Nolwenn Leroy ; Kerinduan Pada Bahasa dan Budaya yang Hilang

oleh
Sumber foto : http://fillessourires.com/nolwenn-leroy/

Oleh : Win Wan Nur

Sumber foto : http://fillessourires.com/nolwenn-leroy/

Nolwenn Leroy adalah seorang penyanyi Prancis yang namanya mulai dikenal sejak tahun 2002 ketika dia memenangkan  Star Academy, sebuah ajang pencarian bakat di televisi.

Sejak itu namanya mulai berkibar di blantika musik Prancis, pasca acara itu, berturut-turut dia mengeluarkan album  Nolwenn (2003), Histoires naturelles (2005) dan Le Cheshire Cat et moi (2009). Ketiga album ini sukses di pasaran, masing-masing terjual ratusan ribu copy.

Di negara kita, Prancis secara umum dikenal sebagai negara yang hanya menggunakan bahasa Prancis dalam keseharian penduduknya.  Tidak banyak orang yang tahu kalau Prancis adalah negara eropa barat yang memilik lanskap linguistik yang paling beragam.  Prancis setidaknya memiliki 20 bahasa dan puluhan dialek daerah asli Prancis, yang bukan dibawa oleh imigran pasca kolonial.

Mulai dari bahasa Breton atau Brezhoneg menurut penutur aslinya di bagian paling utara, Basque, Occitan, Catalan sampai Corsu yang merupakan bahasa ibu orang Corsica yang terletak di bagian paling selatan Prancis.

Tapi sekian bahasa dan dialek itu sekarang rata-rata kehilangan penuturnya akibat  penerapan undang-undang Prancis yang bersifat represif terhadap bahasa-bahasa non Prancis. Pada konstitusi Republik kelima, pada ayat keduanya  mengatakan bahwa – “la langue de la République est le français.”  Bahasa Republik adalah bahasa Prancis.

Hal ini kemudian dijadikan landasan konstitusional oleh pemerintah Prancis untuk mengabaikan nilai bahasa daerah dan bahasa lain yang digunakan di Prancis.

Nolwenn Leroy sendiri berasal dari Bretagne, wilayah paling utara Prancis yang langsung berhadapan dengan selat Inggris. Penyanyi yang sekarang bersuamikan petenis Arnaud Clement ini lahir pada tanggal 28 september 1982  di  Saint-Renan, Finistère. Ini adalah wilayah Bretagne yang langsung berhadapan dengan Wales.

Berbeda dengan mayoritas penduduk Prancis yang nenek moyangnya adalah suku-suku asli Eropa daratan. Orang Breton aslinya berasal dari kepulauan Inggris. Mereka adalah bagian dari bangsa Celtic. Nama Bretagne sendiri dalam bahasa Inggris disebut Brittany yang secara harfiah berarti Britania Kecil (kebalikan dari Britania Raya.) Bahasa yang mereka gunakan juga berakar dari bahasa Celtic, bukan latin seperti bahasa Prancis dan mayoritas bahasa daerah Prancis yang lain.

Jejak nenek moyang orang Breton yang berasal dari Inggris ini bisa dilihat dari legenda dan cerita rakyat yang berkembang di Breton. Cerita-cerita itu sama seperti ada yang di kepulauan Inggris, sebuat saja misalnya cerita tentang Legenda Raja Arthur dan Penyihir Merlin.  Demikian juga musik tradisional Breton juga memiliki akar yang sama dengan musik tradisional Inggris. Bahasa Breton sendiri berkerabat dekat dengan bahasa Wales.

Sebelum perang dunia I, ada lebih dari sejuta orang penutur bahasa Breton. Tapi dengan semakin kuatnya politik represi bahasa Prancis, membuat hari ini penutur bahasa Breton tinggal beberapa ribu orang saja, dan itupun rata-rata sudah berusia lanjut.  Bahasa ini berada di ambang kepunahan.

Tapi ternyata bahasa seperti halnya harta berharga apapun, baru terlihat harganya setelah kita hampir kehilangannya. Demikian juga dengan bahasa Breton. Ketika bahasa ini hampir punah,  mulai timbul kesadaran pada generasi mudanya untuk menyelamatkan bahasa warisan nenek moyangnya ini.

Satu dari sekian anak muda yang memiliki kesadaran itu adalah Nolwenn Leroy yang sudah menjadi penyanyi papan atas di Prancis.

Sebagai bentuk perjuangannya untuk menyelamatkan bahasa aslinya, Nolwenn Leroy, memberi nama Bretonne untuk album keempat yang dikeluarkannya.

Bukan sekedar nama, pada album ini, di antara lagu-lagu berbahasa Prancis dan Inggris,  Nolwenn juga menyanyikan empat  lagu berbahasa Breton, salah satunya adalah Bro gozh ma zadoù  yang diartikan ke bahasa Indonesia sebagai Tanah tua bapakku. Lagu ini adalah Hymne nasional Bretagne yang iramanya persis sama dengan  Hymna nasional Wales Hen Wlad Fy Nhadau yang artinya juga Tanah tua bapakku. Tiga lagu berbahasa Breton lainnya adalah Tri Martolod, Suite Sudarmoricaine dan Karantez Vro.

Dalam wawancara di  C’est au programme,  sebuah acara di Channel 2 Prancis, Nolwenn mengatakan kalau album ini adalah Album Egois yang didasarkan pada egonya sendiri dan ide untuk menyanyikan lagu-lagu ini selamanya sudah ada di kepala dan di hatinya karena  dia sudah menyanyikannya ketika dia masih sangat kecil.

Uniknya, Nolwenn sendiri mengaku kalau dia sudah tak bisa berbahasa Breton.  Kepada pembawa acara dia menceritakan

– Ketika kami kecil orang tua kami berbicara bahasa Breton, tapi ketika kamu masuk ke dalam satu masyarakat banyak supaya kamu terlihat berkelas, kamu berbicara sesedikit mungkin Bahasa Breton.

Dari apa yang disampaikan Nolwenn, kita bisa melihat kalau peminggiran bahasa Breton secara konstitusional ternyata telah membuat penutur bahasa ini minder dan melihat bahasanya sendiri sebagai bahasa kampungan yang sama sekali tak berkelas.

Karena tak bisa lagi berbahasa Breton, sebagai bagian dari totalitasnya untuk album ini, supaya dia bisa menyanyikan lagu-lagu berbahasa Breton ini dengan tepat , memastikan aksennya ketika menyanyikan lagu itu tidak kacau,  dia sampai-sampai secara khusus menyewa seorang guru untuk mengajarinya bahasa Breton.

Selain itu, karena lagu-lagu daerah Breton ini sudah jarang dinyanyikan, lagu-lagu ini pun mulai dilupakan orang.

“ Lagu Tri Martolod contohnya,  pada generasi saya sudah lupa pada versi aslinya. Jadi saya mencoba menemukan kembali dan membuatnya didengar oleh generasi saya dan generasi yang lebih muda dari saya,” papar Nolwenn di acara itu.

Apa yang dialami oleh Nolwenn dan masyarakat Breton adalah bukti, bagaimana sebuah bahasa, dan budaya bisa hancur karena adanya represi dari kultur dominan yang mayoritas.

Pemaksaan oleh mayoritas ini tentu saja tidak terjadi serta merta. Semua berproses secara halus, pelan tapi pasti. Dimulai dengan membuat definisi siapa yang disebut orang Prancis, kemudian bahasa apa yang boleh disebut bahasa Prancis dan kemudian lagu-lagu yang dikembangkan pun hanya lagu bahasa Prancis dan hasilnya, padamlah satu kultur dan budaya karena kelalaian orang-orangnya.

Akhirnya generasi masa depan kehilangan akarnya dan memendam kerinduan pada budaya dan bahasa nenek moyangnya.

Kerinduan ini bisa kita lihat pada lirik salah satu lagu berbahasa Breton dalam album Nolwenn ini, Karantez Vro (https://www.youtube.com/watch?v=dWF1IxVZilU) yang kalau diartikan ke dalam bahasa Gayo kurang lebih berarti  “Tawar Sedenge.”

Gwasket ‘voe va c’halon a-dra-sur
Met ‘gare ket pezh a garan.
Dezhañ pinvidigezh, enorioù,                                                
Met ‘drokfen ket evit teñzorioù
Va Bro, va Yezh ha va Frankiz.

Yang kalau diartikan dalam bahasa Indonesia :

Dia tidak menyukai apa yang saya suka
Baginya kekayaan dan kehormatan adalah segalanya
Biarkan saya, tolong, tidurlah.
Biarpun saya jatuh dalam kemiskinan dan kehinaan
Tapi saya tidak akan menjualnya, meski ditukar dengan harta karun sebanyak apapun
Negeri  saya, bahasa saya dan kebebasan saya

Mengingatkan kita pada lirik “Lagu Kebangsaan” Gayo ini yang berbunyi :

Nti osan ku pumu n’jema
Pesaka si ara
Tenaring ni munyang datu
Ken ko bewenmu


Sumber foto : http://fillessourires.com/nolwenn-leroy/

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.