Urang Gayo Tidak Bisa Berbisnis?

oleh

Oleh : Abdiansyah Linge*

Aktivitas ekonomi meliputi produksi, distribusi dan konsumsi merupakan salah satu cara manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup. Pembangunan ekonomi tidak terlepas dari ketiga kegiatan ekonomi tersebut, pembangunan merupakan proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial, prilaku sosial dan institusi. Sehingga, masyarakat dapat berpartisipasi dalam ekonomi dengan terciptanya kesempatan kerja secara penuh (full employment), setiap orang memiliki kemampuan yang sama (equal productivity, equal access), dan masing-masing prilaku bertindak rasional (efficient).

Kegiatan ekonomi masyarakat Gayo banyak pada sektor industri pertanian, khususnya komoditi kopi yang menjadi sumber pendapatan mayoritas masyarakat Gayo, hal ini disebabkan budaya bertani merupakan warisan dari masyarakat generasi sebelumnya.

Multiplier effect dari hasil pertanian kopi menentukan pertumbuhan ekonomi di Aceh Tengah. Dominasi masyarakat suku Gayo dalam sektor pertanian dan perkebunan, khususnya perkebunan kopi sangat besar. Sedangkan kegiatan ekonomi masyarakat dalam berbisnis (entrepreneurship) merupakan salah satu bentuk pekerjaan yang tidak terlepas dari kehidupan manusia dan dianjurkan dalam Alquran. Namun masyarakat suku Gayo belum optimal berperan, pernyataan ini dapat dibuktikan dari pola hidup masyarakat Gayo.

Daerah Takengon sebagai ibu kota Kabupaten Aceh Tengah pada awalnya dikuasai secara ekonomi oleh masyarakat  Gayo, daerah ini merupakan daerah yang strategis untuk memasarkan produk-produk ekonomi.

Jumlah masyarakat Aceh Tengah yang plural serta konsentrasi kegiatan ekonomi yang terpusat di Takengon, merupakan modal utama dalam mengembangkan aset yang dimiliki oleh masyarakat Gayo. Namun, pada saat ini aset ekonomi yang strategis tersebut tidak dikuasai oleh masyarakat Gayo.

Titik-titik strategis bisnis yang menghubungkan antara produsen dengan konsumen yang terdapat di Aceh Tengah khususnya, tidak didominasi lagi oleh masyarakat Gayo. Begitu juga peran masyarakat dalam pemasaran komoditi masih bergantung pada pihak kedua yang pada hakikatnya menyebabkan masyarakat tidak menjadi pelaku utama.

Permasalahan distribusi, bisnis atau entrepreneurship, yaitu upaya untuk melakukan proses kreatif dan inovatif pada suatu produk yang bertujuan meningkatkan nilai tambah produk (value add), serta membuka lapangan kerja, membuka pasar baru untuk meningkatkan nilai jual komoditas merupakan bagian dari kegiatan ekonomi.

Vaiabel yang mempengaruhi prilaku masyarakat dalam berbisnis tidak terlepas dari struktur sosial, prilaku sosial dan institusi yang berpengaruh langsung terhadap prilaku bisnis. Pada kesempatan ini penulis mengkaji masalah prilaku sosial yang dibentuk budaya Gayo yang yang mempengaruhi prilaku masyarakat itu sendiri.

Upaya ini dilakukan karena masyarakat Gayo masih asing dalam memahami dan memaknai nilai-nilai kearifan lokal Gayo, sehingga mempengaruhi prilaku bisnis dan kesejahteraan masyarakat.

Dalam terminologi budaya Gayo terdapat kearifan lokal yang membentuk prilaku masyarakat dalam berbisnis, seperti etoinguistik Gayo Akal kin Pangkal, Kekire kin Belenye. Nilai atau makna yang terdapat dalam kearifan lokal ini dapat membentuk prilaku bisnis masyarakat jika dipahami dengan baik.

Kalimat akal kin pangkal, kekire kin belenye terdiri dari beberapa kata yang memiliki makna yang erat kaitannya dengan entrepreneurship, meliputi ilmu pengetahuan, inovasi, modal dan revenue.

Secara bahasa akal kin pangkal, kekire kin belenye dapat diartikan; akal sebagai modal, usaha/pikiran menjadi uang. Sedangkan makna yang terkandung dalam etnolinguistik tersebut adalah keterkaiatan antara pengetahuan dengan hasil yang didapatkan sangat besar, akal dapat dianalogikan sebagai ilmu, kepandaian dan keahlian. Akal menjadi modal dalam melakukan kegiatan ekonomi. Etnoliguistik ini menjadi menarik, karena meletakkan uang sebagai akhir bukan sebagai modal. Modal utama dalam melakukan kegiatan ekonomi adalah ilmu, keahlian dan usaha.

Dalam kegiatan bisnis, ide atau inovasi mutlak diperlukan untuk daya saing dalam perubahan global yang sangat cepat. Seorang entreprenuers harus mampu menggunakan ilmunya untuk dapat mengembangkan usahanya seperti, opening new market, introducing new product dan kegiatan lain yang menunjang usaha ekonomi yang dilakukan.

Seorang entreprenuer yang tidak meng-upgrade ilmu pengetahuan, ide gagasan, inovasi akan sulit bersaing, kreativitas dan inovasi ini adalah bentuk kekire.

Dalam adat Gayo makna kekire merupakan kreativitas dan inovasi dilandasi kejujuran. Terdapat tahapan yang harus dilalui oleh individu yang ingin berperan dalam dunia usaha (entreprenuer) dan dapat bersaing jika berpatokan pada falsafah Gayo ini.

Pertama, proses pembentukan dan pengembangan kemampuan melalui ilmu pengetahuan khususnya ekonomi bisnis dan keuangan, ilmu pengetahuan ini juga dapat diperoleh dari pengalaman dan pelatihan. Kemampuan seseorang akan bidang tertentu yang dikuasainya dalam falsafah Gayo disebut dengan pangkal (modal), konsep modal disini merupakan alternatif dalam membangun bisnis bila tidak memiliki modal (uang) karena masalah klasik seseorang memulai usaha baru adalah modal.

Kedua, setelah memiliki pengetahuan, kemampuan, pengalaman terhadap suatu bidang usaha tertentu dapat berkreasi, berinovasi, mengikuti perkembangan dan perubahan, khususnya dalam aspek ekonomi produksi dan pemasaran karena perubahan pasar sangat cepat pada era digital informasi tak berbatas.
Kreatifitas, inovasi adalah kekire.

Seseorang yang memiliki ilmu yang tinggi namun tidak memaksakan dirinya untuk berinovasi dan berkreasi akan sulit berkembang, begitu juga dalam bisnis dibutuhkan elemen lain dalam mengembangkan bisnis sehingga dapat bersaing, yaitu kekire.

Ketiga, setelah melalui dan melakukan dua tahapan sebelumnya, maka akan diperoleh hasil usaha yang akan diperoleh, hasil terdapat pada tahap akhir bukan diawal (output atau income), dalam falsafah Gayo disebut dengan belenye.

Dalam proses berusaha memelihara dan memanfaatkan alam dengan memendomani nilai iman dan nilai akal kin pangkal, kekire kin belenye , yaitu dengan menjadikan pendidikan dan pengalaman sebagai modal dalam memulai dan mengembangkan usaha ekonomi.

Ilmu menjadi ‘akal’ yang dimaksud dalam entolingustik Gayo, selanjutnya pengetahuan dikembangkan dengan ide kreatif dan tindakan inovatif. Akal menjadi biaya atau modal berusaha dengan kesungguhan dan tekad yang kuat seperti ungkapan bahasa adat Gayo; ku langit ku sige i, ke ku lut awe-i (walaupun kelangit akan kudaki (dengan sige), kalaupun ke laut akan kurenangi), artinya, dengan tekad bulat dan pengetahuan yang mendukung dalam melakukan aktivitas (entrepreneurship) maka tujuan atau cita-cita seseorang akan berhasil.

Dalam keilmuan psikologi saat ini, kekire juga dapat dikaitkan dengan intuisi. Entreprenuer kadang lebih dominan menggunakan intuisi daripada menganalisis informasi dalam membuat keputusan. Menggunakan intuisi entreprenuer dapat memfasilitasi pembuatan keputusan yang berkaitan tentang manjemen operasional perusahaan, memperkirakan sumber daya yang masih tersedia dan kurang, mampu mengorganisasikan dan membangun strategi baru. Intuisi seorang entreprenuer yang handal akan membentuk kemampuan dalam mengambil keputusan dan meningkatkan peforma entreprenuer.

Penggunaan etnolinguistik akal kin pangkal, kekire kin belenye nasehat orang tua kepada anaknya, penggunaan etnolinguistik ini juga terdapat pada nasehat orang tua kepada anak ketika nenes atau jawe (proses ketika anak pindah dari rumah orang tua karena telah menikah), bentuk contoh nasehat sebagai berikut Inget anakku. Akal mu turah naru, oya pangkal mu. Kekire mu turah lues, kin pe netah muripmu. Ini ara belenye i tetahiko gelah jeroh.

Nasehat orang tua kepada anaknya, bertujuan untuk memotivasi anak untuk meningkatkan pengetahuannya, agar dihargai dalam kehidupan sosial. Serta memotivasi anak untuk dapat berkreasi dan berinovasi dalam memenuhi kebutuhan hidup.

Kajian etnolinguistik adat Gayo akal kin pangkal, kekire kin belenye berdasarkan analisis yang dilakukan mengandung makna pengetahuan (akal), kreativitas dan inovasi (kekire), revenue (belenye). Bangunan konsep ini dibangun di atas nilai yang terdapat dalam Alquran dan Hadits sehingga nilai yang terdapat etnolinguistik adat Gayo ini lebih komprehensif.

Entreprenuer dalam melakukan aktivitasnya harus memiliki ilmu pengetahuan, dimana ilmu yang berkaitan dengan entrepreneurship dapat diperoleh melalui pendidikan formal dan pengalaman yang bersumber dari fenomena dilapangan dan panduan yang terdapat dalam Alquran dan Hadis.

Ilmu menjadi modal utama dalam melakukan aktivitas entrepreneurship.
Merujuk pada term judul “suku Gayo tidak mampu berbisnis?” di atas, maka dapat dijawab dari aspek prilaku sosial masyarakat yang dibentuk oleh nilai budaya khususnya budaya Gayo, bahwa dengan memahami nilai dan makna kearifan lokal Gayo seharusnya tidak ada lagi terminologi yang mengatakan urang Gayo tidak mampu berbisnis dan berdasarkan nilai akal kin pangkal, kekire kin belenye masyarakat suku Gayo idealnya menguasai sektor bisnis sebagaimana yang telah dilakukan oleh generasi sebelumnya.

*penulis adalah salah seorang dosen di STAIN Gajah Putih Takengon

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.