Hukumen

oleh

Oleh. Drs. Jamhuri Ungel, MA*

jamhuri

Sebagai bangsa yang mempunyai peradaban yang tinggi tentu saja bangsa tersebut memiliki aturan atau undang-undang, demikian halnya dengan Negeri Gayo. Negeri Gayo mempunyai undang-undang dan peraturan yang apabila ada yang melanggarnya akan dijatuhi hukuman. Dari itu di dalam masyarakat gayo dikenal beberapa macam hukuman, yaitu :

Cengkek, adalah jenis hukuman yang diberikan kepada orang yang sengaja menghilangkan nyawa orang lain sebagai realisasi pelaksanaan hukum qashash, Pelaksanaan hukuman cengkek dengan memasukkan leher pelaku pembunuhan ketengah (diantara dua utas tali) untuk selanjutnya kedua ujung tali tersebut diputar kesebelah kanan, salah satu ujung tali dipegang oleh keluarga terhukum dan sebelah lagi dipegang oleh pemimping atau petua kampung.

Kerusung, hukuman ini dijatuhkan kepada pemimpin yang melakukan perbuatan pidana. Cara menjatuhkan hukuman dengan melilit daun pisang yang sudah kering (kerusung) ke tubuh pelaku dan selanjutnya dibakar.

Dedok, adalah hukuman yang diberikan kepada mereka yang mengetahui agama karena mereka adalah orang yang dihormati dan seharusnya menjadi contoh dalam prilaku dan akhlak. Hukuman seperti yang disebutkan di atas semuanya berbentuk hukuman mati, dan diyakini tidak bertentangan dengan Islam karena Islam hanya menyebut dengan Qashash, namun tidak menyebutkan bagaimana cara penjatuhan hukumannya, Dan hukuman cengkek, kerusung dan dedok adalah cara penjatuhan hukuman qashash.Untuk mendukung kebenaran pendapat ini ada ungkapan adat “edet kin peger ni agama”.

Ada juga hukuman yang disebut dengan jeret naru, Hukuman jeret naru atau juga disebut dengan istilah Paraq, yaitu hukuman yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan yang menikah sara urang atau sara belah. Kata Sara belah atau sara urang mempunyai makna : kata sara belah merupakan kumpulan orang yang pada dasarnya berasal dari satu keturunan, sedangkan sara urang adalah kumpulan orang yang pada dasarnya berasal dari satu kampung asal yang sama.

Tujuan dari pelarangan pernikahan sara urang ini adalah untuk memelihara dan menjaga supaya tidak terjadi perbuatan yang melanggar agama, seperti khalwat dan zina yang berakhir dengan terpaksanya dinikahkan, pelaksanaan adat ini menimbulkan hukum lain yaitu antara sesama anggota masyarakat menganggap sesama mereka adalah satu keluarga yang saling menjaga dan saling menghargai.

Pengaruh modernisasi dan kemajuan teknologi membuat masyarakat meninggalkan agama dan edet yang menjadi bidê dan denê. Bidê dapat dimaknai dengan start atau tempat memulainya perbuatan yang dimaknai dengan perlunya agama dalam kehidupan. Sedangkan denê maknanya jalan yang harus dilalui untuk menuju suatu tempat. Dalam falsafah kehidupan lebih didekati dengan perlunya adat dalam menjalani kehidupan. Sehingga ketika terjadi pelanggaran agama dan adat maka tidak lagi tau kemana harus kembali, karena pengetahuan tentang agama dan adat telah dangkal dalam masyarakat.

Sebagaimana yang penulis bahas pada tulisan Hidup Di Persimpangan Jalan, bahwa perbuatan dosa yang dilakukan tidak lagi dianggap sebagai dosa tetapi lebih dianggap sebagai kesilapan bahkan sesuatu yang dimaklumi dan seolah menjadi tradisi.

Demikan juga dengan pembunuhan terhadap janin yang masih dalam kandungan dan setelah melahirkan dianggap biasa sama halnya dengan membuang air kecil dan air besar yang cukup dicuci dengan air dan setelah itu dianggap bersih, bunuh diri, membunuh karena kecemburuan, karena hutang atau karena alasan lain dianggap sebagai suatu perbuatan yang mengakhiri hidup yang penuh beban dan persaingan dan untuk menghindari itu semua jalan yang diambil adalah mengakhiri hidup.[]

*Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.