Caleg dan Uang

oleh
Spanduk di tikungan jalan pasar tradisional Takengon

Oleh: Husaini Muzakir Algayoni*

“Kalau kita layangkan kritik, para elite pasti bilang, “Ngomong aja luh bisanya, coba kerjain.” Nah lho, bukannya ngomong itu juga kerja?”

Pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Terhormat (Calon Legeslatif) masih jauh didepan mata namun tidak bagi caleg yang ingin duduk dikursi goyang bermandikan uang, mereka melihatnya sudah berada didepan mata dan siap menyambutnya dengan suka cita bak senyuman burung pipit. Genderang pun dimulai dari caleg yang ingin maju dengan cuitan-cuitan di media sosial maupun yang terekspos oleh media dengan lafaz-lafaz klasik yaitu membawa perubahan dan mensejahtrakan rakyat miskin.

Sebuah ungkapan yang selalu terekam dalam memori penulis yaitu ungkapan dari Thomas Jefferson “Politikus memikirkan pemilihan yang akan datang, sementara negarawan memikirkan generasi yang akan datang.”Dalam pikiran politikus tentu yang dipikirkan hanya pemilu, sosok siapa yang menjadi calon legeslatif dan berapa uang yang harus disiapkan untuk bisa mulus ke kursi DPR, oleh karena itu para politisi maupun yang bernafsu ingin duduk di kursi DPR telah menyiapkan jauh-jauh hari strategi ampuh agar bisa menuju gedung bermandikan uang.

Satu hal yang aneh dari lembaga terhormat ini adalah bahwa lembaga DPR kurang dipercayai oleh masyarakat bahkan sebahagian lain sangat membencinya karena orang-orang yang ada didalamnya tugasnya hanya mencuri uang rakyat, berkelahi antara sesama atau tidur-tiduran dikursi goyang dan lupa janji-janjinya bersama rakyat sewaktu kampanye. Walaupun begitu, semua orang ingin menjadi anggota DPR; tak peduli ia seorang ulama, akademisi, aktivis, pengusaha, tokoh dan tentunya aktor utama yaitu politisi yang hanya memikirkan pemilu. Ada apa gerangan wahai saudaraku di lembaga tersebut atau apakah disana banyak uang ?.

Menarik untuk direnungkan dari perkataan Kautilya “Mustahil bagi seseorang yang berurusan dengan uang pemerintah untuk tidak mencicipinya, meski sedikit saja.” Atau perkataan dari HL Mencken 1880-1956, Jurnalis AS “Ketika seseorang berkata ini tidak ada hubungannya dengan uang, sebenarnya dia sedang membicarakan soal uang”. Uang lagi-lagi uang, manusia modern tak kan terlepas dari yang namanya uang karena sifat manusia modern ialah hedonis, pragmatis dan materialis.

Dalam pemilihan calon legeslatif banyak tipe-tipe orang yang akan bermunculan seperti pura-pura baik, orang jahat, benar-benar baik dan orang bijak begitu langka. Mereka akan bertikai demi kepentingan kelompok dan pribadi demi memuluskan ambisi ke gedung terhormat, dengan keserakahan ini menimbulkan permusuhan antar sesama anak bangsa. Sebagaimana“Nasihat Malikussaleh kepada anaknya Malikuddhair dalam Novel Samudra Pasai: Cinta dan Pengkhianatan, “Ketidak puasan bukan hanya berkaitan dengan kebijakan. Keserakahan juga bisa melahirkan ketidakpuasan. Keserakahan itulah yang melahirkan tamak, dengki dan nafsu ingin berkuasa melebihi apa yang telah diberi. Berhati-hatilah dengan keserakahan, karena keserakahan itulah yang melahirkan permusauhan.”

Arvan Pradiansyah penulis best-seller The 7 Laws Happiness dalam bukunya “Kalau mau bahagia, jangan jadi politisi”. Beliau menyebutkan dalam bukunya politik adalah seperti yang dirumuskan Harold Laswell, yaitu: Who gets, What, When and How. Politik adalah siapa, mendapatkan apa, kapan dan bagaimana. Coba saja kita perhatikan apa yang terjadi menjelang PEMILU di Indonesia ini, bukankah orang-orang hanya membicarakan siapa akan mendapatkan apa, kapan dan bagaimana caranya. Lihatlah apa yang dilakukan para politisi kita. Lihat pula bagaimana analisis para pakar dan pengamat politik. Bukankah semuanya hanya berkisar pada peta kekuasaan dan pembagian kue “::kue embel-embel::” setelah pemilu.

Akhir dari tulisan ini, penulis ingin bersajak untuk calon legeslatif yang terhomat:

Untuk calon legeslatif yang terhormat

Sambutlah tahun politik dengan cara yang baik

Tebarlah pesona cinta bersama rakyat

Beri pendidikan politik yang santun

Jangan cederai nilai-nilai filosofis demokrasi

Jangan mempermainkan hati rakyat dengan janji-janji palsu

Semoga orang-orang baik

Yang akan duduk di singgasana legeslatif.

Dari tulisan diatas sebahagian elite pasti tidak berkenan dihati karena taunya ngomong atau mengkritik saja, dari ini penulis mengambil kutipan dari salah satu buku politik Indonesia bernuansa klasik. Kalau kita layangkan kritik, para elite pasti bilang, “Ngomong aja luh bisanya, coba kerjain.” Nah lho, bukannya ngomong itu juga kerja? Bukannya kritik itu juga sebuah pekerjaan yang membutuhkan pengetahuan.

*Penulis: Kolumnis LintasGAYO.co

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.