencerminkan budaya Aceh, semangat kecintaan, perjuangan, dan identitas masyarakat Aceh.

“Himne mencerminkan aspek filosofis, historis, sosiologis, politis, dan dinamika masyarakat Aceh,” begitu kata Abdullah Saleh yang juga menjelaskan bahwa proses penyusunannya melalui FGD untuk menghimpun semua pandangan dan masukan.

Arabiyani melanjutkan bahwa, sayangnya, dalam proses tersebut, penghormatan terhadap hak-hak kultural kaum minoritas kurang mendapat tempat sehingga melahirkan lapisan luka di tengah masyarakat yang terus bertimbun tanpa disadari. Tidak hanya bagi masyarakat minoritas, tetapi juga bagi kelompok masyarakat yang peduli dalam perjuangan kesetaraan-keadilan. Menurutnya, proses FGD juga dinilai tidak partisipatif.

“Ini terlihat dengan tidak terlibatnya seluruh pemangku kepentingan di dalam FGD ini, termasuk kelompok minoritas dan kelompok perempuan. Aceh sebagai daerah dengan masyarakat dari berbagai suku dan etnis yang beragam, juga berkontribusi pada proses perdamaian, begitupun kelompok perempuan. Perempuan telah memiliki peran sangat signifikan, baik ketika masa konflik maupun perdamaian, sehingga keterlibatan perempuan dalam penyusunan seluruh kebijakan, termasuk sayembara tentang Himne Aceh, merupakan keharusan,” tegasnya.

Sementara itu, Zubaidah Djohar menambahkan, Gerakan Perempuan Aceh percaya bahwa semua bentuk diskriminasi berdasarkan nilai-nilai inheren manusia, seperti etnis dan ras, harus bersama-sama dihilangkan dari kehidupan.

Mengingat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, jelasnya, telah lahir dari pertimbangan yang menyatakan bahwa, (a) umat manusia berkedudukan sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan umat manusia dilahirkan dengan martabat dan hak-hak yang sama tanpa perbedaan apa pun, baik ras maupun etnis; (b) segala tindakan diskriminasi ras dan etnis bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; (c) segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan berhak atas perlindungan terhadap setiap bentuk diskriminasi ras dan etnis; (d) adanya diskriminasi ras dan etnis dalam kehidupan bermasyarakat merupakan hambatan bagi hubungan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian, keserasian, keamanan, dan kehidupan bermata pencaharian di antara warga negara yang pada dasarnya selalu hidup berdampingan.

“Sebagai bagian dari Indonesia, Aceh wajib berpegang pada Undang-undang yang melindungi hak-hak minoritas – ragam etnis yang ada,” ujar Zubaidah.

Ia juga menambahkan GPA juga percaya pada hak asasi manusia yang tertuang dalam Islam tentang Hak Persamaan dan Kebebasan (QS. 17:70, Qs.4:58, Qs. 60:8), yang juga mengutamakan tanggungjawab sosial tentang hak hidup, hak pemilikan, hak keamanan, dan hak keadilan.

Jelasnya, salah satu hak keadilan yang harus dimiliki manusia (dan sekelompok etnis tertentu) adalah berhak menolak aturan yang bertentangan dengan ajaran Islam yang mengenyampingkan penghargaan terhadap keberagaman suku, sekaligus berhak pula menuntut perlindungan pemerintah, termasuk wakil rakyat, yang dapat memberikan perlindungan dan pembelaan terhadap rakyat dari bahaya kesewenang-wenangan.

“Meningkatnya gelombang penolakan yang berdampak pada konflik antar suku atau etnis, perlunya Negara hadir untuk melindungi dan menyelesaikan dengan penuh integritas sebagaimana janji dalam sumpah jabatan di bawah al- Qur’an. Pemerintah, dan jajarannya, terutama Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA),” imbuh Zubaidah

Arabiyani berharap sebelum Sidang Pleno diketuk palukan, wakil rakyat Aceh yang duduk di komisi terkait bisa mendengar aspirasi rakyat yang memilihnya dan berpikir ke depan sehingga himne Aceh yang nanti disayembarakan tidak menimbulkan konflik sosial baru di Aceh.

Rashidah sebagai Presidium Balai Syura Ureung Inoeng Aceh menegaskan Perlu dipikirkan bersama, bahasa apa yang baiknya dipergunakan pada himne Aceh sehingga tidak ada lagi suara-suara penolakan dan semua bisa merasa bahwa Himne Aceh memang milik semua suku atau etnis yang ada di Aceh,

“Karena inilah maka Gerakan Perempuan Aceh menolak himne Aceh yang tidak merepresentasikan keberagaman yang ada di Provinsi Aceh, menolak proses sayembara himne yang tidak partisipatif, dan menuntut upaya konkrit Pemerintah Aceh dan wakil rakyat untuk memastikan terbitnya Himne Aceh yang mengakomodir keberagaman yang ada, demi keharmonisan hidup masyarakat dalam bingkai “damainya Aceh” pungkas Rashidah. [Saniah]

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.